05

516 100 15
                                    


Lihat apa yang terjadi
Dengan semua rencanaku
Hancur semua berantakan
Dia berjalan keluar dari lingkaran hidupku
Bebas kulepaskan dia
Akupun mulai berdendang
Pasti ku bisa melanjutkannya
Pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya

.
.
.
.
.
.
.
.

Getar ponsel yang agak panjang di atas meja kerjanya membuat konsentrasi Fajar teralihkan sejenak. Wajah seriusnya kemudian berganti senyum cerah.

"Assalamu'alaikum Cireng. Cia ciaaaaa yang mau kawin." Sapa Fajar setelah menekan tombol hijau di layar ponselnya.

"Waalaikumsalam. Hehehehehe. Nikah dulu Cilok. Maneh sibuk teu?" Ihsan si sepupu balik menjawab dengan nada riang seperti biasa.

"Biasalah lagi sama pasien. Aya naon San?" Sebelah tangan Fajar memainkan soket kabel yang baru ia bongkar dari dalam laptop.

"Ieu Cil, tolong kirimkeun poto KTP maneh nya. Urang maunya maneh nanti jadi saksi pas urang nikah sama Nana." Jawab Ihsan.

"Urang jadi saksi maneh? Kan urang belum nikah Cireng. Teu nanaon kitu?" Fajar kembali duduk tegak di kursinya.

"Ya kalo jadi saksi mah teu perlu nikah dulu Cilok. Jomblo mah teu nanaon. Nu penting mah tos baligh. Ari maneh tos baligh belum?" (Ya kalo jadi saksi nggak perlu nikah dulu Cilok. Jomblo juga nggak apa apa. Yang penting sudah baligh. Kamu udah baligh belum?) Dua sepupu itu kemudian tertawa di ujung telpon masing masing-masing.

"Ya udah atuh. Abis ini urang kirim. Ada lagi yang bisa dibantu akang Cireng?" Sahut Fajar ala - ala customer service setelah puas tertawa.

"Naon nya Cil? Hahahaha lieur euy. Maneh coba sendiri lah besok. Hahahaha." Ihsan lagi lagi tertawa dengan tawa khasnya yang berisik dan Fajarpun ikut tertawa.

"Sook maneh teh hapalin ijab qobul dulu." Canda Fajar lagi.

"Tos hapal urang mah. Maneh atuh geura nyusul. Kapan kitu? Nu bontot kan si Intong, eh malah nyolong start eta budak."

Berharap pertanyaan ini tidak akan keluar dari mulut Ihsan, ternyata Fajar salah.

"Rejekinya si Intong atuh kapalnya penuh duluan. Nah besok maneh, kalo urang mah kapalna gede Cireng, kapal induk. Penuhnya teh agak lama. Hehehehe."

Terima kasih pada Opik yang dulu langganan pakai kalimat ini sebelum ketemu Farah.

"Kata - kata mah bisa jadi do'a Cil, pamali. Insya Allah disegerakeun, kitu." Ihsan meralat kalimat Fajar.

"Aamiiin. Ya udah atuh sampe ketemu hari Minggu nya. Assalamu'alaikum." Tutup Fajar kemudian.

Bukannya kembali pada perintilan laptop yang masih terbongkar habis didepannya, Fajar malah teringat kembali pada momen Ihsan yang curhat sedang memulai ta'aruf dengan seorang gadis. Momen dimana Fajar juga mulai memantapkan hati untuk jaga jarak dengan Atta. Dan kemudian ia teringat pada kalimat Opik yang tadi ia pinjam. Saat Fajar mengosongkan kapal induknya, Ihsan justru mulai mengisi bekal dilambung kapalnya. Ia lalu tersenyum sambil geleng - geleng kepala.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Perjalanan Jakarta - Bandung kali ini terasa berat bagi Fajar. Bukan karena besok ia akan duduk untuk kedua kalinya di meja akad nikah, tapi karena ia harus memikirkan susunan kata untuk pertanyaan keluarga besar. Jika Ihsan yang selevel ustad saja sudah bertanya Fajar kapan nyusul, bagaimana dengan yang lain? Ia bingung sendiri.

[✔️] Infinity [YNWA AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang