Sudah lewat tengah malam saat Biru keluar dari EPIC. Ketiga temannya bahkan sudah pulang dari tadi. Meninggalkan Biru yang duduk sendirian menunggu Dio selesai berkemas.
Selepas obrolan seriusnya dengan mbak Dian tadi, Dio memang berkata akan mengantarkan Biru pulang. "Yang, kamu pulang bareng aku aja nanti," katanya begitu menemukan Biru yang sudah duduk manis menunggu. Menganggukkan kepala, Biru tersenyum menatap Dio, tanda setuju.
Lagu terakhir sudah selesai sekitar tiga puluh menit yang lalu. Papan tanda "open" pun sudah terbalik dari tadi. Beberapa pekerja tampak terlihat membereskan meja-meja dan mengepel lantai kafe yang sudah sepi. Dio dan beberapa temannya juga sibuk merapikan alat musik yang mereka gunakan tadi. Biru yang jenuh menunggu Dio--yang setelah selesai bebenah malah asik ngobrol dengan karyawan EPIC-- memutuskan untuk menunggu di luar. Mencari udara segar.
Lalu, di sinilah Biru sekarang. Duduk sendirian di atas motor sport Dio yang terparkir rapi di depan EPIC. Memainkan ponsel pintar dengan tangan kanan dan menunggu Dio keluar.
Jalanan di depan EPIC masih terlihat ramai, meskipun sudah lewat tengah malam. Mobil-mobil masih berlalu-lalang, beberapa orang juga terlihat berjalan santai di trotoar. Pantas saja kalau kota ini mendapat julukan sebagai "kota yang tak pernah tidur." Karena nyatanya, pada jam-jam yang seharusnya manusia tertidur nyenyak seperti sekarang, masih banyak saja mereka yang berkeliaran.
Lelah menatap ponselnya terlalu lama, Biru mengedarkan pandangan ke satu kafe di seberangnya. Kafe yang menyediakan tempat duduk di area luar itu terlihat masih ramai, dengan segerombol cowok yang menempati satu meja besar di luar.
Enam orang cowok tepatnya, duduk mengitari meja bundar dengan beberapa botol, wait--minuman keras?
Entah apa yang mereka bicarakan, saat tiba-tiba saja mereka tertawa kencang.Kaget karena tawa mereka, Biru sontak menolehkan kepalanya menuju sumber suara. Saat sepersekian detik pandangannya bertabrakan dengan salah satu dari mereka, Biru langsung memalingkan muka. Tidak mau dianggap ingin tahu urusan orang lain, juga sedikit ngeri saat melihat tatapan tajam yang seolah menemukan mangsa.
Kembali menekuri ponsel dalam genggamannya, Biru mulai merutuki Dio yang tidak juga muncul. Berharap apapun yang sedang Dio lakukan di dalam segera selesai. Keluar, dan pulang. Tubuhnya benar-benar sudah meminta untuk diistirahatkan sekarang.
"Cewek? Ngapain sendirian di sini? Mending senang-senang sama kita."
Tiga dari enam cowok yang tadi ribut di seberang jalan tiba-tiba saja sudah berdiri mengelilinginya. Salah satunya, yang tadi sempat bersitatap dengannya beberapa saat yang lalu. Mencoba menyentuhnya, dan melontarkan kata-kata yang seketika mengaktifkan alarm tanda bahaya di otaknya.
Jantungnya mulai memompa darah lebih cepat dari biasanya, saat mereka semakin nekat mendekat dan mencoba menarik Biru turun dari Street Fighter Dio. Memastikan bahwa para cowok ini hanya bertiga, Biru mengedarkan pandang mencari yang lainnya di seberang jalan. Sebentar merasa lega karena tidak menemukan mereka. Namun menjadi semakin kuatir ketika mendapati tiga yang lainnya bersegera masuk ke mobil. Hatinya kecut membayangkan apa yang bisa saja terjadi setelah ini. Bayangan tentang penculikan dan kejahatan seksual seketika membuatnya panik.
Berusaha meminta pertolongan dengan memanggil Dio keluar, sayangnya teriakannya hanya bisa menggema dalam hati.
"Eh jangan macem-macem ya. Gue lagi nunggu cowok gue!"
Berharap mereka segera pergi dengan jawaban itu, tapi nyatanya suara yang seharusnya tegas terdengar, malah bergetar panik karena takutnya. Dan bukannya takut, mereka malah semakin berani menyentuh. "Udah ikut aja Neng. Enakan juga main rame-rame," ujar salah satunya sambil mengusap lengan Biru dengan kurang ajar.
Merasa terancam, Biru mengibaskan kedua tangannya yang dicengkeram erat dan bermaksud untuk berlari, tapi nihil. Tenaga mereka berlipat lebih kuat. Seakan mustahil untuk melepaskan diri dari ketiganya, tapi juga tidak mau mati konyol dengan mengikutinya, Biru mencoba melawan. Meronta, dan mencoba lari.
"DIEM LO! MAU GUE MAMPUSIN SEKALIAN?!"
Berkali Biru memanggil nama Tuhannya dalam hati untuk memohon perlindungan dan pertolongan. Keringat dingin sudah mengucur deras dari tadi. Telapak tangannya pun sudah terasa lebih dingin. Merasa berlipat lebih panik begitu sadar dirinya sudah berada di pinggir jalan, Biru berteriak memohon belas kasihan.
"WOYY, BERHENTI!"
Dio, itu Dio. Terima kasih Tuhan. Bisik Biru dalam hati. Terima kasih.
Dengan berlari Dio menghampiri mereka yang masih memegangi lengan kurus Biru. Menatap ketiganya nyalang, Dio mengenali mereka yang merupakan penontonnya tadi.
"Lepasin cewek gue!"
Dengan wajah bingung, ketiganya menatap Dio. "Bang Dio? Ini-ceweknya?" cowok dengan t-shirt hitam bersablon bintang ditengah membuka suara, kecut.
"Itu Biru, cewek gue. Mau ngapain kalian?" Masih dengan tatapan nyalang dan tangan terkepal disamping badan, aura Dio berbalik mengerikan. Jauh dari pesona hangatnya saat di panggung tadi. Belum lagi jambang yang semakin memanjang, dan tampang bengis dengan rahang mengetat, membuat wajah yang penuh dengan gurat tegas itu pun menjadi semakin sangar. Rambut gondrong bergelombangnya yang ia cepol sebagian, juga kemeja yang ia gulung sampai lengan, pun membuat Dio bagaikan seorang petarung sejati yang siap beraksi.
Namun bagaikan banci yang kepergok kamtib, nyali ketiganya justru langsung menciut melihat Dio yang demikian mengerikan. "Nggak bang, nggak ada. Ini tadi ceweknya mau pulang katanya, terus kita bermaksud nganterin." Dengan cengiran yang membuat Biru muak, mereka melepaskan tangannya dan menangkupkan keduanya di depan muka. Meminta maaf kepada Dio. "Sorry Bang, kita gak tau ini ceweknya Bang Dio."
Berpaling dan berjalan cepat menjauh dari Dio yang terlihat murka, bertiga mereka memasuki mobil hitam yang dari tadi menunggu di ujung jalan. Berisi tiga orang temannya yang lain.
"Kamu ngapain sampai bisa digangguin sama mereka?" dengan menarik tangan Biru, Dio membawanya kembali menuju parkiran. "LO GODAIN MEREKA?"
Tak habis pikir, Biru hanya bisa menganga mendengar tuduhan Dio yang terdengar konyol baginya.
Enggan memperkeruh keadaan, Biru lebih memilih untuk menarik nafas pelan. Mengumpulkan kesabaran dari setiap tarikan nafas panjangnya.Parkiran sudah sangat sepi sekarang. Kafe pun sudah gelap seluruhnya, tanda sudah tidak ada lagi kegiatan di dalamnya. Cari mati namanya, kalau Biru meladeni amarah Dio sekarang.
"Nggak ada, Yang. Aku tadi nungguin kamu di sini, terus tiba-tiba aja mereka datang bikin ribut."
Badannya benar-benar sudah terasa remuk. Letih luar biasa. Belum lagi kejadian yang membuatnya shock tadi, dan juga dinginnya angin malam membuat perutnya semakin terasa mual. Biru hanya ingin segera pulang. Berendam dalam air hangat lalu minum segelas cokelat hangat sepertinya nikmat.
"Yang, please. Aku pengen pulang sekarang," rengeknya. Air matanya hampir menetes, memohon kebaikan Dio. Bibirnya sudah terlihat pucat, bukan karena sapuan lip matte nude yang sudah pudar, tapi karena jiwanya yang terguncang hebat karena kejadian barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANYU BIRU
General FictionBanyak orang mengatakan "bodoh" kepada mereka-mereka yang tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Toxic relationship. Tanpa pernah mau mendengar, alih-alih mengerti, manusia menilai mereka semudah bicara.