tiga

136 14 0
                                    

Kampus siang ini tampak lengang, mungkin karena sekarang sudah jam aktif belajar. Hanya beberapa mahasiswa yang terlihat berlalu lalang di sepanjang koridor menuju ruang dosen, ruangan pak Hendra.

Huft, Aku benar-benar sudah terlambat.

Lima belas menit lebih lambat dari jadwal yang ditentukan bukanlah hal yang bisa aku sepelekan jika sudah berurusan dengan beliau.

Tentunya bukan tanpa alasan kan, kenapa beliau sampai menyandang gelar dosen killer di sini. Rahangnya yang mengeras, dengan sorot mata tajam seakan ingin menerkam itu belum seberapa, jika di bandingkan dengan kata-katanya yang tajam.

Ringkas, jelas, dingin dan kejam.

Bahkan sang istri, yang merupakan salah satu mahasiswinya, pun pernah menjadi korban dari dingin dan kejamnya kata-kata beliau.

KELUAR!

Bukan dengan teriakan. Hanya satu kata singkat, dengan pandangan yang menghunus dan ucapan penuh penekanan, saat mengatakannya kepada sang istri, yang kedapatan tidur di tengah-tengah jam perkuliahan.

Maka, demi untuk menghindari hal-hal yang demikian, aku lebih memilih mempercepat langkahku dengan sedikit berlari.

Melewati koridor panjang yang kali ini terlihat jauh lebih menakutkan, aku berbelok ke kanan. Sebuah pintu kaca besar bertuliskan RUANG DOSEN sudah jelas terlihat, hanya tinggal beberapa langkah lagi ke depan untuk bisa mencapainya ketika, tiba-tiba saja seseorang muncul dari koridor lainnya yang berada di sebelah kiriku.

BRUGH!

Berantakan semua buku dan isi tasku berhamburan di keramik dingin.

"Jalan pake mata mbak!" makinya.

"Eh, loh yang, kamu ngapain lari-larian?"

Mencoba untuk menormalkan deru nafas dan jantung dengan membungkuk, serta menumpukan kedua telapak tangan di lutut, aku mencoba untuk menjawab pertanyaan Dio.

"Ada janji sama pak Hendra, yang. Tapi ini sudah telat lima belas menit lebih," jawabku dengan sedikit tersengal.

Dio berjongkok untuk merapikan semua barangku yang berhamburan tadi. Menumpuk buku-buku besar menjadi satu, dan memasukkan segala alat tulis juga alat make up-ku (yang cuma bedak dan lip matte itu) ke tote bag biru yang sekarang sudah berpindah tempat di bahu kirinya.

"Ayo, aku antar," katanya sembari mengulurkan telapak kanannya meraih jemariku.

Hanya butuh beberapa langkah untuk kami berdua mencapai ruangan pak Hendra, dan mendapati kursi kebesarannya kosong tak berpenghuni.

Pak Hendra sudah keluar dari sekitar sepuluh menit yang lalu!

Informasi yang aku terima dari rekannya berhasil membuat aku menarik tipis ke dua ujung bibirku ke kiri.

"Mati deh, aku pasti suruh ngulang lagi," gerutuku lirih sambil melangkah lemas menjauh dari ruangan ini.

Kecewa dan sedih, membayangkan harus mengulang satu mata kuliah yang paling aku benci ini, membuatku teringat alasan apa yang menjadikan aku terlambat.

"Biru, sarapan dulu nak," kata ibu seketika, saat melihatku menuruni tangga.

Duduk di kursi hitam, dengan kedua tangan yang nampak sibuk mengoles roti tawar dengan selai kacang untuk sang suami pujaan, beliau menganggukan kepala tanda memintaku untuk mendekat.

Ah, aku benci momen ini. Momen yang akan penuh dengan drama pura-pura dan basa-basi.

Beliau memang menyiapkan sarapanku, membuatkan roti dengan meises cokelat dan keju kesukaanku, serta menuangkan segelas susu hangat untukku.

Namun sayangnya beliau selalu lupa menanyakan bagaimana hari-hariku. Kegiatanku, teman-temanku, kejadian apa yang aku alami hari ini, bahkan perasaanku. Never.

Pun dengan laki-laki gagah nan rupawan yang duduk rapi di depannya. Dengan setelan suit mahal dan ponsel pintar di tangan, dia menikmati sarapannya dalam diam. Sibuk memperhatikan angka-angka pada layar yang menyala, tapi lupa dengan anak gadisnya yang kini telah dewasa.

"Kuliahmu masih lama selesainya, Ru?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari grafik dan angka yang selalu bergerak itu.

"Mudah-mudahan tahun ini, pa," jawabku enggan.

Ya, beginilah rutinitas sarapan pagi kami. Seperti yang aku bilang di atas tadi, penuh basa-basi.

Makanya, kadang aku lebih memilih untuk keluar rumah melalui balkon kamarku, lalu turun dengan bantuan dahan pohon mangga yang menjulur tepat di samping kamar. Aman. Tanpa perlu repot dengan basa-basi murahan.

Tak apa ke kampus naik kendaraan umum, atau tukang ojek yang mangkal di perempatan jalan dengan jaket kumal, dari pada harus berdiam menghabiskan berpuluh-puluh menit di meja makan dengan suasana menjemukan, yang parahnya lagi, kamu tidak di perkenankan untuk beranjak sebelum kedua orang tuamu selesai dengan basa-basi sarapannya.

Jadi karena itulah aku terlambat, tiga puluh menitku terbuang percuma, hanya demi setangkup roti dan segelas susu yang sebenarnya sanggup aku habiskan dalam waktu sepuluh menit saja. Selebihnya, tentu saja menonton ke dua orang ini saling diam dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Yang satu sibuk dengan angka-angka dan grafik, satunya lagi sibuk menggeser layar yang penuh dengan tampilan fashion terkini. Keduanya khusyuk dengan gawainya masing-masing.

***

"Yang, udah dong, jangan lemes begitu," bujuk Dio saat mendapati aku yang sedari tadi berjalan dengan muka tertunduk.

Dia tahu moodku sedang tidak bagus sekarang, karena rentetan kejadian dari pagi tadi.

Berdiri berhadapan dengan kedua tangan di pundakku, Dio berhasil menghentikan langkah kaki kami, karena mendapati aku yang tidak juga menuruti perkataanya.

Aku sontak berhenti. Mengangkat pandangan dan menemukan binar matanya menatapku lembut, lalu mendapati senyumnya terkembang lebar dan hangat, tanpa sadar aku pun ikut tersenyum.

I'm only one call away
I'll be there to save the day
Superman got nothing on me
I'm only one call away

Dio mulai bersenandung. Tangannya menggengam erat tanganku. Tatapannya begitu lembut, dan sesekali mengusap puncak kepalaku.

Come along with me and don't be scared
I just wanna set you free
Come on, come on, come on
You and me can make it anywhere
For now, we can stay here for a while,
'Cause you know,
I just wanna see you smile

Tersenyum, dengan senyuman paling hangat yang pernah aku lihat, dia mendekat dan memelukku erat.

Dio memang begitu. Dia selalu tahu bagaimana cara untuk menenangkanku dengan sebuah senyuman dan nyanyian. Senyuman khas yang selalu menular padaku untuk melakukan hal yang sama. Melengkungkan bibirku ke atas.

Dia juga selalu tahu bagaimana cara untuk menarik perhatianku. Seperti waktu itu.

"Yang, kamu pinter masak ya?" tanyanya tiba-tiba suatu hari.

Aku lupa kapan tepatnya, yang aku ingat, waktu itu aku sedang sibuk mengerjakan desain poster sampai-sampai tanpa sadar aku mengacuhkannya sendirian.

"Nggak juga, kenapa? Kamu pengen aku masakin?" jawabku yang masih fokus dengan tata letak dan gambar, tanpa memperhatikan rautnya yang kadang menggemaskan.

"Ah, nggak asik kamu yang, 'masak' cuma aku yang tiap hari mikirin kamu?"

Tentu saja aku tidak bisa menahan semburan tawa menggelegar yang keluar, saat dengan muka polos dan puppy eyesnya, dia menempatkan kepalanya di pangkuanku sambil mengucapkan kalimat itu.

Ah, pria ini, pria yang sering kali lepas kendali ini ternyata hanya ingin di perhatikan. Dia tidak suka di acuhkan seperti tadi.

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang