08

367 77 43
                                    

Do you ever think about me?
When she ain't around, is your bed cold without me?
Does her love feel just the same?
Is she the one to take your last name?
Whatever the case, I'm glad you're happy

.
.

Hari ini genap seminggu Atta kembali menempati kamar atap kesayangannya dulu. Ketika Bapak dan Ibu datang ke kontrakannya dan Adrian waktu itu, Ibu sebenarnya sudah bersikukuh mengajak Atta pulang. Seperti yang Adrian bilang, nyatanya Bapak sekangen itu dengan teh jahe seduhan Atta. Namun Atta saat itu masih belum mau kembali ke rumah. Bukan karena rasa canggung namun hanya karena ia ingin sedikit lagi saja mencoba mengurus kakak sulungnya yang sedang mabuk cinta itu. Tidak banyak lagi waktu yang Atta punya atas tanggung jawab mencuci dan setrika baju si sulung, menyediakan makanannya tiga kali sehari, bahkan mendengar telepon bucin Adrian setiap malam. Entah mengapa Atta merasa sesuatu semenyebalkan merapikan piring dan gelas bekas pakai Adrian yang selalu ditinggal begitu saja setelah makan itu menjadi sesuatu yang nantinya akan ia rindukan. Begitupun dengan bagaimana susahnya si sulung itu dibangunkan saat pagi karena sibuk teleponan sampai larut.

Bagi Atta, pernikahan Adrian bukan hanya membawa rasa campur aduk karena Adrian sudah menikah namun tidak lagi tinggal bersama mereka. Babak baru dihidup kakak sulungnya itu membawanya kembali membuka baris-baris cerita lama yang berusaha ia lupakan. Atta tau kehadiran Yogi dan keluarga kecilnya saat itu tudak bermaksud untuk membangkitkan kenangan lama. Toh mereka diundang Adrian untuk hadir memberikan do'a restu atas pernikahannya. Namun bagi Atta, mereka seperti kunci yang pada saat itu terputar sempurna lalu membuka pintu itu lagi.

"Ngelamunin opo to Nak?" Ibu ternyata sudah duduk disebelah Atta, lebih tepatnya menggandeng kursi roda beliau dengan kursi yang diduduki Atta.

"Inget Mas Ian." Kilah Atta. Keduanya lalu tersenyum.

"Aku tu jadi kepikiran Wulan e Bu. Mas Ian iku manjane kadang suka ampun - ampunan, ngisin isini ngono lo." Ia jadi teringat ulah Adrian yang ada ada saja. Atta sempat berpikir wajar saja kakak sulungnya itu jomblo akut. Perempuan mana yang bisa tahan dengan laki laki kolokan macam Adrian.

"Wong manja karo bojone yo ndak apa Nak. Wulan iku wes paling apik buat Mas mu. Ibu wes ngerasa dari pertama ketemu dia lo Nak."
Keduanya bertukar senyum. Rasanya sebahagia itu melihat Adrian menemukan belahan jiwanya yang ternyata sahabat sendiri. Jodoh memang rahasia Tuhan yang luar biasa.

"Awakmu piye Nak?" Ibu menatap lembut wajah putri bungsunya.

"Yo aku seneng Bu. Wulan iku sahabatku. Cuma aneh ae sekarang musti manggil Mba." Atta tertawa geli.

"Ibu nanyain perkoro hatimu." Tawa Atta berubah senyum.

"Sejak kamu pulang dari Jakarta, Ibu selalu merhatiin walaupun awakmu ndak tinggal bareng Ibu disini. Kita bertahun - tahun jauh tapi Ibu masih hapal betul kamu Nak. Bibirmu bisa senyum, kamu bisa ketawa, tapi matamu ndak. Ibu sempat berharap kesedihanmu bisa dibawa pergi lewat Dewa. Tapi ternyata Ibu salah."

Atta tertunduk. Ibu benar, berapapun jauhnya jarak dan waktu, seorang Ibu tetaplah Ibu dengan segala firasat dan ikatan batinnya.

"Kamu ketemuan to sama Yogi? Mas mu yang bilang. Sebelum Yogi hubungin kamu, dia nanyain Mas mu dulu. Ibu ada disana waktu Mas mu terima telponnya Yogi."

Sebenarnya Atta tidak kaget dengan apa yang baru saja Ibu ucapkan. Firasatnya pun sudah mengatakan bahwa pertemuannya dengan Yogi tempo hari pasti sudah diketahui seisi rumah. Begitupun dengan sesi konfirmasi seperti ini. Hanya saja ia belum mau mengulang cerita itu lagi secepat ini. Tidak sebelum Atta mampu menetralisir aneka macam rasa yang campur aduk dalam hati dan pikirannya setelah obrolan dengan Yogi waktu itu.

[✔️] Infinity [YNWA AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang