4. Kedatangan trauma

43.2K 2.1K 26
                                    

  "Cowok yang kemarin di drop out, terus diganti sama murid yang duduk di samping lo sekarang."

            Dilsya menghela lelah, ucapan ketua kelas tadi cukup buat ia berpikir keras. Siapa Danu sampai bisa keluarkan siswa begitu mudah?

Tak fokus dengan langkahnya, Dilsya tersandung selokan antar kelas. Tubuhnya sampai terhuyung ke depan siap mencium lantai kasar. Namun sepertinya nasib baik sedang berpihak pada gadis bercepol satu itu. Tangannya ditarik dari belakang sampai ia terbawa menjauh dari posisi jatuh. Napasnya sedikit terengah saat sebuah tangan kekar melingkar di perutnya, seakan menahan agar Dilsya tetap seimbang.

Waktu seakan berhenti. Dia bisa merasakan suasana hening, bahkan orang-orang yang berada di koridor menatapnya cengo dan geram. Ada apa ini?

Seakan baru tersadar dia melirik sebuah tangan yang melilit di perutnya dengan penuh kaget. Dengan refleks ia menyikutkan sikunya menuju perut yang memeluknya dari belakang.

Dukh

"Akh!"

Dilsya terlepas dari pelukan itu dan memasang kuda-kuda siap menyerang lagi. Tapi, wajah beringasnya melemah saat melihat orang itu kesakitan. Dia juga baru sadar bahwa orang itu menolongnya tadi.

"L–lo," Dilsya terbata dibuatnya. Tangannya sedikit terangkat mencoba menggapai Danu. Ya, orang itu Danu.

"Nggak, gue gak papa," ucap Danu sambil mencoba tersenyum tipis, tapi sangat tipis.

Mungkin karena menahan sakit berkat siku-an yang Dilsya berikan. Tama saja kadang sering merasakan itu hingga memar beberapa hari, kasihan sekali cowok ini.

Dilsya mengehela napasnya jengah, mencecar geram, "Udah deh, gak usah sok kuat!"

Tiba-tiba Dilsya menarik tangan Danu cepat tanpa memikirkan cowok itu kesakitan di belakangnya, sungguh tak berperasaan. Cewek itu terus menariknya sampai tiba di UKS. Segera ia dudukkan Danu tanpa meliriknya sama sekali.

"Tidur, gue cari obatnya," kata Dilsya sambil membuka lemari obat tak jauh dari brangkar. Danu merebahkan tubuhnya dengan senyum miring. Padahal dirinya tak merasa sakit, itu sudah biasa bagi anak silat sepertinya.

Hampir beberapa menit Dilsya kembali dengan beberapa salep dan obat balsem. Wajahnya juga tampak frustasi.

"Nih, gue gak tau yang bener yang mana."

  Danu terima sambil menahan senyum geli.

"Lagian lo ngapain tadi? Gak sopan!" tegur Dilsya sengit.

"Gue cuman mau nolongin lo," kilah Danu, dia memilih mengambil obat oles kemudian membukannya. "Lo keluar aja, gue mau buka baju."

"Gue gak pernah bantu orang setengah-setengah," tegas Dilsya, "lo cuman angkat seragam lo, gak sampe atas, cepet gue bantu."

Danu menurut, buka tiga kancing bawah seragamnya. Walau tau tangan Dilsya sedikit tremor, tapi gadis itu tetap mengoleskan obat yang terasa hangat itu.

  "Gue belum tau nama lo," ucap Danu.

"Memarnya cepet," alih Dilsya, "pulang sekolah lo ke rumah sakit, siapa tau butuh tindakan serius."

           "Kemarin lo beneran gak papa?" tanya Danu tetap mencari topik.

           "Gue bakal panggil petugas buat obatin lo." Dilsya bersiap pergi dan tentu saja Danu tahan.

Sir (My Secret Bodyguard)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang