Semestinya, setiap pagi rumah tidak akan sepi. Sewajarkan sepasang suami istri bertukar dialog untuk mengawali hari. Terlebih lagi, saat melewati masa menjadi pengantin baru yang sedang hangat-hangatnya, yang hawanya terselimuti rasa cinta, ibaratnya seperti abg yang dilanda asmara.
Semestinya, akan menjadi biasa saat terdengar keributan kecil antara suami dan istri di pagi hari. Tentang suami yang kesulitan mencari kemeja kerja, lalu istri yang mengomel karena kebiasaan suami menaruh handuk basah di atas tempat tidur, lalu ditutup dengan sarapan bersama di meja makan dengan menu sederhana berbumbu cinta.
Itu sewajarnya pengantin baru yang memulai kehidupan baru bersama orang baru. Kehidupan baru yang dibangun dengan rasa dan bukan terpaksa.
Namun, tidak dengan rumah kontrakan berlantai satu yang Dara tinggalin bersama suaminya selama hampir satu bulan ini.
Suami
Selalu saja, perempuan itu tanpa sadar tersenyum miris setiap kali menyebut kata suami, sebab baginya kata itu adalah kata keramat yang hanya dengan menyebutnya membuatnya ingat tentang satu hal yang membuat hidup perempuan itu jauh berubah.
Pernikahan.
"Saya berangkat," suara bariton yang sudah Dara hafal menarik kesadarannya dari lamunan. Tangannya meletakan mangkuk berisi sayur sop yang masih mengepul di atas meja makan. Kemudian perempuan bermata sipit itu menoleh ke arah suara tersebut berasal. Di sana, punggung laki-laki yang berjalan meninggalkan kamar menuju pintu depan tertangkap oleh Dara.
Tanpa dapat dicegah, satu helaian nafas berat terdengar.
"Sarapan dulu, Kak." ujar Dara tidak terlalu keras sembari melangkahkan kaki mengikuti laki-laki itu. Rumah yang baginya cukup luas untuk mereka berdua, dengan suasana sepi membuat suara Dara seakan terdengar hingga penjuru ruangan.
Laki-laki yang setiap pagi selalu rapi dengan batik dipadu dengan celana bahan hitam, atau dihari tertentu mengenakan baju dinas itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengenakan sepatu pantofel hitam yang terlihat mengkilap.
Setelah bangkit dari posisi membungkuk, tanpa menoleh ke arah istrinya yang semenjak tadi berdiri di sampingnya, satu kalimat yang sudah menjadi sarapan Dara selama satu bulan ini keluar — lagi."Saya sarapan di kantin," singkatnya.
Diraihnya tas kerja yang tadi dia letakan di kursi tamu. Kemudian, berlalu begitu saja melewati pintu dan masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman rumah.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, di teras Dara menunggu mobil yang dikendarai suaminya melaju meninggalkan halaman. Lalu menghilang dari pandangannya. Hanya saja, pagi ini berbeda. Mata sipit perempuan itu tidak lagi basah, hanya ada senyum miris dan tipis yang tercetak dari bibirnya.
***
"MasyaAllah! Semenjak nik — " pekikan perempuan berkhimar biru muda itu menggantung saat mulutnya sudah dibekap oleh Dara — sahabatnya.
"Ember banget sih, Zi!" ujar Dara kesal setelah melempar pelototan kepada Fauzi— sahabat Dara di kampus.
Fauzi menghirup udara dengan rakus setelah Dara melepas telapak tangannya dari mulut Uzi.
"Sorry, kelepasan..." ujar Uzi sembari cengengesan.
"Tapi serius, sekarang rajin banget bawain bekal buat aku. Uang belanjanya banyak ya?" tanya Uzi dengan berbisik. Dara yang sedang mengeluarkan binder dari tasnya, hanya menoleh sekilas ke arah Uzi yang sedang mengunyah nasi, sop ayam, juga tempe mendoan yang sengaja dibawakan.
"Alhamdulillah, " jawab Dara singkat. Sedangkan Uzi hanya tersenyum senang. Berbanding terbalik dengan Dara, setiap kali melihat hasil masakannya ada satu luka yang tidak pernah bisa mengering bahkan kemungkinan untuk sembuh mustahil.
Ditatapnya kertas kosong yang siap digunakan untul mencatat materi perkuliahan hari ini. Kemudian dia edarkan pandangannya ke ruang kelas yang mulai ramai dengan teman-teman. Di depan kelas, sudah ada empat mahasiswa yang sedang menyiapkan presentasinya. Satu bulan lalu, hidupnya sama dengan mereka. Setiap hari, yang dia pikirkan adalah bagaimana mengerjakan tugas, membuat penelitian, kumpul organisasi, dan tertawa begitu lepas. Hingga, semua berubah saat laki-laki itu mengucap perjanjian kepada Tuhan untuk mengambil alih tanggung jawabnya dari ayah yang belum lama tiada.
"Jangan mikirin mas suami terus! Salam Bu Ida sampai nggak dijawab gitu," bisik Uzi setelah menyenggol lengan Dara. Dara hanya mendengus kesal saat melihat alis Uzi dinaik turunkan secara bergantian.
Mungkin, seharusnya ada semu merah yang nampak di pipi Dara ketika terpergok melamun. Akan tetapi, bagaimanapun Dara mencari alasan agar semu merah muncul di pipinya dia tidak pernah berhasil.
"Ra!"
"Hm?"
Kelas sudah selesai dua menit yang lalu, hari ini Dara hanya memiliki dua jadwal kuliah saja. Tepat adzan dzuhur berkumandang dari masjid kampus, dosen mengakhiri perkuliahan.
Uzi menyodorkan kotak bekal milik Dara, "Jazaakillahu Khair, Dara. Besok lagi ya... "
Dara hanya memutar bola matanya malas dan memasukan kotak bekalnya ke dalam goodie bag yang sudah berisi buku paket.
"Mau ke masjid dulu?" tanya Uzi saat mereka beriringan keluar kelas menuju lantai dasar.
Dara menggeleng.
"Yah, nggak jadi tante dong aku... " ujar Uzi kecewa membuat Dara otomatis menoleh dan mengernyitkan dahinya.
Uzi yang melihat ekspresi sahabatnya itu terkikik, kemudian dia mencondongkan badannya ke arah Dara dan membisikan kalimat yang membuat Dara malu juga miris, "Dedek bayinya belum jadi."
Satu pukulan ringan bersarang di lengan Uzi.
Terkadang, apa yang direncanakan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Serapi apapun daftar impian kita, realisasinya bisa di luar apa yang dibayangkan. Lulus kuliah, bekerja, lalu menikah. Itu rencana yang sudah Dara susun semejak dia memutuskan untuk kembali mengenyam pendidikan. Namun, pada dasarnya manusia hanya bisa berencana sedangkan tetap Dia yang memegang kendali. Sehingga, rencananya terbalik. Kuliah, menikah, lalu? Mungkin bekerja atau mengabdi kepada suami seutuhnya.
Dara memasukan kunci.
"Assalamu'alaikum, " ujarnya ketika membuka pintu. Setelah masuk, dan mengunci pintu kembali dia langkahkan kaki menuju kamar setelah sebelumnya meletakan sepatu di rak samping pintu.
Rumah bukan lagi tempat ternyamannya untuk pulang, bagi perempuan bermata sipit itu kini rumah adalah satu-satunya tempat yang menghilangkan alasannya untuk tersenyum. Rumah yang selalu mengingatkannya tentang status berat yang harus dipikul. Statusnya sebagai istri.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
bukan PERNIKAHAN IMPIAN √(PINDAH KE DREAME)
Romance(SUDAH DIUNPUBLISH - PINDAH KE DREAME) 🔥Plagiat artinya Mencuri itu Dosa🔥 Katanya, pernikahan itu mengubah aku dan kamu menjadi kita. Mengubah sendiri menjadi berdua, mengubah kerja sendiri menjadi kerja sama. Dan mengubah semuanya menjadi pahala...