Waktu sudah menunjukkan pukul 06:27 pagi. Enola sudah terbangun dari tidurnya dan sudah siap untuk berangkat sekolah.
Ponsel Enola menerima panggilan dari Tita,dan ia mengangkatnya.
"Eno,pak Jaya meninggal." Ucap Tita dengan nada seperti orang terkejut.
"Iya aku tau,uda liat beritanya di tv. Aku jemput kamu ya." Ucap Enola.
"Iya." Ucap Tita. Lalu obrolan diponsel selesai dan Enola bergegas menuju sekolah dengan motornya.
Sesampainya disana,sudah banyak mobil Polisi dan beberapa mobil pribadi milik para wartawan yang sudah terpakir di parkiran sekolah. Beberapa guru sampai penjaga sekolah sedang ditanyai beberapa pertanyaan oleh para pihak berwajib.
Enola memakirkan motornya,dan mengantar Tita ke kelasnya. Sepanjang jalan menuju kelas Tita, mereka melewati beberapa kelas dan didepan kelas itu banyak siswa siswi yang melihat kearah parkiran karena kedatangan Polisi dan wartawan,beberapa dari mereka juga ada yang menangis karena kehilangan guru mereka.
"Aku ke kantin ya." Ucap Enola sembari pergi meninggalkan Tita yang sudah ada didepan kelasnya.
"Iyaa,makasih No." Ucap Tita.
"Yaa sepertinya aku harus menyapa para kutu - kutu itu dulu." Gumam Enola sembari mengeluarkan senyum tipisnya.
Suasana kantin cukup ramai,banyak siswa siswi yang sedang membeli makanan disana, tapi tatapan mereka tertuju oleh wartawan yang sedang memberikan beberapa pertanyaan kepada beberapa murid.
"Enolaa! Siniii." Ucap seoarang murid yang sedang diwawancara dan tidak lain adalah teman Enola. Enola langsung mendekati temannya itu.
"Ini mas,pak Jaya pernah jadi walikelas dia waktu kelas 11." Ucap temannya kepada sang wartawan.
Enola langsung diberi pertanyaan.
"Bagaimana pendapatmu tentang pembunuh ∀ itu ?""Entah, saya tidak berani membahas itu. Biar polisi saja yang membahas itu." Ucap Enola. Tentu saja sang wartawan itu sedang berbicara dengan si ∀ itu sendiri.
Enola dan teman - temannya masih diberi beberapa pertanyaan. Namun, ia hanya menjawab Ya dan Tidak. Setelah wawancara pada Enola dan teman - temannya selesai, sang wartawanpun pergi meninggalkan mereka tanpa mengucapkan terimakasih. Enola melihat langkah sang wartawan yang semakin jauh pandangannya, ia memiringkan kepalanya dan tersenyum sinis.
"Saat sedang membutuhkan seseorang, manusia cendurung terlalu memaksakan kehendaknya. Mendekati dengan berjuta alasan, pergi tanpa alasan."
*****
Jam menunjukkan pukul 14:53. Enola keluar dari kelasnya dengan niatan ingin menuju kelas Tita. Ditengah perjalanannya, ia melihat sang wartawan tadi sendirian berjalan menuju arah belakang sekolah. Enola mengikuti sang wartawan itu dari belakang,dan ternyata sang wartawan berjalan menuju kamar mandi belakang sekolah.Kondisi kamar mandi belakang itu sedikit kumuh, karena disitu masih asa sisa - sisa bahan dan peralatan tukang bangunan yang saat itu sedang merenovasi kamar mandi. Dan jaraknya cukup jauh dari kelas - kelas bahkan kamar mandi itu dibatasi oleh kelas - kelas yang tak terpakai, hingga tempat itu sangat sepi.
Sesampainya disana, sang wartawan memasuki kamar mandi itu. Enola tersenyum dan melepas seragam bagian atasnya dan mengantungkannya dipaku yang tertancap dipilar, lagi - lagi ia hanya menggunakan kaos hitam oblongnya.
Ia melihat dan mengambil linggis yang ada dibawah kayu - kayu bekas bangunan dan 3 buah paku berkarat yang langsung ia masukkan di saku kiri celananya. Enola mengambil sarung tangan yang sekarang ia bawa di saku kanan celananya. Ia memakai sarung tangan itu dan menggam erat linggis ditangan kanannya, dan ia mengetuk pintu kamar mandi itu.
"Iyaa sebentar, ada orang." Ucap sang wartawan. Ketika pintu kamar mandi terbuka, bhuuggggg. Enola mengantam kepala sang wartawan dengan linggis dan menendangnya kedalam. Sang wartawan terjatuh, kepalanya mengeluarkan banyak darah. Saat sang wartawan menatap keatas sosok yang ada didepannya, ia begitu terkejut.
"Hahh?!" Teriak sang wartawan yang tidak terlalu keras. Ketika sang wartawan mengatakan itu dan membuka mulutnya, Enola menusuk mulut sang wartawan dengan linggis hingga menembus kepalanya.
Sang wartawan sudah mulai tidak berkutik,darah dari kepalanya terus menerus menetes ke lantai. Enola mencabut linggis yang menancap itu, dan ia berbicara didekat kuping sang wartawan.
"Saya ini si ∀ itu. Tadinya saya ingin memakai salah satu dari Polisi itu untuk jadi bahan permainan selanjutnya, tapi mereka sudah pergi dari sini dahulu. Jadi saya memakai anda disini yang sudah berbicara dengan saya." Ucap Enola.
Pandangan sang wartawan sudah mulai menghilang. Enola mengambil dua paku yang ada disaku kirinya, dan menancapkannya masing - masing di kedua mata sang wartawan. Lalu ia mengambil sisa satu paku yang ada disakunya dan menancapkannya di kening sang wartawan. Sudah tidak ada suara yang keluar dari sang wartawan.
Enola merobek seragam sang wartawan dan mengukir tanda " ∀ " di dada itu. Enola menatap jasad sang wartawan, ia memiringkan kepalanya dan tersenyum. Enola mengambil batu kapur yag ada diluar kamar mandi dan menulis surat di dinding kamar mandi yang ada di dalam.
"Teruntuk aparat... Dimanapun anda berada, disitu ada saya. Jangan tinggalkan permainan yang menyenangkan ini!"
Enola keluar dari kamar mandi, meninggalkan jasad sang wartawan. Ia membuka keran air yang ada didekat kelas yang tak terpakai dan membersihkan sarunh tangan dan wajahnya yang terkena bercak darah. Setelah merasa sudah bersih, Enola mengambil dan memakai seragamnya lalu menuju kelas Tita.
Enola melihat Tita yang sedang tertawa sembari berdiri didepan kelasnya dengan Zahra.
"Titaaaa." Teriak Enola dari lorong kelas.
"Enolaa sinii." Ucap Tita dibarengi dengan Enola yang berjalan mendekati dirinya.
"Nanti pulang bareng yuk." Ucap Enola.
"Yuuk." Ucap Tita.
"Yahh pulang sendiri lagi dehh." Ucap Zahra dengan nada bergurau.
"Hehehe,kan kemaren uda pulang sama kamu raa. Sekarang aku sama Eno dulu yaa." Ucap Tita.
"Iya deh iyaa." Ucap Zahra.
"Yaudah aku ke kelas dulu ya,nanti aku susul kamu." Ucap Enola.
"Iyaa Noo." Ucap Tita.
Enolapun kembali masuk ke kelasnya dan mengabaikan apa yang sudah ia perbuat di kamar mandi belakang. Membunuh sang wartawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENOLA DISORDER
Teen Fiction" Sayatan dileher adalah seni terbaik di dunia, jeritan mereka adalah suara terindah di alam semesta." Begitulah prinsip dari Enola seorang pemuda yang berubah menjadi Psycho karena kasus perceraian orang tuanya. Ia menutupi penyakitnya itu dengan h...