dua

164 13 2
                                    

Buka kita buka hari yang baru
Sebagai semangat langkah ke depan
Jadi pribadi baru

Buka kita buka jalan yang baru
Tebarkan senyum wajah gembira
Damai suasana baru

Lengkingan suara Marcello Tahitoe dan teman-temannya yang sudah berisik dari lima belas menit lalu akhirnya mampu membuatku membuka mata sepenuhnya.

Kepalaku masih terasa berat dan tubuhku pun seakan remuk di setiap bagiannya, tapi janji bimbingan dengan pak dosen killer yang wajahnya setampan chef rupawan itu, mau tidak mau membuatku harus beranjak dari gulungan selimut tebal yang melilit kaki hingga dagu.

Sebenarnya aku sengaja memilih lagu ini sebagai mood boosterku setiap pagi. Lagu ini seperti pengingat buatku, bahwa harus ada semangat dan senyum baru setiap pagi, meski banyak hal buruk telah terjadi.

Berendam selama sepuluh menit dalam bath tube berisi air hangat yang penuh dengan busa putih beraroma lavender, tentu saja menjadi pilihan yang tepat untuk terapi jiwa dan ragaku setelah kejadian semalam.

Memejamkan mata menikmati harum lembutnya lavender yang menenangkan, diiringi dengan lantunan pelan Callum Scott yang menyenandungkan "You Are The Reason" membawa ingatanku kembali ke masa dua tahun silam.

"Hai, Biru ya?" sapanya.

Cowok setinggi 173 cm dengan rambut hitam agak bergelombang yang sudah melewati tengkuk itu, mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

"Gue Dio, The Big Bro's," jelasnya.

Beberapa hari yang lalu aku memang sempat mencarinya untuk mengundang The Big Bro's manggung di Fairmont. Hotel tempat dies natalies SMU Bhakti Jaya, sekolahku dulu, diadakan.

Sayangnya waktu itu Dio, sang vokalis sekaligus manager The Big Bro's, sudah hampir satu minggu tidak tampak ke kampus. Sakit, kata teman baiknya.

Tidak bisa di pungkiri memang, kalau ternyata banyak perempuan yang begitu mengidolakan Dio. Dengan wajah rupawan, suara sejernih JB, dan juga otot tangan yang sering terlihat menyembul dari balik polo shirtnya tentu saja membuat namanya begitu akrab bagi kami, para groupies. Gadis-gadis pemuja anak band.

Berbeda jauh dari asumsiku sebelumnya yang sempat berpikir kalau cowok ganteng dan terkenal pasti sombong, Dio ternyata cukup asik sebagai teman kerja, pun teman nongkrong.

"Ru, mau ikut ngamen di kota tua nggak?" ajaknya suatu hari.

Aku memang tidak tahu bagaimana latar belakang ekonomi keluarganya, tapi dari motor sport dan barang-barang branded yang senantiasa menempel di badannya aku yakin orang tuanya lebih dari mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Jadi saat aku mendengar ajakannya untuk mengamen, aku merasa seperti melihat sesosok laki-laki yang penuh tanggung jawab dan pekerja keras di depanku. Bukan laki-laki manja yang hanya bisa mengandalkan harta orang tua.

Sayangnya aku yang saat itu begitu terlena dengan pesonanya tanpa sadar telah menjatuhkan hatiku begitu dalam kepadanya. Hingga suatu hari, tepat satu bulan kebersamaan kami, Dio mulai menunjukkan sifat aslinya.

(Ru, di rumah nggak?)

(Aku ke sana ya?)

Dua notifikasi pesan masuk berbunyi.

Dio yang saat itu duduk tepat di belakangku langsung merebut benda pipih yang masih menyala itu.

Rahangnya mengeras, menandakan amarah. "Siapa Ardi?" tanyanya dengan sorot mata yang tajam.

Sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya kalau kata "teman SMP" ternyata berhasil membuat benda selebar enam inch dengan gambar apel yang sudah tergigit itu hancur terlempar ke aspal.

Menjerit kaget karena marah dan berusaha berdiri untuk mengambilnya, tapi yang ada tanganku malah menjadi korban berikutnya.

Satu tarikan kencang dari tangan kanannya yang kekar berhasil menciptakan bekas ungu yang baru pudar setelah hari ketiga.

Dio memang meminta maaf keesokan paginya. Membawa seikat mawar dan satu kotak cantik dengan pita merah yang terikat di atasnya, dia datang ke rumah.

(Aku janji nggak akan seperti itu lagi.)

Satu kalimat yang tertulis di atas kartu putih yang baru saja aku ambil dari dalam kotak itu, mampu membuat kedua bibirku melengkung ke atas lagi. Benda pipih di bawahnya yang persis sama dengan yang hancur semalam pun membuat mataku membola tak percaya.

Wajah tampan dan penuh penyesalan itu pun akhirnya meluluhkan amarah di hatiku. Aku mendekat, memeluknya erat karena tak ingin melihat gurat sedih di rautnya.

Namun sayangnya janji itu tak bertahan lama. Dio seperti amnesia. Dia lupa dengan janjinya dan kembali berulah, bahkan mulai berani memukul dan menampar.

"BRENGSEK LO!"

Menarik kencang rambutku, kemudian beralih mencengkeram lenganku sambil berjalan cepat ke parkiran, dia tak henti mengumpat hanya karena, satu panggilan salah sambung dari entah siapa.

"BERANI LO SELINGKUH DI DEPAN MATA GUE!"

Melepaskan tangannya dari lengan yang sudah memerah dan beralih mencekik leher, yang disana menggantung seuntai kalung berhiaskan liontin panjang berukirkan tiga huruf keramat, DIO, namanya. Pemberiannya.

Mataku mulai melotot karena cengkeramannya yang semakin menguat, mulutku pun megap-megap mengais oksigen yang tersisa ketika tiba-tiba sebuah suara nyaring terdengar.

"WOI, NGAPAIN LO!"

Teriakan seorang pria dari belakang Dio berhasil membuat leherku terbebas dari telapak kekarnya.

Aku tidak begitu jelas melihat bagaimana rupanya karena setelah itu dia langsung berlari menerjang dan menarik kencang bahu Dio ke belakang.

Melayangkan tinjunya ke muka dan berhasil membuat Dio terhuyung, hampir jatuh terjembab.

"BUKAN URUSAN LO!"

Dengan kemarahan yang berkali lipat, Dio berusaha membalas.

Tempat parkir yang naasnya malam itu begitu sepi membuatku panik karena baku hantam keduanya.

"Yang, yang udah yang!" kataku berusaha menghentikan Dio.

Dio ssmakin menggila. Menendang dan memukul pria tadi sekuat tenaga.

"Mas, plis mas sudah."

Aku tahu Dio tidak akan mendengarkan kata-kataku, jadi aku berusaha untuk menghentikan, entah siapa, pria ini.

"MAS, SUDAH!" teriaku untuk kesekian kalinya bersamaan dengan jatuhnya Dio tepat di ujung sepatuku.

Syukurnya beberapa orang mulai datang karena mendengar keributan kami dan berhasil menghentikan kegilaan ini.

Jangan kalian bayangkan kalau aku yang merawat luka Dio setelahnya karena, begitu semua orang pergi Dio malah mengusirku dari situ.

Aku memang bukan cewek manja, aku sudah terbiasa mengurus hidupku sendirian. Namun saat aku diperlakukan demikian oleh seseorang yang paling aku sayang, rasanya tetap saja menyakitkan.

Duduk di jok belakang dengan pandangan ke luar jendela, pipiku pun basah oleh air mata saat "Dosa Terindah" mengalun pelan dari audio di depan.

Kulupakan semua aturan,
Kuhilangkan suara yang berbisik,
yang selalu menyuruhku,
'tuk tinggalkan kamu

Dio, satu nama yang telah terpatri di dalam hatiku, tapi nyatanya nama itu jugalah yang telah dengan teganya menyakitiku.

Bukannya tidak ingin, tapi beberapa kali aku mengucap kata putus, pada akhirnya aku selalu saja kembali ke pelukan hangatnya setiap kali dia meminta maaf.

Hanya hati yang kuandalkan,
dan kucoba melawan arus.
Namun saat bersamamu,
masalahku hilang, terbang melayang

Dio, cowok yang hangat sekaligus kasar. Cowok yang tahu bagaimana membuatku merasa nyaman dan kesakitan secara bersamaan.

Dio, satu-satunya tempatku bersandar dan kembali pulang saat rumahku sendiri tak lagi terasa nyaman.


BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang