9

3 0 0
                                    


1 April (Hari pertama bagi Touma)

Sisa air hujan menetes lagi dari coat Touma. Sepatunya juga basah, tembus hingga ke kaus kaki. Walau dirinya basah kuyup, setidaknya buku pesanan pamannya aman. Buku itu sudah dibungkus dengan plastik, Touma ikat dengan rapi dan dipastikannya kering dari hujan deras yang tiba-tiba turun dengan hembusan angin kencang.

Satu hal lagi yang perlu disyukuri, setidaknya Rokka tidak sebasah dirinya. Touma memaksakan diri untuk melindungi Rokka dari terpaan hujan berangin hingga mereka turun di halte bus. Bahkan dalam sepuluh menit yang dingin ini, hujan belum juga berhenti.

"Mmm... apartemen-ku ada di belakang halte. Mau menunggu di sana sampai hujan reda?" ujar Rokka.

Touma hanya bisa menahan nafas. Terlalu shock mendengar ajakan Rokka yang rasanya... careless. Bagaimana bisa dia mengundang seorang pria ke apartemennya?!

"Umm, saya-"

"Kalau tidak mau, tidak apa-apa. Aku juga tunggu disini," ujar Rokka dengan suara pelan.

Touma memperhatikannya. Coat-nya sudah lembab terkena tepias hujan. Sepatunya juga basah, menembus stoking warna kulit yang dipakainya. Dia berulang kali meremas jemarinya sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Jemarinya... pucat. Rokka kedingingan. Dia memilih diam dan menunggu di halte bersama Touma.

Touma menghela nafas. Akhirnya mengalah.

"Kalau boleh, saya mau numpang telepon Saotome-san. Kayaknya hujannya nggak akan berhenti sampai malam," ujar Touma.

Wajah Rokka menjadi cerah sedikit. Dia memutar tubuhnya dengan semangat. Mata gelapnya yang berbinar menatap Touma seperti ekspresi kelinci yang menggemaskan.

"Tentu saja boleh. Ayo," ajaknya.

Mereka kembali menerobos hujan, menuju apartemen Rokka.

Apartemennya sama seperti apartemen lainnya. Rokka membawanya naik ke lantai tua, menaiki tangga berkarat yang masih kokoh walau bunyinya sedikit berisik. Rokka mengeluarkan kunci dari tas-nya, berhenti di pintu 201, tepat di depan tangga.

"Silahkan masuk. Mu-mungkin sedikit berantakan, banyak buku-buku muridku," ujar Rokka sambil meringis.

"O-ojamashimasu," ucap Touma gugup.

Apartemen tipe studio ini menyambutnya dengan aroma fresh laundry yang menyegarkan. Touma bisa melihat botol pengharum ruangan yang terletak di atas rak buku pendek, berjejer dengan lilin aroma terapi, vas bunga, tumpukan buku, juga tumpukan baju yang baru selesai di lipat.

"Ah, permisi," ujar Rokka, melewati Touma untuk mengangkat tumpukan bajunya. "Touma-san, boleh minta coat-nya? Biar ku keringkan di mesin cuci. Kaus kakinya juga ya," kata Rokka.

"Eh? Tidak apa-apa? Aku nggak apa-apa kok, nggak terlalu basah," ujar Touma.

Rokka muncul dari pintu kamarnya, pintu kertas yang membatas seluruh ruangan disini. Rokka tersenyum geli sambil melihat tetesan air di lantai kayu.

"Coat-nya bisa diperas tuh," kata Rokka.

"Ma-maaf!" seru Touma panik.

"Tidak apa-apa. Sini, harusnya bisa kering. Kalau kau tidak beruntung, coat ini akan kukembalikan dalam keadaan lembab," kata Rokka.

"Maaf merepotkan, Rokka-san," ucap Touma.

"Tidak apa-apa, Touma-san. Silahkan duduk," ujar Rokka. "Bagaimana kalau sekalian makan malam disini? Aku buatkan nasi kari, bagaimana?" tanya Rokka dari ruang cuci.

24 HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang