12. Bertemu

30.6K 1.9K 63
                                    

Siap-siap ambyar. Jangan lupa voment gais.

________

"Siapa?" Itu suara intercom.

  Oh ghost! Itu Papa. Pria paling posesif sepanjang abad bagi Dilsya. Diambil ponsel dari nakas, mulai mencari kontak Danu di sana. Setelah ketemu baru ia menekan icon panggil. Dalam waktu beberapa detik panggilan tersambung.

"Pergi, Danu!" jerit Dilsya.

"Lo panggil gue tadi, lo kenapa? Sya, buka pagarnya."

         Lagi, bel ditekan buru-buru.

"Sial, gue cuman iseng, Danu."

        "Iseng?" dengus Danu tak percaya.

"Dan—"

"Ada keperluan apa?" Suara lain terdengar dari seberang. Dilsya membuka tirai, cek siapa yang membuka pagar. Papanya.

Seketika tubuh Dilsya lemas. Dia takut Danu dicampuri kehidupannya oleh sang Papa. Apalagi panggilan mereka diputuskan oleh Danu, Dilsya jadi tak tau apa yang mereka obrolkan.

Selang lima menit, motor Danu kembali menyala bersamaan dengan pesan masukm Dilsya langsung membuka chat itu tanpa basa-basi.

Danu: Besok gue ke rumah lo lagi. Papa lo yang minta.

       Demi Ditya yang dia benci, Danu adalah cowok tergoblok baginya. Jika Papanya bertemu dengannya, sama saja menambah penonton pacaran settingannya ini. Bukankah ini hanya untuk mengelabui Ditya? Kenapa jadi merembet sampai Papanya?

       Dilsya mondar-mandir sampai lelah, baru mengetik balasan pesan Danu dan menggerutu tak jelas.

       "Ahk! Lo bodoh banget sih, Dilsya?" cecarnya pada diri sendiri sambil melepar ponselnya hingga memantul di atas kasur. Dadanya kembang-kempis menahan kesal.

       Merasakan getaran dari ponselnya, Dilsya meraba kasur mencari letak ponsel. Balasan dari Danu tertera jelas di notifikasi. Dia berusaha mengabaikannya, tapi balasan itu menganggunya. Ia kembali meraih ponselnya, mulai mengetik lagi.

Dilsya: Gue harap lo jalanin ini sebagai kepura-puraan lagi. Gue tunggu jam 10 di rumah.
 
Ting!

Danu: Ok, jam 11 gue ke sana.
Danu: Selamat bertemu besok, Dilsya pacar bohongan Danu.
Danu: Pacarannya bohongan sayangnya Danu beneran.

Blush

Dilsya melempar ponselnya asal, atensinya kembali tertuju ke peluit yang tadi ia buang. Benar, Dilsya tak salah ingat. 

"Gue bisa cari tau kalo deket sama dia, kan?" gumam Dilsya.

       Drtt, pesan masuk lagi dari Danu.

Danu: Selamat malam. Tidur yang nyenyak, cantik.

Lagi, pipi Dilsya memanas.

      "Gue demam?" ringisnya seraya meraba dahi. Tapi ia tidak menemukan suhu tinggi di sana, tubuhnya saja sehat. Lantas, ini kenapa?

"Gue baru tau, sensasi pacaran itu kayak gini," ucapnya tak mengerti. "Dan gue juga baru tau, pipi cewek bisa kayak gini cuman gara-gara baca chat."

***


Danu memencet tombol di mobilnya hingga berbunyi nyaring setelah menutup pintunya. Baju dengan stelan santai dan ditemani paper bag yang ia tenteng. Ia tidak tau isinya akan disukai orang rumah atau tidak. Yang pasti ia tidak bisa menolak permintaan Ibunya untuk membawa itu semua.

Cowok yang memiliki senyum sendu itu melangkahkan kakinya menginjak teras rumah, mulai mengetuk pintu tanpa niat memencet bel. Itu kesukaan Danu sejak kecil, karena waktu kecil ia tidak bisa menggapai bel yang sangat tinggi baginya.

Pintu dibuka dari dalam, wanita yang sempat Danu panggil Bunda minggu lalu berdiri di sana. Tersenyum lebar seraya memperlebar lubang pintu.

"Siang, Bunda." Danu menyalami tangan Bunda sopan sebelum kembali menatap wanita cantik itu. "Maaf, Danu telat, ya?"

Bunda menggeleng kecil dan mempersilahkan Danu masuk terlebih dahulu. "Nggak pa-pa, Dilsyanya juga baru mandi abis main basket sama Papanya."

"Oh gitu, eh Bunda, ini ada titipan dari Mamah Danu," ucap Danu sambil menyerahkan paper bag tadi. "Semoga suka, kata Mamah." Danu berakhir kekehan.

Sania menerimanya dengan senang hati, mengintip isi paper bag tersebut. "Astaga, ini sih kue kesukaan Bunda," pekiknya tanpa bisa ditahan. Dia menutup paper bag itu sebelum kembali berucap ceria, "bilangin makasih buat Mamah kamu, kayaknya dia satu tipe sama Bunda."

Danu tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak ikut tersenyum, jika dilihat detail senyum wanita itu sama persis dengan senyum Dilsya walau gadis itu kian tersenyum sangat tipis.

"Bagus kalo Bunda suka, Danu jadi lega dengernya. Nanti Danu bilangin ke Mamah."

"Harus pokoknya. Bunda ke dapur dulu, kamu bisa tunggu Dilsya di sini." Bunda mengantarkan Danu terlebih dahulu ke sofa ruang tamu sebelum ia pamit untuk ke dapur. Danu sampai baru ngeh wanita itu masih memakai apron berwarna putih susu.

Tak mau mati bosan karena menunggu, Danu beranjak berdiri, melihat isi ruang tamu bernuansa peach yang terlihat sangat adem. Beberapa pernik pajangan tertata rapih di sebuah meja kayu berwarna putih. Juga ada sebuah lemari kaca, penuh dengan piala atas nama Dimas Sullivan Putra. Danu tak heran, ia sudah tau Dimas seorang CEO dari DM group. Jadi bukan sebuah keterkejutan jika Dimas bisa memiliki banyak piala lomba atau penghargaan ternama.

Tangan Dimas terulur mengambil sebuah miniatur gedung. Menatapnya penuh decak kagum, miniatur itu terbuat dari batang korek api.

"Wah, jeli banget ni orang buatnya," celetuknya tanpa sadar. Ia masih meneliti miniatur tersebut ditepuk bahunya pelan membuat ia membalik terkejut.

"Astaga!" pekiknya kala mendapati seorang pria berdiri di belakangnya. Beruntung miniatur itu masih ia pegang kuat.

     Pria itu masih menatapnya begitu datar dan dingin. Danu jadi salah tingkah sendiri, ini melebihi dinginnya seorang Dilsya. Dia mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan pria itu dan berhasil menyalami jemari kekar miliknya.

     Senyum sendu Danu berubah menjadi lebih dewasa, berucap dengan suara berbeda pula, "Senang bertemu Anda lagi. Saya Danu Andrian Lexis."

○○○

Gimana? Ambyar?

See you lusa 😗

Sir (My Secret Bodyguard)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang