delapan.

73 11 1
                                    

Netbook yang terbuka dalam keadaan menyala, block note, serta pulpen dan juga ponsel pintar tergeletak berserakan di atas kasur. Telentang dengan mata tertutup, aku berbaring tak jauh dari situ. Menengadah menghadap langit-langit kamar yang sudah aku hafal persis setiap detilnya.

Dengan napas teratur, pikiranku mengembara liar kemana pun dia mau. Kenangan manis dengan Dio beberapa minggu lalu, ingatan tentang sentuhan lembutnya di kepalaku dan pelukannya setiap kali aku sedih, semua perlakuan kasarnya, sampai kejadian tadi malam.

Betapa kisah cintaku rumit dan berbelit, seperti rujak tumbuk dengan pedas level sepuluh. Manis, kecut, asam, sampai ekstra pedas, semuanya ada. Saling melengkapi, tidak bisa lagi dipisahkan satu sama lain.

Dio. Satu nama yang sebenarnya sedang sangat aku hindari sekarang. Baik dalam pikiran ataupun kenyataan. Malah sibuk mondar-mandir dalam ingatan, dan memantik satu keputusan absurd yang selama ini belum pernah aku lakukan.

Aku lelah. Ingin mencoba sebentar saja untuk tidak berotasi padanya. Sampai-sampai muncullah ide untuk melarikan diri. Menghindar sementara dari belitan samsara yang kami punya, mungkin tindakan yang paling tepat untuk kesehatan jiwaku saat ini.

Aku mencoba mengambil napas pelan untuk menghalau semua kekalutan pikiran. Lalu bayangan tentang kejadian semalam tiba-tiba melintas begitu saja dengan tidak sopan, aku menutup mataku semakin rapat.  Dahi berkerut, amarah membuncah, dan tangan menutup erat wajah dengan bantal yang aku ambil serampangan. Seolah-olah dengan begitu, aku sanggup membuang semua kenangan tentang semalam.

Berteriak lantang dengan suara teredam bantal, satu per satu wajah mereka melintas di mataku. Jijik, muak, sekaligus benci bergumul jadi satu.

Jantungku berdetak semakin cepat, tanganku mencengkeram bantal dan menekannya semakin kuat, hingga aku hampir saja kehabisan napas. Kepingan-kepingan memori semalam semakin jelas di ingatan.

AKU BENCI! AKU BENCI!

Hati dan otakku mulai riuh merapalkan mantra ini. Namun bukannya membaik, jiwa ragaku malah terasa semakin sakit. Dan aku sudah lelah seperti ini.

Mencoba mengatur napas, memikirkan pantai luas, kelapa muda, dan ketenangan alam, membuatku merasa sedikit membaik. Namun sayangnya, semua itu tidak berlangsung lama. Karena bayang-bayang kejadian semalam, dan kekuatiran yang sama lalu muncul begitu saja seperti hantu. Membuatku kembali ragu. Kampret! Pikiran tentang penculikan, human trafficking, pemerkosaan benar-benar membuatku merinding.

Fix!

Aku memutuskan untuk membatalkan liburan ke Labuan Bajo sendirian. Mengajak ketiga cewek rempong itu juga tidak mungkin. Karena mereka sama saja sepertiku, tidak bisa berbuat banyak jika hal seperti semalam terjadi lagi.

Dio? Lebih tidak mungkin lagi. Bukankah aku pergi karena ingin menghindar darinya dan segala kerusuhan ini?

Berbalik miring, aku mematikan dan menutup laptop dengan enggan. Merapikan semua benda yang berserakan di sekitarnya, sekaligus membuang impian tentang pantai biru, jauh-jauh. Dan dengan berat hati mengenyahkan nada "Pantai Memanggilmu" yang bergema dengan riang dari tadi.

Santailah dulu sejenak kawanku
Tinggalkanlah semua masalahmu
Bisik pasir, deburan ombak
Temani semesta membiru

Dengarlah
Santailah dulu sejenak kawanku
Tinggalkanlah semua masalahmu
Bisik pasir, deburan ombak
Temani semesta membiru
Dengarlah
Pantai memanggilmu

Apa yang kau cari ada di luar sana
Ke pantai berlari kita bersama-sama
Ayo ikut denganku
Menari di bawah langit biru
Kau dan aku
Kita bercanda ria

Labuan Bajo, selamat tinggal. Pantai biru, aku mau. Namun aku tidak ingin mati konyol sendirian di situ. Ah, aku rasa aku memang tidak cocok menjadi seorang petualang. Karena nyatanya, jarak terjauhku pergi dari rumah sendirian hanya sebatas kampus ataupun mall buat hang out bareng Mita, Vani dan Anggi.

Berguling kesana-kemari dan merasakan pikiran yang semakin carut marut, aku yakin, aku akan jadi semakin gila jika tidak melakukan apapun. Mengambil ponsel, menyalakan, dan membuat pesan suara di grup WA --yang hanya berisikan kami berempat-- aku mengajak mereka bertemu di Mall terdekat dari rumahku.

Meskipun awalnya agak ragu dan takut saat memutuskan itu, tapi aku berusaha untuk meyakinkan diri, tidak akan terjadi apa-apa nanti. Ini kotamu sendiri, Mall yang biasa kamu datangi, yang sudah kamu hafal setiap sudut dan belokkannya seperti rumahmu sendiri, jadi tidak akan terjadi apapun yang mengerikan nanti. Apalagi sekarang masih sore, matahari masih benderang. Berulang kali aku menanamkan keyakinan dan pemikiran ini dalam hati.

Bergegas untuk mandi dan berganti baju, setelah mendapatkan balasan "ya" dari mereka berempat, aku menyambar tas dan juga kunci mini cooper dari atas meja rias. Berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada bedak atau lipstik yang berantakan, dan segera beranjak turun.

"Mbak Inah, aku pergi sebentar ya." Pamitku pada mbak Inah yang terlihat sibuk mengepel lantai. Aroma apel dari pewanginya tercium sampai ke hidungku. Membuatku sedikit lebih tenang dan bersemangat.

Aku memang menyukai wewangian. Sangat. Mulai dari parfume, essential oil, bahkan lilin aroma terapi maupun dupa Arab (biasanya beraroma pengantin baru) ada di salah satu laci di meja kamarku.

Wewangian bisa membuat moodku yang berantakan, membaik. Membuat insomniaku menjadi sedikit lebih ringan saat mencium wanginya. Tubuh dan pikiranku terasa rileks dan tenang, begitu aroma lavender yang lembut tercium di seluruh sudut kamar.

Melintasi garasi, membuka pintu kemudi dan duduk di depannya, tiba-tiba saja tasku bergetar disertai suara nyaring yang berasal dari dalamnya.

Nama Dio dengan gambar dua gagang telepon di bawahnya langsung terlihat, begitu aku membuka tas yang sudah duduk diam di kursi penumpang, di sampingku. Sejenak ragu antara mau kuangkat atau tidak, begitu mengetahui siapa yang menghubungi. Menarik napas panjang, berusaha terdengar senormal mungkin, ibu jariku menggeser pelan gagang dengan warna hijau. Mendekatkan ponsel ke arah mulut, karena sudah dalam mode loud speaker, aku menyapa Dio.

Tidak banyak yang ia bicarakan. Hanya sekedar menanyakan kabar lalu meminta maaf, seperti biasa. Menanyakan apa yang sedang aku lakukan, dan meng-iya-kan saja saat aku bilang akan bertemu dengan sahabat-sahabatku sekarang. Padahal sebelumnya aku sudah kuatir kalau Dio tidak akan mengizinkan, meskipun aku sudah nekat akan tetap pergi, tadi.

Menyalakan mesin dengan menekan tombol start, mengatur gigi dalam posisi reverse dan perlahan menginjak pedal rem untuk mundur.

BRAK!

Aku menghentikan mobil seketika. Membuka pintu secepat mungkin, dan melesat keluar, melihat apa yang terjadi saat aku memundurkannya tadi.

Sebuah sepeda motor terjatuh di jalanan, tepat di bagian kiri belakang cooperku.

OH MY GOD! What a great day!

Kaget juga kesal dengan semua hal yang terjadi dari semalam sampai sekarang, tanpa sadar aku mendesah lelah. Dan kekagetanku menjadi dua kali lipat ketika netraku menangkap satu sosok yang terjatuh telungkup tidak jauh dari motornya. Postur tubuh itu....

Cowok dengan setelan chinos dan polo shirt mocca, yang meskipun hanya dari samping tapi sosoknya terasa begitu familiar akhir-akhir ini. Beberapa kali bertemu dengan tidak sengaja, membuatku cukup menghafal postur tubuhnya. Dan benar saja, ketika berbalik, wajah inilah yang tadi terlintas di otakku.

"Mas Banyu?"

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang