satu

343 22 15
                                    

Oh, why you look so sad
The tears are in your eyes
Come on and come to me now

Biasanya Dio yang akan menyanyikan lagu ini untukku, setiap kali melihatku sedih. Tapi nyatanya, sekarang suara Pretenders yang sedang terdengar mengalun lirih disini.

Duduk sendirian di sudut kafe mungil yang cozy, di temani segelas capuccino panas dan sepotong cheese cake yang sedari tadi masih juga enggan ku sentuh, aku menyendiri meratapi hidupku yang berantakan.

Sensasi perih dan nyeri di sudut bibirku-lah yang membuatku mengabaikan pasangan kopi dan kue terlezat tersebut. Selain sudut hatiku yang juga terasa ngilu tentunya, yang membuatku enggan mengecap apapun itu. Lagipula, sebetulnya aku kemari juga bukan untuk mereka berdua. Aku hanya ingin menyendiri sejenak, duduk diam supaya tetap waras dan berhenti dari memikirkan dunia.

Aku memang sengaja memilih tempat yang paling temaram dan terjauh. Menghindar dari beberapa pengunjung yang bergerombol memenuhi meja-meja. Untuk menyembunyikan semburat biru lebam dari sudut bibir dan juga pelipisku, tentu saja aku harus mencari tempat yang gelap, bukan?

23.30

Angka yang menyala dari layar mungil dengan rubber strap yang meliliti pergelangan tangan kiriku, tidak juga membuatku beranjak dari sini.

"Cewek brengsek lo."

Lagi-lagi bayangan kejadian tadi yang aku ingat. Meskipun aku sudah setengah mati  berusaha untuk tidak mengingatnya.

"Yang, sakit ini." Rintihku sambil berusaha melepaskan genggaman tangan besarnya dari rambutku yang panjang sebahu.

"Aku tadi mau ngabarin kamu, tapi hp ku low bat, Yang."

Bukannya melunak, dia malah melepas genggamannya dengan kasar dan melayangkan telapak tangan kanannya ke pipi kiriku. Perih dan panas seketika menjalari pipi sampai ke sudut bibir. Tercecap sedikit rasa asin darah juga disana. Tamparannya yang penuh tenaga juga berhasil membuat aku tersungkur ke lantai. Pelipisku membentur meja kecil di pojok ruangan, dimana terdapat pigura dengan gambar kami berdua yang sedang berangkulan di atasnya. Miris sekali.

Mencengkeram kerah kemeja flanelku yang sudah sobek di beberapa bagian, Dio menarikku berdiri.

"Sampai gue lihat lagi lo bareng Dimas, gue habisin lo berdua!" desisnya penuh penekanan.

Tidak pernah mudah memang berurusan dengan cowok macam Dio. Temperamental, ringan tangan, cemburuan dan cenderung nekat memang. Meskipun tak jarang juga dia bisa bersikap sangat manis dan menyenangkan.

Aku masih ingat sekali saat dia rela menerobos hujan demi menjemputku pulang kuliah. Atau saat dia hanya punya selembar rupiah berwarna hijau di dompetnya, tapi dia rela menghabiskan semuanya demi sepiring nasi campur dan segelas teh panas sewaktu tahu aku belum sarapan.

Dio itu seperti rumah buatku. Tempat untukku kembali, berkeluh kesah, berbagi perasaan sayang dan cinta meski pun tidak jarang juga kami ribut seperti tadi. Karena untukku, dialah satu-satunya yang aku punya saat ini.

Lalu Dimas, kalian salah besar kalau berpikiran sama seperti Dio. Dimas --cowok yang Dio cemburui itu-- teman kuliahku, teman Dio juga.  Teman baik yang akhirnya terpaksa harus aku hindari setiap kali Dio terlihat di sekitar kami. Dan tadi, aku memang terpaksa pergi berdua saja dengannya ke salah satu percetakan langganan kami.

Kami memang memesan beberapa brosur dan selebaran untuk acara musik minggu depan. Berhubung aku yang mengurusi segala urusan tentang cetak-mencetak dan promosi, jadilah aku yang pergi mengambil brosurnya. Lalu tanpa berpikir panjang, aku yang hari ini tidak membawa kendaraan, mengiyakan tawaran Dimas untuk mengantar. As simple as that. Sama sekali tidak ada setitikpun niat buat selingkuh. Apalagi sama Dimas.

Aku dan Dimas memang sama-sama aktif di kepanitiaan acara musik ini. Acara yang bertujuan untuk menggalang dana demi salah satu teman kami, Afandi. Cowok pendiam yang menjadi korban kekerasan saat demo di depan gedung DPR beberapa waktu lalu.

Entah bagaimana kejadiannya, tapi yang pasti saat ini Afandi sedang menjalani perawatan intensif di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. Tulang kakinya patah, beberapa bagian juga tidak berada pada tempatnya. Belum lagi luka pukulan di kepala yang mengakibatkan dia tidak sadarkan diri sampai sekarang.

Afandi ini anak yang baik, bukan jenis cowok yang petakilan dan petentang-petenteng dengan gaya sengaknya. Meskipun dia cukup tampan dan menjadi incaran beberapa teman perempuan kami, tapi dia lebih memilih untuk tersenyum dan menunduk setiap kali perempuan-perempuan centil itu mendekati.

Kedua orang tuanya petani kopi di Sumatera sana, yang saat ini sedang terpuruk karena kebun kopinya ternyata bersengketa. Jadi, Afandi terpaksa harus kuliah sambil bekerja demi bisa membayar uang kuliahnya.

Itulah kenapa kami menggiat acara ini. Acara musik yang bertajuk "Selamatkan Afandi" yang pada akhirnya justru membuatku babak belur seperti ini. Dio murka saat tidak menemukanku di kampus. Terlebih lagi, dia tidak bisa menghubungiku karena ponselku mati.

"DUA JAM GUE NUNGGUIN LO DI KAMPUS, BRENGSEK!"

Umpatnya di depan mataku begitu aku menemuinya. Dio yang sedang duduk memainkan rokok yang menyala di jari kanannya, langsung meluapkan amarahnya begitu saja. Sorot matanya semakin menakutkan tatkala dia mendapati Dimas yang berada dua langkah di belakangku.

"LO HABIS SELINGKUH SAMA DIA?" tanyanya sambil menarik kencang kerah kemejaku. Membuang rokok yang tadi masih menyala, menginjaknya geram dan mengacungkan jari telunjuknya ke depan mukaku, Dio melampiaskan amarahnya tanpa peduli dengan banyaknya pasang mata yang mengamati kami.

Dengan rahang yang mengetat dan cengkeraman kuat, dia menyeretku menuju CB150R Street Fire keluaran terbaru miliknya. Memaksaku membonceng dan dengan kecepatan kilat membawaku melesat menuju kamar kosnya yang muram.

Entah sudah berapa banyak pukulan atau tamparan yang aku terima, juga berapa banyak tuduhan konyol yang dia tujukan padaku saat itu, aku tidak tahu. Yang jelas, Dio baru berhenti ketika ponselnya tiba-tiba menjerit nyaring mengagetkan kami. Lalu, tanpa melihatku, dia meninggalkanku begitu saja di kamar kosnya yang berantakan.

Dio memang begitu. Dia seakan hilang akal setiap kali marah. Dia bisa berubah menjadi begitu mengerikan seketika, meskipun detik sebelumnya kami masih berpelukan mesra. Namun herannya, kenapa aku masih saja begitu memujanya?

"Mbak, maaf kafenya sudah mau tutup," ujar salah satu pegawai, yang dari bordir di apronnya aku tahu bernama Banyu.

Tergagap karena kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba, aku menunduk mengusap air mata yang dari tadi seakan tak mau berhenti.

"Kopi sama kuenya mau di bungkus?" tawarnya. Suaranya yang lembut membuatku mendongak dan kemudian mendapati ada satu lesung pipit di pipi kanannya. Dengan tinggi sekitar 175cm, tampang yang serupa Rizky Nazar dan postur tubuh yang tak kalah bagusnya dengan para artis itu, harusnya dia bisa menjadi model majalah atau pemain sinetron di tv.

"Mbak?" tanyanya lagi dengan ekspresi bingung kala aku tak kunjung menanggapi pertanyaanya tadi. Atau mungkin juga dia heran, kenapa ada gadis dengan kemeja yang sobek -sobek di beberapa tempat, dengan tampang kacau berantakan penuh lebam, malah lebih memilih untuk pergi ke kafe ini dari pada pulang ke rumahnya yang hangat?

 Atau mungkin juga dia heran, kenapa ada gadis dengan kemeja yang sobek -sobek di beberapa tempat, dengan tampang kacau berantakan penuh lebam, malah lebih memilih untuk pergi ke kafe ini dari pada pulang ke rumahnya yang hangat?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang