Selama perjalanan, si nenek bercerita banyak hal, salah satunya mengatakan permisi kalau mau buang hajat atau apapun, mereka tidak terlihat bukan tentu tidak ada, meskipun hanya sekedar ijin dengan suara berbisik pun, mereka bisa mendengar, termasuk Wanggul yang sekarang-
mengikuti mas Erik.
kaget. mas Erik kemudian bertanya dengan muka ngeri. "wanggul apa mbah?"
si nenek berhenti, melihat jauh ke belakang, disana ia menunjuk.
"Hantu wanita yang mati karena kecelakaan, lehernya patah, dan dari tadi dia ngikutin kamu. wangi apa yang kamu cium?"mas Erik pun mengatakanya. "sembujo"
si Nenek mengangguk. "ra popo nek sembujo, gorong ambu batang yo kan, nek iku baru bahaya" (tidak apa-apa kalau sembujo, kalau bau bangkai, nah itu baru berbahaya)
(sebenarnya, kata mas Erik, bahasanya si nenek ini jawa halus, tapi karena gw gak bisa, pake bahasa jawa halus, pake bahasa suroboyoan aja ya. mohon maaf)
"trus yok nopo mbah, sampe kapan kulo bakal di tut'i" (lalu bagaimana mbah, sampai kapan saya akan di ikuti)
"bar engkok ngaleh dewe" (biarkan saja, nanti juga pergi sendiri) kata si mbah.
benar rupanya. di depan, terlihat sebuah desa, namun, desanya ini, tidak terlalu besar
rumah-rumahnya terbuat dari anyaman bambu, pokoknya, sangat jauh berbeda dengan kondisi rumah jaman sekarang yang di bangun dengan bata dan semen.
tepat di sudut rumah paling ujung, gentingnya terbuat dari ranting dengan di tutup daun kelapa kering, si mbah mempersilahkan masuk.
"turokno kunu sek kancamu" (tidurkan dulu temanmu disitu)
si mbah masuk ke ruangan dalam, sedangkan mas Erik dan Damar di tinggal di teras rumah, ada bangku besar untuk merebahkan badan mas Damar, mas Erik masih gak habis pikir, hanya karena kencing bisa seperti ini.
selidik demi selidik, mas Erik melihat kesana-kemari, tatapanya menyapu dari rumah ujung ke ujung, hanya ada 13 atau kurang rumah disini, dan sebelumnya ia tidak pernah dengar di daerah ini ada desa.
namun, tengah malam seperti ini, desa ini sunyi dan sepi, cukup membuat ngeri
si mbah keluar, di tanganya, ada kendi, "ngumbi iki, trus pas ngumbi ngadep kidul ben penyakite minggat nang kidul yo le" (minum ini lalu pas minum nanti menghadap ke selatan, biar penyakitnya pergi ke selatan ya nak)
berusaha keras berdiri, mas Damar menenggak air itu
"sak iki melbu ae nang omah, ojok metu sek, ben balasado' ne ngalih disek," (sekarang masuk rumah, jangan keluar dulu, biar bencananya bisa perdi)
mas Erik tidak paham maksud si mbah saat mengatakan balasado, namun mas Erik mengiyakan tawaran itu, kali ini mereka yakin, mbah-
yang menolong mereka mungkin memang manusia.
di dalam rumah, persis seperti yang di bayangkan mas Erik, rumah desa yang benar-benar seperti pedalaman, tidak mungkin ada listrik, bahkan peralatanya semua benar-benar lawas
mas Damar sudah tertidur lelap setelah di persilahkan untuk istirahat, saat itulah, kaget bukan main, mas Erik mendengar suara gamelan itu.
sekarang mas Erik baru paham, mungkin rombongan itu adalah rombongan orang-orang desa ini, namun, kenapa musik gamelanya seperti dekat skli
si mbah menuju ke pintu dan membukanya, di depanya ada anak kecil, wajahnya pucat, dan ekspresinya tidak menyenangkan, semakin di pandang, membuat hati mas Erik jadi gelisah sendiri.
si mbah tampak mengobrol lama, mencoba mencuri dengar, mas Erik hanya mendengar kalimat patah2
kalimat yang di dengar mas Erik hanya. "wayahe. sedo, Bolo, Randak" (giliran. Mati, Saudara, Ilmu)
habis itu, pintu di tutup, si mbah kembali masuk dan mengambil kain, lalu menutup kepalanya dengan kain itu, disana, mas Erik pun bertanya.
"bade pundi mbah?" (mau kemana mbah?)
saat itulah si mbah menawarkan mas Erik apakah mau ikut atau tidak. tawaran itu awalnya membuat ragu mas Erik, karena ia harus menjaga mas Damar, tapi ada keinginan besar yang membuat penasaran, terutama bila melihat wajah anak pucat itu.
seperti ada sesuatu yang ganjil
mas Erik pun ikut, setelah lama menimbang-nimbang keputusan. rupanya, mas Erik di bawa di sebuah rumah, di depanya banyak orang sudah menunggu.
benar dugaanya. ada gamelan yang di tabuh di antara kerumunan itu, tidak beberapa lama, pandangan mas Erik menuju ke pintu rumah.
keluar 4 lelaki setengah baya, mereka mengangkat keranda mayit, yang membuat mas Erik tidak nyaman. dalam pikiranya ia bertanya-tanya. tadi bukanya sudah melakukan prosesi pemakaman, kok di adakan pemakaman lagi.
disanalah, si mbah yang memimpin, ia berjalan di barisan depan.
karena sudah setengah jalan, mas Erik pun terpaksa mau tidak mau harus ikut. di sepanjang perjalanan yang naik turun, tampak wajah-wajah itu menunjukkan ekspresi sumringah.
hal-hal ganjil seperti itu yang membuat mas Erik gak habis pikir. namun ia mencoba menahan diri.
sampailah mereka di sebuah tempat, ada 2 tanah lapang yang kesemuanya sama, pemakman kembar, setidaknya itu yang terlihat. si mayit sudah di turunkan dan ketika keranda di buka, mas Erik hanya diam bengong melihat sesiapa yang akan di makamkan hari ini.
rupanya, yang akan di makamkan malam ini adalah, bocah yang tadi berdiri di depan pintu si mbah.
"Jan*uk lah" batin mas Erik, seolah gak percaya apa yang dia lihat, semakin di lihat, wajahnya semakin sama persis dengan apa yang mas Erik saksikan.
tidak mungkin ia salah lihat.
gw yang dnger mas Erik cerita menatap bingung. "mksude yo opo mas, cah sing di kbur iku podo mbek cah sing nggedor lawang mbah iku?" (maksudnya gimana mas, anak yang di kubur itu sama persis sama anak yang gedor pintu itu kah?)
mas Erik menghisap rokoknya, lama, lalu, mengangguk
"ra mungkin" (gak mungkin ah) kata gw mencoba berkilah, namun sanggahan gw hanya di jawab dengan wajah murung mas Erik, gak cuma itu, mas Damar yang terkenal realistis pun hanya diam, matanya tertuju pada segelas kopi yang mulai dingin.
Malam melanjutkan ceritanya.
mau tidak mau, mas Erik menyaksikan prosesi pemakaman itu. di tengah pemakaman, mas Erik melihat gelagat yang aneh, dimana, semua orang tampak sedang menari-nari, beberapa bernyanyi dengan nada gamelan mengalun-alun, yang lebih membuat mas Erik tidak bisa mengerti, adalah-
si bocah, di kubur dengan mata masih terbuka lebar.
gw gak bisa bedain antara mau ketawa atau menahan ngeri mendengar cerita mas Erik.
"piye maksude mas, cah iku wes mati opo durung asline" (gimana sih maksudnya, itu anak sudah mati apa belum sebenarnya?)
Mas Erik masih diam lama, kemudian mas Damar memotong cerita mas Erik.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESO GONDO MAYIT
HorrorMalam ini, ijinkan gw memulai sebuah cerita, sebuah cerita yang penah di ceritain oleh seseorang, seseorang yang menurut gw spesial, karena gw udah kenal dia lama. lama sekali, meskipun gak pernah satu sekolah, satu kampus, satu pekerjaan, tapi gw u...