Dan
Bukan maksudku, bukan inginku
Melukaimu sadarkah kau di sini 'kupun terluka
Melupakanmu, menepikanmu
Maafkan aku.
.
.
.
.
.
.
.Dari sekian banyak orang yang tidak suka dengan hari Senin, pasti ada beberapa pengecualian. Salah satunya adalah Fajar Bustomi, jajaka Bandung yang sudah nyaris enam tahun menjadi warga Ibukota. Ia bukannya mau sok - sokan menjadi manusia rajin yang menjadikan kantor sebagai rumah kedua atau pekerjaan sebagai hobi yang amat sangat dicintai, namun memang dari kecil Fajar suka hari Senin. Karena Senin adalah hari Upacara Bendera, dan Senin adalah awal semangat baru untuk satu minggu kedepan. Kebiasaan dari jaman sekolah yang akhirnya mendarah daging hingga sekarang berstatus karyawan.
Fajar meraih kemeja biru cerah dan celana bahan hitam yang sudah disetrika Farah semalam lalu cepat berkemas. Hari ini ia akan mulai menjaga sang Teteh yang akan ditinggal tugas luar kota. Farah yang sedang hamil muda itulah yang jadi alasan Opik untuk kekeuh meminta Fajar tinggal saja disini selagi Opik masih tugas luar. Jadi hari ini Fajar akan ke kantor bareng Opik lalu pulang sendiri membawa mobil sang kakak ipar.
"Jar, Nyarap dulu sook." Suara Opik menyapa Fajar dari luar kamar.
"Iya Aa! Bentar lagi urang nyusul." Sahut Fajar yang untung saja sudah selesai berbenah.
"Ehheeemm!"
Setelah menunggu sampai hitungan lima dan suami istri di depan Fajar itu tidak manampakkan gerak untuk memisahkan diri dari pelukan satu sama lain, ia pun sengaja berdehem keras.
Farah tampak kaget, wajahnya memerah lalu berusaha melepas peluk kedua lengan suaminya. Sedang sang suami malah makin mempererat dekapannya.
"Aya budak single didieu euy atuh tolong solidaritasna." Fajar dengan mimik yang kalau kata Yogi minta dikasihani.
"Mau pisah seminggu Jar. Ngecas dulu atuh." Opik lalu mengecup puncak kepala Farah. Sedang Farah hanya bisa memukul pelan lengan suaminya sambil tertawa pelan.
"Ngecas mah makan Aa. Soook sabakul biar pul." Lanjut Fajar lagi lalu mulai menyendok nasi gorengnya, tentu saja dengan lutut yang ikut naik ke atas kursi.
"Kebiasaan ih kamu teh." Farah memukul lutut adiknya gemas lalu ikut duduk dan mengambilkan nasi goreng untuk Opik.
"Kumaha Jar? Eta nu semalam urang tanyakeun?" Opik tiba - tiba mengganti topik pembicaraan dari ancang - ancang nama bayi ke Fajar.
"Semalam naon Aa?" Fajar masih lanjut dengan nasi gorengnya.
"Pesenan Bu Anggi eta, Bu Anggi keuangan di kantor. Baru semalam urang tanya asa lupa wae maneh teh?" Opik menatap Farah sebelum ke Fajar yang sejenak menghentikan makannya.
"Kunaon nya Aa? Lieur urang mah kalau sekarang teh." Jawab Fajar lalu hehehe dengan mata sipitnya.
"Naha kitu Dek? Si Bu Anggi teh kan maksudna cuma mau kenalin. Ya udah atuh kenalan dulu wae. Nambah temen." Fajar agak terkejut karena ternyata niat Bu Anggi si kepala keuangan di kantor untuk mencomblangi Fajar dengan keponakannya itu sudah sampai ke Farah.
"Urang teh belum mau nambah temen awewe Aa, Teh. Kerja dulu wae lah nu bener." Jawab Fajar kemudian menunduk.
Fajar lalu menghabiskan sarapan dalam diam. Ia kemudian teringat begitu saja dengan janji (kalaupun itu bisa disebut janji) ada seseorang. Kemudian obrolannya dengan Opik semalam juga terulang dikepala. Fajar tahu, Opik sudah lama ingin membicarakan itu. Perihal Bu Anggi yang selalu memperlakukan Fajar seperti anak sendiri. Meski dari awal Bu Anggi memang ramah, namun Fajar menyadari belakangan memang ada yang beda dari beliau. Beberapa kali ada oleh - oleh dari Solo, kampung halaman beliau. Sampai pada suatu hari, sekitar dua minggu yang lalu, Bu Anggi minta tolong memperbaiki macbook kepunyaan ponakannya. Macbook yang setelah Fajar periksa cuma minta di upgrade antivirus nya. Rasanya agak mustahil jika mahasiswa semester 8 yang kata Bu Anggi pemilik macbook ini tidak mengerti harus bagaimana dengan notifikasi yang selalu muncul saat si macbook dinyalakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Infinity [YNWA AU]
RomanceKemanapun garisnya berputar, ujungnya akan selalu kembali ke titik itu. Kamu. . . . . . A Fajar 2.0 © D