tiga belas.

131 13 6
                                    


Apa yang akan kalian lakukan, jika satu-satunya orang yang kalian harapkan bisa melindungi dan mencintai kalian, justru membuat kalian merasa hidup bagai di neraka? Beberapa mungkin tidak akan memilih untuk bertahan. Namun, tidak dengan Sinta. Saat melihat bayi mungilnya menangis tiada henti di tengah malam, lalu hanya bisa diam jika sudah ditimang sang ayah, maka seluruh keinginannya untuk keluar dari belitan siksa, musnah sudah. Dia tak ingin anaknya kehilangan sosok dan kasih sayang ayah kandungnya. Dia rela menanggung semua duka, demi melihat senyum sang putra kala bercanda dengan ayahnya.

Sikap suaminya memang menjadi sedikit lebih lunak, setelah kelahiran Damar. Mungkin karena raut wajah mereka berdua yang begitu mirip, atau entah karena bayi mungilnya memang begitu menggemaskan.

Pernah suatu malam Sinta mendapati sang suami tengah memperhatikan Damar bayi, yang tengah terlelap dalam box tidurnya. Mengamatinya lekat, sebelum jari telunjuknya terjulur perlahan, menyusuri wajah mungil itu. Ujung bibirnya sedikit tertarik keatas, ketika si bayi tampak mulai merasa terusik, menggerakkan bibir kecilnya mengikuti arah telunjuk tadi.

Mungkin, jika bisa dibilang keajaiban Tuhan, maka inilah keajaiban Tuhan menurut Sinta. Suaminya yang mulai menerima dan menyayangi Damar.

Ia bahkan tidak segan menggantikan popok putra sulungnya yang basah.
Suaminya juga, tanpa diminta, mau menggendong Damar setiap kali bocah itu demam dan menjadi lebih cranky. Lalu, entah bagaimana caranya, ia bisa menjadi begitu piawai dalam menenangkan dan mengambil hati putra kecilnya yang lucu itu.

Fadil memang masih suka kasar, saat beberapa kali mereka ribut besar, meskipun sudah ada Damar. Namun, Sinta seakan punya kekuatan lebih untuk bertahan sekarang. Damar, putra pertamanya yang Sinta harapkan bisa menjadi penerang.

Semakin besar, Damar tumbuh menjadi anak yang lembut dan begitu perasa. Entah karena semua hal yang telah ia lalui semenjak dari dalam kandungan, atau Tuhan memang sengaja mengirimkannya sebagai penyeimbang dalam kehidupan Sinta. Anak laki-laki yang mampu memberinya kelembutan dan kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari suaminya.

Namun, jangankan bolu yang pada dasarnya memang mudah lebur, batupun jika terus-menerus dihantam akan hancur. Begitu juga yang terjadi dengan Damar. Fase depresinya sudah mulai terlihat saat ia kelas tiga Sekolah Dasar. Saat ia melihat dengan mata kecilnya bagaimana ibunya tersungkur menabrak kursi jati di ruang tengah rumahnya. Damar melihat bagaimana ibunya berderai air mata, dengan leher pakaian atasnya yang terkoyak, meringkuk di lantai yang dingin.

Damar kecil menangis ketakutan melihat separuh jiwanya menderita seperti itu. Dia berlari memeluk sang ibu. Dengan tangan kecilnya, ia rapikan rambut ibunya yang berantakan, dan berusaha memapah ibunya, meski kepayahan.

Sejak saat itu, Damar yang pendiam, menjadi semakin sering mengurung diri di kamar setiap kali ayahnya pulang. Apalagi jika sang ayah sudah terlihat berwajah merah dengan mulut beraroma sampah. Damar heran, kenapa ayahnya begitu berubah sekarang.

Damar akan memilih untuk mengunci kamarnya dari dalam, menenggelamkan wajahnya dalam tumpukan bantal dan berusaha tidak mau mendengar keributan yang terjadi di luar kamarnya. Dia hanya keluar setelah makian ayahnya tak lagi terdengar. Berjalan perlahan menuju kamar ibunya, sedikit menguping untuk memastikan ayahnya tidak ada di dalam, lalu masuk dan memeluk ibunya erat.

Bertahun-tahun dia melakukan itu. Hatinya ingin sekali bisa melindungi dan membela sang ibu, namun saat melihat betapa mengerikan ayahnya, keberaniannya seketika menciut. Alih-alih melawan sang ayah, dia lebih memilih untuk menghapus air mata ibunya dalam diam. Saling berbagi dekapan, bahkan kadang sampai ia terlelap.

Damar, memang nyatanya menjadi lentera dalam kelamnya hidup Sinta.

***

Dua tahun berselang, Sinta melahirkan anak kedua-nya. Bayi laki-laki yang sehat dan begitu aktif. Manik matanya yang menyorot cemerlang dan tajam, membuatnya berbeda dengan sang kakak yang penuh kelembutan. Damar, sang kakak, menuruni kelembutan dari Sinta, ibunya. Sedangkan anak keduanya, Dio, kuat dan keras bagaikan sang ayah, Fadil.

Kalau Damar lebih memilih untuk menenangkan dan memeluk sang ibu, maka Dio lebih memilih untuk memasang badan melindungi ibunya.

Dio bisa langsung lari menarik tangan sang ayah yang tengah murka, meskipun berakhir dengan tubuhnya yang terpelanting jauh ke belakang. Ia juga pernah berteriak histeris dan menggigit paha ayahnya, ketika tangan yang biasa ia tarik, tengah mencengkeram kencang rambut ibunya. Dio murka mendapati ayahnya demikian. Dan dari setiap kejadian itulah, kebencian terhadap sang ayah mulai berakar di hatinya.

Dio kecil sudah terbiasa melihat kekerasan terjadi di rumahnya. Hatinya berteriak lantang bahwa ia, Dio, putra kedua Fadil Ardiansyah, begitu dalam membenci ayahnya.

"Kalau Ibu saja bisa memaafkan ayahmu, kenapa kamu nggak, Nak?" Ibunya selalu saja menanyakan hal yang sama setiap kali Dio memberontak. Sinta tahu, anak keduanya juga begitu menyayangi dirinya. Namun, Sinta tidak ingin Dio membenci ayahnya sedemikian dalam. Sinta tidak mau Dio terus hidup dalam dendam dan kebencian.

"Mungkin Dio baru bisa maafin dia, kalau dia udah meninggal Ma," jawab Dio dingin. Hatinya benar-benar telah hangus karena api kemarahan.

Dio ingat, suatu kali mamanya pernah berkata, "kamu boleh membenci papamu, Nak, meskipun Mama nggak suka Dio begitu. Yang pasti, Mama pengin Dio janji sama Mama, kalau sudah besar nanti, Dio nggak boleh kasar kayak Papa, ya, Nak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang