Dear Maryam 6

984 93 20
                                    


"Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, 'aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.'"
***

Maryam bersandar di sisi mobil yang kini berhenti di depan sebuah rumah minimalis, menunggu seseorang yang akan keluar dari dalamnya. Matanya berbinar ketika pandangannya bertemu dengan sosok gadis berjilbab yang keluar dari pintu rumah dan tengah menguncinya.

"Mar, kok gue nggak pede ya tampil kayak gini." Ujar Reni yang sudah berada di hadapannya. Tangannya sibuk merapikan tatanan hijab yang ia kenakan.

"Lo kelihatan lebih cantik kayak gini kali, Ren."

"Serius? Nggak keliatan kayak ibu-ibu?"

"Nggak sama sekali. Gue yakin siapapun yang lihat lo akan punya pendapat yang sama sama gue. Lo lebih cantik dengan hijab yang lo pake sekarang. Trust me!" Maryam tersenyum meyakinkan sahabatnya yang memang terlihat lebih anggun dengan hijab yang ia kenakan. "Ya udah yuk buruan berangkat. Sebentar lagi kajiannya dimulai." Maryam memasuki mobil yang diikuti Reni kemudian.

Sejak kemarin Maryam memang mengajak Reni untuk hadir ke kajian khusus akhwat rutin yang diisi oleh Ummi Fatma yang diadakan di sebuah masjid tidak jauh dari kediaman mereka masing-masing. Mumpung hari ini weekend, lebih baik mengisisnya dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan. Dan karena itu juga hari ini Reni mau mengenaan hijab. Maryam berharap semoga ini bisa menjadi permulaan yang baik bagi sahabatnya itu.

Tidak lama setelah mereka sampai di lokasi, Ummi Fatma memulai materi kajian. Semua tampak khusuk mendengarkan termasuk juga Reni dan Maryam. sesekali mereka mencatat materi yang disampaikan pada buku catatan, ada juga yang mencatatnya di ponsel.

"Di dunia ini banyak sekali orang-orang yang menggantungkan harapannya kepada sesama manusia, padahal hal itu adalah salah satu kesalahan yang paling fatal. Karena akan banyak sekali dari kita yang akan merasa kecewa ketika kenyataannya tidak sesuai dengan yang kita harapkan."

"Imam Syafi'i rahimahullah pernah mengatakan 'Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap kepada selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadanya." Ummi Fatma mengakhiri tausiyahnya yang telah berlangsung sekitar satu jam.

Materi hari ini jujur saja seakan menampar Maryam. Ia teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu saat pertunangan bosnya, tepatnya ketika menemukan Abi yang tampak dekat dengan seorang wanita. Masih terasa kekecewaan yang ia rasakan saat itu.

Mungkin itu merupakan bentuk kecemburuan Allah padanya. Karena jujur saja Maryam masih mengaharapkan Abi untuk melamarnya. Ia masih yakin bahwa Abi tidak mungkin bisa melepaskannya begitu saja, ia terlalu percaya diri hingga lupa untuk menggantungkan segalanya hanya kepada Allah saja.

Ya, mungkin ini saatnya dia melupakan Abi dan menyerahkan semuanya hanya kepada Allah saja. Melupakan yang benar-benar melupakan. Mungkin sulit pada awalnya, tapi ia yakin ia bisa.

Para akhwat meninggalakan masjid setelah acara kajian selasai pukul 11 siang, setelah bersalaman dengan Ummi Fatma selaku ustadzah tentu saja. Setelah akhwat yang mengerubungi Ummi Fatma sepi, Maryam dan Reni menghampiri Ummi Fatma untuk bersalaman kepada beliau.

"Assalamu'alaikum, Ummi." Sapa Maryam yang diikuti oleh Reni.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, Shalihah..." Balas wanita paruh baya berwajah teduh itu. "Ehh, ini satu lagi siapa namanya? Kok Ummi seperti baru lihat ya." Tanyanya kepada Reni.

"Saya Reni, Ummi. Temannya Maryam. Memang baru ini saya ikut Maryam kajian."

"Masyaallah tabarakallah. Semoga betah ngaji di sini ya, shalihah, biar kita bisa menjadi saudara yang saling meyayangi karena Allah. Agar kelak Allah tempatkan kita termasuk kedalam hamba-hambanya yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat karena saling mencintai karena Allah."

Dear MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang