#Banyu__Biru
#part_5Semakin larut, EPIC semakin penuh. Beberapa orang masuk sekaligus, menempati sofa empuk tepat di samping kiri Biru dan ketiga temannya duduk. Biru diam memperhatikan Dio yang sedang menyanyikan "Paradise" di depan sana. Menikmati french friesh yang masih hangat, dan sesekali menimpali ocehan teman-temannya, ia tidak menyadari ada sepasang mata yang dari tadi memperhatikannya dan juga Dio berulang kali.
"Gue ke toilet bentaran ya." Berdiri dengan mengalungkan tasnya di bahu kiri, Biru bergegas menjauh dari meja mereka.
"Buruan Ru, entar di cariin Dio repot lagi lo," jawab Vani sambil memasukkan irisan kentang goreng dengan saus sambal ke mulutnya.
Teman-temannya tahu seperti apa hubungan Biru dan Dio. Beberapa kali mereka mendapati wajah Biru membiru di beberapa tempat. Pun saat Biru dicaci maki di depan umum, atau diseret untuk mengikuti langkah kaki Dio yang panjang, mereka melihat. Namun tidak ada yang bisa mereka lakukan karena, sekali saja mereka mendekat untuk menolong Biru, maka amarah Dio malah akan menghebat dua kali lipat.
Mereka bahkan pernah menyarankan Biru untuk putus dari Dio, tapi jawaban Biru saat itu membuat mereka tidak mampu lagi mendebat.
***
Dua wastafel putih bertuliskan American Standart yang, beralaskan marmer hitam mengkilat, dengan kaca super lebar di atasnya menyambut Biru yang baru saja masuk. Di sebelah kanan dan kirinya masing-masing, terlihat mesin pengering tangan yang menempel di tembok putih. Dua bilik kecil yang semua pintunya tertutup, tepat berada disamping tembok tersebut. Di depannya, berdiri lima orang wanita menunggu giliran.
Biru yang datang terakhir pun terpaksa mengambil barisan paling belakang. Heran, kenapa toilet perempuan selalu saja antri. Jarang sekali Biru mendapati toilet yang sepi, baik itu di mall ataupun kafe seperti ini.
Membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit untuk Biru menyelesaikan urusannya dengan ruang toilet. Sepuluh menit untuk antri, dan lima menit lainnya untuk mengeluarkan semua cairan yang membuat kermihnya penuh lalu memversihkan diri. Setelah merapikan rambut dan memoles ulang bibirnya dengan lip matte nude yang ia bawa, Biru bergegas keluar. Kuatir akan teman-temannya yang menunggu lama, juga Dio yang mencarinya, Biru berjalan cepat berbelok ke kanan menuju mejanya.
"Aduh!"
Biru menjerit kaget setelah tanpa sengaja dirinya menabrak seseorang. Mengelus pelan keningnya yang terasa berdenyut setelah benturan tadi, dan menemukan satu sosok yang terasa familiar di depannya, sedang melakukan hal yang sama.
"Maaf," kata mereka bersamaan sebelum keduanya tertawa pelan.
Sepersekian detik terasa lambat ketika akhirnya mereka menyadari siapa yang mereka tabrak tadi. Bersamaan mengacungkan telunjuknya, Biru mengenali pria yang serupa Rizki Nazar ini sebagai mas-mas di kafe dengan apron bertuliskan nama, Banyu.
Namun, seperti halnya kebanyakan perempuan yang kerap merasa gengsi ketika mengenali laki-laki yang pernah dia jumpai, begitu halnya pula dengan Biru.
"Kayaknya pernah lihat deh." Kalimat singkat yang Biru pilih. Alih-alih memastikan kalau cowok di depannya adalah orang yang sempat dia pikirkan.
Tersenyum lebar, sang cowok pun mengenali kalau cewek inilah yang dengan wajah lebam, duduk sendirian di kafenya hingga larut malam.
"Mbak, yang kopi sama kue-nya nggak jadi dimakan waktu itu kan?"
"Saya Banyu." Mengulurkan tangannya mantap mengajak berkenalan.
"Biru."
Bermaksud untuk menjawab pelan karena takut ketahuan sang pacar, justru suara mirip bisikanlah yang lolos dari bibirnya. Seutas senyum manis, yang tidak bisa menutupi rasa canggungnya pun tercipta.
"Biru, dicariin Dio dari tadi noh." Sura Vani yang tiba-tiba muncul dari punggung Banyu-lah yang akhirnya menyelamatkan Biru dari kecanggungannya. Menatap dengan rasa penasaran ke arah Banyu, Vani berjalan menghampiri Biru.
Kafe memang terdengar tak seberisik tadi, sekarang. Masing-masing orang sibuk dengan kegiatannya. Sebagian terlihat santai bercengkerama, dan beberapa nampak asik memanfaatkan layanan wi-fi gratis yang tersedia.
Biru melangkah kembali menuju mejanya bersama Vani, setelah berpamitan dengan cowok berapron coklat waktu itu. Cowok yang sama yang beberapa saat tadi tanpa sengaja bertabrakan dengannya, di sudut kafe ini.
Tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya, Vani memberanikan diri bertanya. "Siapa tadi Ru?"
Menoleh sekilas, Biru menjawab ringan. "Oh itu, pelayan kafe yang waktu itu gue pernah ketemu. Gak gitu kenal juga sih. Kenapa?"
Vani yang memang lagi gencar tebar pesona, tersenyum menjawab pertanyaan Biru. "Ganteng. Udah punya cewek belum ya?"
Biru mengedarkan pandangnya mencari satu sosok yang tadi sibuk di atas panggung, namun nihil. Hanya ada Mita dan Anggi di meja mereka. Panggung kecil yang tadi meriah juga sudah sepi sekarang. Alih-alih menanggapi pertanyaan menjurus dari Vani tadi, Biru justru memilih untuk melesakkan pantatnya di sebelah Mita dan berbisik pelan, "Dio mana?"
Dengan mengarahkan dagunya, Mita menjawab pertanyaan Biru. Menunjukkan dimana keberadaan Dio, yang saat itu sedang berdiri di pojok kiri kafe yang sedikit remang.
Beranjak berdiri, berniat untuk menghampiri, namun seketika duduk lagi saat Biru menyadari bahwa Dio tidak sendirian. Postur tubuh Dio yang lumayan tinggi dan membelakangi Biru, memang mampu menutupi satu sosok di depannya. Seorang cewek yang sangat Biru kenal, yang sedang berdiri tepat di depan Dio.
"Ru, emang Dio sama mbak Dian tuh udah kenal lama ya?" Mita yang polos membuka suara.
Biru menyesap minumannya perlahan demi Mengabaikan rasa penasaran dan kurang nyaman. "Setau aku sih gitu." Biru memang tidak tahu seberapa lama mereka berdua telah saling mengenal. Dio hanya pernah bercerita kalau mbak Dian ini kenalan lamanya. Itu saja.
"Udah lumayan lama tuh di situ." Kali ini giliran Anggi menambahkan informasi yang sebenarnya tak ingin Biru dengar.
"Kayaknya lagi ngomongin sesuatu yang serius deh," lanjutnya.
Dio memang terlihat serius. Beberapa kali mengusap wajahnya, melengkungkan tangannya di pinggang, atau menggelengkan kepala. Entah sedang membicarakan apa. Hampir lima menit lamanya, sebelum akhirnya Dio berbalik dan bersitatap dengan Biru. Sepersekian detik Biru bisa mendapati wajah Dio yang tampak frustrasi. Namun secepat kilat pula Dio merubahnya dengan menampilkan senyuman yang cepat menular.
Mengambil tempat duduk di samping Biru, Dio membuka suaranya. "Dari mana tadi?"
Jemarinya ikut bergerak merapikan anak rambut Biru yang tak terikat.Tersenyum menyambut Dio, Biru menjawab. "Dari toilet, lama banget tadi ngantrinya."
Lalu, entah keberanian dari mana saat tiba-tiba saja lidahnya dengan lancang bertanya, "Ada masalah sama Mbak Dian, Yang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BANYU BIRU
General FictionBanyak orang mengatakan "bodoh" kepada mereka-mereka yang tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Toxic relationship. Tanpa pernah mau mendengar, alih-alih mengerti, manusia menilai mereka semudah bicara.