Kalimat istimewa

25 8 0
                                    

"Dia menuju terminal." ujarnya dengan ponsel yang menempel di telinganya.

Orang itu menutup ponselnya, lalu pergi dari lingkungan kosan Dika.

Sampai di terminal dengan kaki yang tak pernah lelah, ia langsung menaiki tangga bus yang tidak terlalu banyak anak tangga itu. Ia melihat sekelilingnya, tak ada satu pun bangku yang kosong tapi, tetap saja ia akan berdiri sampai di Bengkulu walaupun itu melelahkan, ia tak peduli.

Rasa kantuk menghampirinya tapi, ia tepis dengan tatapan tajam yang mulai menyipit dan tubuh yang pegal karena sudah hampir dua jam ia berdiri tak ada penumpang yang turun atau memberi singgahan untuknya.

Malam semakin larut, jalanan mulai sepi hanya beberapa bus saja yang lewat. Dika mendudukkan dirinya di bawah, ia sudah tidak tahan lagi berdiri dan rasa kantuknya pun terus menghampiri.

Malam semakin larut, jalanan mulai sepi hanya beberapa bus saja yang lewat. Dika mendudukkan dirinya di bawah, ia sudah tidak tahan lagi berdiri dan rasa kantuknya pun terus menghampiri.

Ia duduk, mendekap lututnya dan terlelap dalam mimpi yang sama sekali tidak membuatnya tenang.
Setelah lama ia terlelap, paginya bus berhenti di sebuah rumah makan dan ini yang Dika benci saat ia terburu-buru, busnya harus berhenti.

Semua penumpang turun kecuali Dika dan salah satu laki-laki yang duduk tepan di depannya.
"Kenapa Bapak nggak makan?" tanya Dika heran karena semuanya turun.

Orang itu melihat ke arah Dika. "Saya puasa."

Dika hanya mengangguk karena ia tahu jika puasa itu kewajiban tiap umat Muslim.
"Tapi, ini hari minggu?" tanyanya lagi saat menyadari jika itu bukan hari senin atau kamis dan dia juga bukan perempuan yang mempunyai hutang puasa.

"Iya, saya sedang puasa ayyamul bidh."

"Puasa apa itu?" tanya Dika penaaaran sambil duduk di sebelahnya.

Dika mengangguk paham setelah mendengar penjelasan orang itu.

Tak lama orang itu menceritakan tentangnya.
"Saya sangat menyesal dulu pernah membenci Ayah saya, cuman karena ia tak mengabulkan permintaan saya." ucapnya sedih mengingat masa lalu saat awal dirinya membenci Ayahnya.

"Kenapa? Bukankah itu wajar?"

"Iya, menurut saya waktu itu tapi, sekarang saat ia tiada saya mulai merasa menyesal dan saya sangat menyesal karena baru menyadarinya saat dia udah nggak ada." jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

Tak lama saat Dika ingin bertanya lagi, para penumpang berdatangan sehingga Dika harus kembali berdiri.

Dika mulai menyadari apa yang akan ia lakukan. Selama di perjalanan, ia selalu mengucapkan kata maaf yang tak tahu maksudnya apa.

"Aku mohon maafkan aku!" ujarnya untuk yang kesekian kalinya.

***

Pagi yang kembali menyinari tiga wanita cantik yang berjalan membawa tas yang berisikan alat-alat menjahit.
"Sa, gimana sama dokter tampan itu?" tanya Putri yang berada di samping Risa.

Cupu?

"Yah, nggak gimana-gimana." jawab Safa.

Di samping Risa lagi, ada Rinda yang tertawa kecil mendengar jawaban dari Risa.

"Ihh." sebal Putri.
Gimana jadinya jika Putri benar-benar bersama Melky?

"BTW, aku nggak pernah liat Tari lagi." tanya Rinda mengalihkan pembicaraan agar Putri tak membalasnya dengan jitakan mematikan.

"Iya, dia pindah. Kamu lupa yah waktu itu dia bilang ke kita." jawab Risa membuat Rinda berpikir lalu tersenyum malu.

"Dasar pikun!" timpal Putri.

Langkah kaki mereka semakin cepat, saat melihat jam yang hampir menunjukkan jam delapan.

Sampai di kampus, mereka langsung masuk kelas.

Dan sangat sialnya aaat itu dosen yang mengajar tidak hadir karena berbagai urusan.
Kembali lagi dan lagi kelas itu menjadi pasar dadakan.

Masih ingat Kak Dimas dan Kak Ana?
Mereka udah wisuda dan kabar gembiranya Kak Dimas menta'aruf Kak Ana.

Yaya, teman kelas Risa, membuat kehebohan dengan menari-tari ala dancer sedangkan Vito berjalan ke arahnya. Semua teriak histeris saat Vito berjongkok dan memberi bunga dari kertas buku pada Yaya. Yaya sontak berhenti dengan kegiatannya dan menatap Vito di hadapannya.
"Aku bukan orang sempurna yang punya segalanya. Tapi, aku hanya laki-laki biasa yang punya cinta untukmu." ujar Vito menatap manik hitam milik Yaya.

Jantung Yaya dan semua anak kelas, berpacu dengan ucapan romantis yang Vito utarakan.
Menurut kabar Yaya adalah pengagum Vito sejak pertama satu kelas dengannya namun, begitulah Vito laki-laki yang tidak peka membuatnya harus menunggu berabad-abad.

"Terima-terima." satu kata ulang yang mereka teriaki dan tangan yang bertepuk.

"Aku mau." ucapnya dengan malu-malu dan menerima bunga.
Semua anak kelas tepuk tangan meriah dan saling berbicara selamat pada Vito dan Yaya.

Vito bangkit dari kegiatannya.

"So, gimana akting gue bagus nggak?" tanya Vito membuat semuanya heran.

"Maksud lo?" tanya Yaya.

"Gue cuman mau akting buat casting besok." ucapnya lalu pergi karena jam sudah habis.

Yaya perempuan yang dengan pedenya berjalan keluar, membuat semuanya heran, bingung dan merasa tertipu oleh dua insan yang sering membuat masalah itu.

***
Dika sampai di Bengkulu saat itu ia mencari-cari Ayahnya tapi tak kunjung ia temukan.

Dika pasrah akhirnya dia memutuskan menghubungi Melky, sepupunya yang tak ada sangkut-pautnya dengan masalahnya tapi, ia salahkan.

From: Melky
Gue siap!

Send!!

Dika berjalan menuju masjid Agung.

Sampainya di sana Dika hendak melangkahkan kakinya masuk ke masjid tapi, entah kenapa kakinya terasa enggan untuk mengikuti perintahnya.

Dika sudah berusaha tapi, hati dan pikirannya masih berkecamuk. Ia beringsut duduk di teras masjid menyandarkan tubuhnya di tiang masjid.

Seorang pemuda dengan baju kokoh putih dan peci yang melekat di kepalanya, menemui Dika. "Assalamualaikum, apa Anda ingin solat?" tanyanya yang ternyata itu Vian ketua osis di SMA Risa dulu.

Dika menoleh ke arahnya yang sedang memegang bahunya.
"Waalaikumussalam, maaf saya tidak solat." ucapnya menunduk.

Vian terkejut ternyata ia salah bicara. "Maaf!"

"Sa-ya ingin muallaf apa Anda bisa bantu saya?" ujarnya menatap Vian penuh harap.
"Ikut saya!" serunya mengajak Dika masuk ke masjid.

Dengan langkah gemetar Dika bangkit dan melangkahkan kakinya ke masjid.
Dilihatnya sekeliling maajid yang megah dengan dekorasi kaligrafi di atasnya.

Vian mendekati seseorang yang sedang memegangi tasbih di tangannya. Ia berbicara pelan dengannya.

Mereka mendekati Dika yang duduk bersimpuh menghadap kiblat.
Ustadz itu duduk di depan Dika dan Vian di belakang Dika.

Setelah perkenalan Ustadz itu memulainya.

"Apa ada yang memaksamu masuk Islam?"

"Tidak, saya ikhlas dari hati."

"Apa kamu bersedia menjalankan dan menjauhi larangan-Nya?"

Tanpa disuruh ia pun mengangguk. Vian diminta menjadi saksi keIslaman Dika.

"Ikuti saya!"

"Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah."

Perlahan-lahan lidah Dika mengikuti apa yang di baca Ustadz dengan gemetar.

Setelah menandatangani bukti keislamannya, ia keluar ditemani Vian.

"Makasih udah mau jadi saksiku." ujar Dika sambil mengikat tali sepatunya.

Assalamualaikum jangan lupa vote sama komen yah! Makasih udah singgah di cerita ini wassalamualaikum

Ada Apa dengan Kacamata? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang