Dear Maryam 12

941 102 42
                                    

Jangan salahkan aku ketika keraguan itu muncul dan menjamur di hatiku. Jika pada kenyataannya Allah melupakan aku dan meninggalkanku ketika aku membutuhkan pertolongan-Nya.

***

Keputusan Maryam sudah bulat untuk merahasiakan apa yang terjadi pada dirinya. Tidak siapapun ia biarkan tahu kecuali Reni, termasuk orang tua dan tuangannya, Abi. Mengingat nama Abi selalu membuat Maryam kembali menangis. Ia bingung apa yang harus ia lakukan mengingat pernikahannya dengan lelaki itu sudah berada di depan mata.

Haruskah Maryam membatalkan pernikahannya? Tapi jika ia membatalkan pernikahannya yang hanya tinggal menghitung hari, mereka semua akan mempertanyakan alasannya bukan? Maryam tidak ingin mengecewakan dan mempermalukan mereka semua. Dia tidak mungkin membatalkan pernikahannya setelah undangan pernikahannya tersebar dan segala persiapan telah selesai dilakukan. Lagipula Maryam akan semakin hancur ketika Abi turut meninggalkannya.

Maryam mencintai Abi. Sungguh.

Bolehkah Maryam bersikap egois kali ini? Meskipun Maryam sadar bahwa kini ia tidak sama lagi. Maryam tidak tau bagaimana ia akan menyikapi Abi nantinya. Kejadian itu menimbulkan trauma yang mendalam pada dirinya, yang tanpa alasan membuatnya takut dengan sosok yang di sebut laki-laki.

Bismillahirrahmanirrahiim...

"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," lirihnya ketika mendengar lafadz basmallah dari murotal yang diputar di masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Murotal yang memang selalu diputar oleh takmir masjid ketika mendekati waktu shalat.

"Benarkah?" lirihnya lagi kepada dirinya sendiri. Air matanya kembali luruh seiring dengan kejadian itu yang kembali terputar dengan jelas di kepalanya. Kejadian yang sangat ingin Maryam lupakan, namun selalu muncul begitu saja di kepalanya.

Keraguan kembali hinggap di dadanya.

Benarkah Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang? Jika iya, kemana kasih sayang Allah malam itu? Kenapa Allah tidak menyelamatkannya dan membiarkan dirinya sehancur ini? Bukankah Maryam sudah memperbaiki diri agar Allah menyayanginya? Memakai hijab, menunaikan shalat wajib di awal waktu dan menambahkan dengan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Bahkan meninggalkan apa-apa yang Allah larang. Semuanya Maryam lakukan agar Allah menyayanginya.

Lalu kemana Allah malam itu? Bukankah Allah tidak tidur? Tega sekali Dia membiarkan Maryam menderita seperti ini.

"Maryam," sapa sebuah suara menyadarkan Maryam dari perdebatan di dalam hatinya. Maryam segera menghapus air matanya sebelum memasang senyum semanis mungkin di hadapan Tari yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya. Maryam melihat ibunya itu sudah siap dengan mukena putihnya.

"Iya, Bunda."

"Kok masih rebahan aja. Sebentar lagi adzan loh, nak. Ayo ambil wudhu terus kita siap-siap shalat berjamaah."

Maryam mengangguk. "Iya, Bunda."

Tari menjadi imam shalat untuk maryam di musholla yang ada di rumah mereka, sementara Haikal melaksanakan shalat berjamaah di masjid.

Semuanya terasa hambar bagi Maryam. Kekecewaan yang ia rasakan membuatnya mati rasa dalam shalatnya. Jika bukan karena ibunya yang mengajak, mungkin Maryam tidak akan lagi melaksanakan kewajiban ini. Toh Allah tidak mau membantunya. Lalu untuk apa ia tetap taat bukan?

"Loh, mau ke mana? Nggak tilawah dulu, Nak?" tanya Tari ketika mendapati Maryam langsung membuka mukenanya selepas shalat.

"Di kamar aja ya, Bun. Maryam mau langsung tidur setelah itu," ujarnya kemudian berlalu begitu saja. Nyatanya gadis itu memang tidak ingin tilawah. Kekecewaan yang ia rasakan membuatnya tidak ingin lagi mendekat pada Tuhannya. Gadis itu lupa bahwa apa yang terjadi padanya saat ini adalah salah satu bentuk ujian dari Allah. Tanda kasih sayang Allah. Tanda bahwa Allah ingin Maryam semakin mendekat kepada-Nya.

Dear MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang