Chapter 0 : Prolog

1.2K 70 1
                                    

Disclaimer : All characters and cover are not mine :') but this fic is mine.

Pairing : Silakan tentukan sendiri :)

Genre : Fantasy, Slow Romance

Warning : Typo, receh, monoton, OOC, OOT, EYD berantakan, ceritanya lambat, membosankan, lebay, aneh, alur gaje, kalimat / tata bahasa campur-campur (bisa baku, bisa ga baku), tidak efektif, ga nyambung, dan kekurangan-kekurangan lainnya.

————————————————————————

-Third Person POV-

Keributan yang terjadi di ruang dansa -Celegre Ballroom Major Palace- perlahan sirna tatkala Yang Mulia Baginda Raja menjatuhkan mandatnya kepada tunangan Putra Mahkota, sang Antagonis.

Hampir semua tamu yang menghadiri pesta tersebut terbelalak tak percaya, terang-terangan menampilkan tampang syok mereka.

Ekspresi syok turut terpajang di wajah Putra Mahkota. Dirinya terlalu terkejut hingga tetap bergeming di tempat, otaknya terus-menerus memproses ulang amanat Ayahandanya.

Berbeda dengan reaksi kebanyakan orang, kebahagian terlihat jelas di muka sang Antagonis, meski sepasang iris aquamarine miliknya memancarkan kesedihan yang lumayan dalam.

Tamat.

Segala permasalahan beserta perjanjian antara Sang Antagonis dan Pangeran sudah terselesaikan detik itu juga, berlangsung lancar melebihi ekspektasi mereka.

'Selesai... tujuan kami tercapai, aku bisa pulang ke duniaku sekarang....'
Begitulah pikiran naif tokoh utama kisah ini sampai-

"Rin!"

.

.

.

Mari kita kembali ke masa lalu, ketika kehidupan protagonis cerita ini masih berjalan normal seperti 'manusia' pada umumnya ...

————————————————————————
-Setahun yang lalu-
————————————————————————

-Rin POV-

-tik- -tok- -tik- -tok-

-setstsetstst-

Yes! Hasilnya ketemu.

-tek- Aku melemparkan pensil yang sedaritadi kugunakan ke atas buku catatanku.

Pegal, tanganku pegal sekali.

Kurenggangkan jari-jari tanganku sembari melirik jam weker yang telah menunjukkan pukul 09.35 malam.

Gak berasa, dah 4 jam lebih aku ngerjain soal latihan hitungan. Udahan dulu deh, lanjut be—

ano ko no shinshou wa yomemasu ka
Duh, nada dering ini ....

sono kokoro wo kuroku someta no wa
Dengan malasnya, aku meraih smartphone yang ada di atas bantalku.

oi dare nanda yo oi dare
Tanpa mengecek nama serta nomornya, aku mengangkat panggilan masuk tersebut. "Halo?"

"Halo, Rin-chan? Ini aku, Teto. Apa kamu bisa menjemput Kakakmu sekarang?" Suara Teto-san terdengar bimbang, mungkin karena tak enak hati meneleponku jam segini.

Hah... Miku-nee mabuk berat lagi nih... setiap kali Miku-nee begitu, pasti aku yang dihubungi untuk menjemputnya. Memangnya mereka gak bisa apa pesen taksi buat nganterin Miku-nee pulang?

"Rin-chan?" Teto-san yang memanggil cemas namaku, sukses mengikis sebagian rasa jengkelku.

"Dimana?" tanyaku singkat.

"Di bar biasanya," jawab Teto-san tak kalah singkat.

"Oke." Kumatikan sambungan teleponnya lalu memasukkan smartphone ke dalam saku celanaku.

Aku mengambil dompetku dan bergegas pergi ke bar yang dimaksud Teto-san.

***

"Rin-chan!" Melihat lambaian tangan Teto-san, aku pun segera berjalan menuju ke arahnya.

Lagi-lagi teman minum yang sama seperti biasanya. Aku memberi salam kepada mereka sebelum menegur Miku-nee.

Kulihat wajah Miku-nee yang sangat merah, tertawa lebar sambil memegang segelas bir. "Miku-nee! Kenapa Miku-nee mabuk sampai seperti ini lagi sih..."

"Rin... Rinny... sini ikut minum bareng kami." Miku-nee menarik lengan kiriku, menyuruhku duduk di sebelahnya.

"Cukup! Kita pulang sekarang." Aku merebut gelas yang dipegang Miku-nee dan meletakkannya di atas meja.

"Ehh...! Tapi aku belum mau pulang...!" Tidak menghiraukan penolakan Miku-nee, aku lekas membayar bir yang Miku-nee minum lalu pamit pada teman Miku-nee.

"Ukm..." Miku-nee menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

Oh tidak, Miku-nee mau muntah. Buru-buru kuseret Miku-nee keluar dari bar.

Di luar bar, Miku-nee memuntahkan minuman dan makanan yang disantapnya tadi. Buang-buang uang saja. Untuk apa minum bir yang lumayan mahal kalau ujung-ujungnya dimuntahkan? Aku tak pernah mengerti pikiran orang-orang macam Miku-nee dan teman-temannya.

Setelah puas memuntahkan semuanya, Miku-nee malah duduk, bersandar pada tiang listrik.

"Sadarlah Miku-nee, jangan tidur dulu. Rumah kita dekat sini kok." Aku membangunkan Miku-nee, memaksa Miku-nee untuk berdiri.

"Rinny... aku butuh air...." Miku-nee sedikit terbatuk seraya memegangi keningnya. Aku menarik nafas panjang.

"Okei, akan kuberikan. Tapi, Miku-nee harus tunggu di sini dan jangan kemana-mana." Miku-nee mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui syaratku.

Untunglah di seberang bar ada minimarket. Aku bisa membeli air sambil terus mengawasi Miku-nee tanpa perlu membawa Miku-nee bersamaku.

Tin! Tin!

Aku menengok ke arah mobil yang entah muncul darimana dan sejak kapan mengklaksonku tanpa sempat menghindar.

"Rin...ny!" Samar-samar aku mendengar panggilan Miku-nee kemudian kesadaranku langsung menghilang ....

-TBC-

Sang Antagonis dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang