Si misterius dan rahasia

25 6 0
                                    

Author POV
Matahari sudah sampai kepala, keringat kini mulai mengalir di muka Risa. Tapi, Putri belum pulang juga.
Tiba-tiba Risa jatuh pingsan di depan kossannya.

Dan seseorang dari arah depan persis dengan orang yang menolong Risa tadi saat akan jatuh, ia mengangkat tubuh Risa, membawanya ke kursi yang persis dengan ranjang tempat tidur di dekat jendela kossan dan memberi handuk yang sudah diperas dengan air panas. Lalu orang itu pergi meninggalkan Risa.

Tidak lama orang itu pergi Risa bangun dan Putri pulang dari kampus.
"Ya ampun Risa, kamu kenapa tiduran di luar?"

Safa bangun dari tidurnya dengan bantuan Putri.
"Enggak Put, tadi aku pinsan dan ada yang membawa aku ke sini, apa kamu tahu?"

Putri kebingungan dengan pertanyaan Risa, karena ia tidak melihat siapa pun.
"Enggak Sa, kamu ngigau kalik, udah lah ayo kita masuk! Maaf juga karena kelamaan aku harus antri beli nasi uduk buat kita makan."

Risa masih merasakan jika yang ia rasa tadi benar bukan dia ngigau.

"Semoga kamu cepat sembuh, Sa. Maaf aku menyentuhmu!" ucap orang yang tadi menolong Risa, ternyata dia masih mengintai Safa dari balik tembok antar kossan.

***

Risa dan Putri menikmati makan siangnya di ruang tamu yang beralaskan tikar.
"Sa, ada kabar bagus, besok perban di mata kamu akan dibuka."

Risa yang lagi makan kini menyudahi kegiatannya. Bibir tipis itu mulai tertarik menampakkan kemanisan orang Bengkulu itu.
"Are you serious?" tanya Risa dengan bahasa inggrisnya.

"Yes, i am. I don't lie."

Senyumannya semakin manis ditambah lesung pipit di pipinya.

Setelah makan Putri dan Risa istirahat.

Putri menatap Risa dengan rasa kasihan.
Aku tahu kamu kuat, Sa. Batinnya

Tok tok
Ketukan pintu membuat Putri tersadar dati lamuannya.
Putri bangkit dan langsung membuka pintu yang menampakkan wajah Dika dan Tari.
"Masuk, Dik!" suruhnya.

"Nggak usah, sini aja kita ngobrol-ngobrol."

"Ya udah, aku panggil Risa dulu."
Putri masuk ke kossan untuk memanggil Risa.

"Sa, ada Dika, keluar yuk!" ajaknya yang diangguki Risa.

"Hai, Risa." ucap Tari langsung memeluk Risa.

"Biasa aja kalii." sinis Putri.
Entah kenapa Putri sama sekali tidak suka dengan Tari.

"Gimana Sa, baikkan? dan selamat yah bentar lagi perbannya dibuka."

"Alhamdulillah, makasih, Dik."

"Kalian cocok deh, marriage aja kalian!" ceplos Putri sengaja membuat Tari cemburu dan berhasil membuat Risa dan Dika salah tingkah.

Wajah Tari berubah. "Kalian nggak bisa menikah." kata Tari membuat Putri merasa senang karena berhasil memancing emosinya.
Wajah Dika berubah takut, entah takut apa yang ia rasakan.

"Bilang aja kamu jealous." ucap Putri senang.

"Bukan gitu, biar Dika aja yang jelasin!" suruhnya menatap Dika.

Dika menelan salivanya berusaha menutupi ketakutan di wajahnya.

Inikah waktu yang tepat? Tanyanya dalam hati.

Perlahan ia mulai bicara.
"Karena kami beda, Put."

Putri dibuat keheranan, ia berusaha memutar otaknya agar bisa menangkap apa yang dibicarakan Dika.
"Kalian bisa menyatukan perbedaan itu menjadi keluarga SAMAWA."
Ucapan Putri semakin membuat Dika merasa bersalah dan kecewa.

Risa hanya diam mendengarkan perkataan mereka terkadang ia juga senyum mendengar ocehan yang keluar dari mulut Putri yang cerewet itu.
"Tapi, tetap saja tidak bisa." kata Dika yang membuat Risa heran karena Risa tahu jika Dika adalah orang yang suka humor tapi, kali ini dia sangat serius dan tidak ada candaan yang Safa dengar selama pembicaraan.

"Apasih perbedaannya?" tanya Putri. Memang yah ini anak kepo.

Dika melepas kacamatanya dan mengusap matanya sekilas lalu memasangnya lagi.
"Agama."
Kata itu yang kini Dika benci.

Kenapa harus ada Agama di antara kita walaupun aku tahu kamu tidak mencintaiku, tapi aku sangat kecewa saat aku memiliki rasa untukmu yang berbeda denganku.

Deg

Risa dan Putri terdiam mendengarnya karena setahu mereka Dika adalah seorang Muslim dan ia tidak menampakkan kalau dia Non-Muslim.
"Kamu pasti bohong? Kamu Muslim, kan hampir setiap ketemu aku, kamu mengucap salam, bahkan kamu tahu aturan Muslim." ucap Risa tidak percaya.

"Nggak, Sa, aku Non. Aku tahu tentang Muslim dari sepupuku, dan aku seperti ini karena aku suka sama kamu dan aku nggak berani buat ngomong sama kamu, sekarang aku berani karena Tari yang meminta." ucapnya yang sekali lagi membuat Risa tercengang.

Flashback on
Dika berjalan di tepi taman kampus yang disusul Tari di belakangnya.
"Dik, kamu harus jujur, tentang Agamamu." ucap Tari yang membuatnya berhenti dan menatap Tari.

"Apa gunanya, apa ada yang rugi kalau aku tidak jujur?"

"Tentu Risa yang rugi, kamu harus bicara saat ini juga sebelum ia mencintaimu, Dik. Apa kamu tidak kasihan jika dia memiliki rasa haram itu dan kamu tega membuat dia merasakan sakit di dunia dan akhirat?"

Seketika Dika baru berpikir ucapan Tari yang ada benarnya. Dika langsung menggelengkan kepalanya.

"Yaudah ayo kita ke kossannya!" ajak Tari.

"Tapi, aku takut jika dia kecewa."

"Seharusnya kalau kamu takut dia kecewa dari awal kamu harus bilang jika kamu sama dia itu beda. Satu hal lagi yang ngebuat aku berani mengatakan ini karena aku baru tahu tentang Agamaku, aku tahu dosa dan penderitaan yang dialami Risa jika ia mencintaimu." ucapan Tari membuat Dika semakin merasa bersalah.

"Oke, aku akan coba." ucapnya dan mereka berjalan ke kossan Risa yang dekat dengan kampus.

Fladhback off

"Sa, aku tahu kamu nggak akan terima aku. Silahkan, Sa, kamu marah sama aku, kamu boleh benci sama aku, kamu boleh mengatakan aku pecundang."

Ingin rasanya Risa marah tapi, percuma itu tidak akan merubah semuanya. "Untuk apa aku marah, aku tidak punya hak untuk marah, karena itu hak setiap manusia saat hidup di bumi." ucap Risa yang tidak terduga. Itu karena kamu belum cinta, Sa, coba kalau kamu udah cinta plus sayang pasti kamu marah.

Dika tersenyum lebar mendengar itu. "Jadi kita masih bisa berteman?"

Risa mengangguk. Semuanya senang karena yang Dika kira akan jadi keributan ternyata tidak, Risa memilih damai walaupun, ia sebagai sahabat merasa dibohongin oleh Dika. Tapi, ia mencoba menutupinya.

Mereka mengobrol, tidak ada lagi beban dan rasa bersalah yang menyelimuti Dika, ia merasa sangat tenang dan beban yang ia sambunyikan kini telah hilang bersama tawanya. Tapi, entah kenapa rasa ingin memiliki Risa kembali muncul, walau nyatanya itu tidak mungkin bahkan hampir mustahil kecuali jika dia Mualaf.

***

Pagi ini Risa akan melepas perbannya yang ditemani Bang Fahri dan Putri, orangtuanya tidak bisa ke Padang karena cuaca yang buruk tidak memungkinkan mereka untuk ke Padang.

Kini dokter sedang memeriksa mata Safa dan Dokter itu membuka perban di mata Risa.
Pandangannya sedikit buram dan kini semakin jelas.
"Abang, Putri." panggil Risa.

"Alhamdulillah." ucap semuanya bebarengan.

Setelah itu mereka Putri mengajak Risa keluar sedangkan Fahri membayar biaya rumah sakit.

[TBC]

Ada Apa dengan Kacamata? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang