Dear Maryam 9

1K 104 25
                                    

Sebelumnya aku mau minta maaf untuk sebagian orang yang mungkin akan terganggu dengan bagian ini. Kalian bisa melewatkannya jika tidak setuju dengan apa yang kutulis. Aku hanya menulis apa yang ada dalam imajinasiku.

Untuk kalian, selamat membaca...

***

Meja belajar di dalam kamar minimalis bercat ungu muda yang biasanya terlihat rapih itu kini dipenuhi dengan kertas-kertas sketsa yang tak tertata. Seorang gadis degan piyama bergambar teddy bear tampak serius dengan pensil dan kertas di hadapannya. Tangannya dengan lincah membentuk guratan-guratan di atas kertas putih tersebut. Sesekali dia tersenyum sumringah melihat hasil gambar yang dia hasilkan.

Gadis itu mengumpulkan beberapa sketsa yang berhasil ia buat dan membawanya menuju ruang keluarga, tempat biasa keluarganya berkumpul sambil menonton TV di malam hari. Ayahnya tampak sibuk memeriksa tumpukan buku tugas milik murid-muridnya di sekolah, dan ibunya sedang berada di dapur membuatkan minuman dan camilan untuk mereka.

“Ayah...” Gadis itu duduk di sofa, tepat di samping ayahnya.

“Hmm...” gumam lelaki 47 tahun itu tanpa menoleh.

Melihat sang ayah tak bergeming dari kegiatannya, gadis berpiyama itu mengguncang lengan kanan sang ayah untuk menarik perhatiannya. “Iih, ayah lihat Maryam.”

Haikal meletakan buku yang tengah di periksanya di atas meja bersama tumpukan buku-buku yang lain, kemudian memfokuskan perhatian kepada sang tuan putri.

“Apa?”

“Lihat deh. Menurut ayah bagus, nggak?” Maryam menyerahkan hasil gambarnya kepada sang ayah.

“Apa itu? Coba bunda lihat.” Tari yang baru keluar dari dapur meletakan setoples kue dan tiga gelas coklat panas di atas meja, kemudian duduk di samping kiri suaminya untuk ikut melihat kertas-kertas di tangan suaminya.

“Kamu yang gambar semua ini?” tanya Tari berbinar melihat beberapa design baju dan sepatu wanita yang tergambar di atas kertas tersebut. Kini semuanya sudah berpindah ke tangannya setelah berhasil merebutnya dari sang suami. Haikal hanya menggeleng melihat keantusiasan istrinya.

“Iya dong.”

“Ini bagus-bagus loh, Mar. Ya kan, Yah?”

Haikal mengangguk menyetujui pendapat istrinya. Sebenarnya dia tidak heran mengingat sejak kecil putrinya memang senang mendesign baju. Bedanya kalau dulu Maryam lebih sering mendesign pakaian yang tidak menutup aurat, sekarang lebih kepada pakaian-pakaian muslimah yang tertutup auratnya. Maryam memang sempat mengikuti beberapa kursus tata busana saat masih sekolah dulu. Tapi setelah lulus, ia lebih mamilih masuk jurusan bisnis. Haikal tidak tahu kalau putrinya masih senang mendesign hingga sekarang, bahkan mendesign sepatu wanita  juga.

“Tumben kamu gambar lagi. Setahu ayah, semenjak kuliah kamu sudah jarang banget gambar, apalagi setelah kerja. Malah kayaknya ayah nggak pernah lihat sama sekali?” tanya Haikal yang kini dibenarkan oleh istrinya.

“Masih kok, tapi sesekali aja kalau lagi pengen. Dan mulai sekarang, Maryam mau seriusin lagi supaya bisa jadi pekerjaan Maryam setelah menikah nanti.”

“Wah, bagus itu. Bunda dukung banget. Dari pada kamu nggak ngapa-ngapain karena sudah nggak kerja. Lebih baik mencari hal positif yang bisa dikerjakan di rumah. Ya, minimal supaya kalau kamu mau beli skincare atau make up, kamu nggak perlu minta sama Abi.”

Maryam terkikik geli. “Memang kenapa kalau minta sama Abi. Abi kan mau jadi suami Maryam, jadi mau nggak mau dia harus tanggung kebutuhan Maryam, dong. Mau punya istri cantik, harus mau keluarin modal juga. Ya, nggak, Yah?” tanya Maryam yang kepada sang Ayah dengan mengerlingkan sebelah matanya.

Dear MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang