1

99 18 5
                                    

Guys, gak ada salahnya loh untuk tekan vote. Jangan jadi siders, ya? Maaf kalau aku agak agresif atau menuntut untuk di beri vote atau komen, tapi itu karena aku masih amatiran. Jadi, vote dan komen kalian sangat berharga sekali, teman teman. 부탁해요 여러분.

"Leya!!!"

Pekikan nyaring itu berasal dari sebelah kanan telinga gue yang tersumpal dengan earphone. Tak ada yang tahu, earphone itu tidak membunyikan suara apapun. Kosong, gue sengaja melakukannya. Entah kenapa akhir akhir ini ada yang mengusik pikiran gue.

Teman-teman gue kini semua pada sibuk dengan dunia masing-masing. Yang akhirnya membuat fakta, bahwa gue kini sendirian yang bertahan entah sampai kapan.

“Kenapa, sih?” adalah kata yang gue keluarkan dengan nada kesal.

“Lo di panggil sama Levin. Katanya penting banget.”

Tau gak hal apa selanjutnya yang gue lakukan? Iya, gue lari meninggalkan Diva ㅡteman sebangkuㅡ yang mungkin kaget sendiri lihat tingkah gue.

“Di tempat biasa, katanya.”

Informasi Diva itu gue dengar, tapi gue gak ada waktu untuk merespon perkataannya. Gue terlalu senang. Untuk pertama kalinya, semenjak menginjak tahun akhir sekolah, Levin mengajak gue bertemu. Bukan, gue gak bertengkar sama dia, tapi semenjak libur panjang sekolah memang gue sama dia gak pernah lagi ketemu. Seakan kita gak kenal, punya kehidupan masing masing untuk di tempuh.

Sahabat gue yang lain juga semuanya sibuk dengan pacar masing masing. Diantara kita ber-enam, Dara dan Afif yang berpacaran dalam persahabatan kita. Karena, Dara dan Afif memang dari dulu sudah berteman, ceritanya, sih, sebelum pacaran, mereka kena friendzone dulu. Agak lucu ya, tapi kisahnya cukup rumit.

Oke, balik ke situasi gue sekarang.

Dari sini, dengan jarak 10 meter gue bisa lihat Levin seperti orang gelisah dan... Gugup? Karena sudah didesak dengan rasa kepo yang memuncak, tanpa pikir panjang gue jalan ke arah Levin yang langsung menoleh waktu sadar dengan kehadiran gue.

Hal selanjutnya? Dia berlari meluk gue dengan senyum lebar dan wajah yang terlihat lega. Dia meluk gue erat, tapi gue belum balas pelukan Levin karena saking terkejutnya.

Dengan memegang kedua bahu gue, Levin bilang “Akhirnya lo datang juga,” Itu yang di katakan Levin. “Gue seneng banget akhirnya ketemu lo lagi. Gue pengen ngomong sesuatu sama lo, Ya'. ” sambungnya.

Levin kembali memeluk gue. Gue baru pengen balas pelukan dia, tapi perkataan dia berhasil membuat tubuh gue seperti tidak bernyawa.

“Gue akhirnya pacaran sama Nadya. Akhirnya, perjuangan gue selama ini gak sia-sia.” Mungkin saking semangatnya Levin, dia sampai ikut menggoyang goyangkan badannya ke kanan dan kiri di tengah-tengah pelukan gue sama dia.

Gak apa-apa, yang penting Levin bahagia.

Agak klise, sih, masalah gue. Tapi, harus di apakan lagi? Gue juga gak mau mengakui, kalau gue sekarang lagi kena friendzone. Mungkin ini karma kali, ya? Soalnya dulu gue hobi banget ejek Dara sama Afif kena friendzone.

“Wah... Akhirnya lo udah gak jomblo lagi, ya. Selamat, deh. Jangan lupa traktirannya. Inget! Gue yang kasih lo tips.”

Iya, gue yang kasih tips ke Levin. Awalnya, gue kira Levin nanya hal hal semacam itu karena mau deket sama gue. Tapi kejadian hari ini membuktikan kalau semua yang gue pikirkan dan harapkan adalah salah. Malu? Iya, gue malu sama pikiran konyol gue sendiri. Dari awal, harusnya gue sadar kalau tipe Levin itu yang imut seperti Nadya. Bukan seperti gue yang super malas, kerjanya cuman membaca sama buat cerita.

Hufttt...

Lihat Levin senyum cerah seperti sekarang ini, gue akhirnya sadar kalau kebahagiaan Levin itu gak ada di gue, tapi adanya di Nadya.

Gue sama Levin sekarang lagi duduk, tapi gak ada satupun pembicaraan. Levin sibuk dengan ponselnya, gue sibuk menata perasaan gue.

Gak apa apa, Leya. Ini cumanㅡ

Monolog gue berhenti karena Levin tiba-tiba berdiri dengan senyum yang super cerahnya. Jujur, gue belum pernah lihat senyuman dia yang seperti itu.

“Gue duluan, ya? Nadya udah manggil, nih.”
“Yaudah, salam buat Nadya. Bilang sama itu cewek, kalau gue kangen sama dia. Jangan belajar terus, hidup perlu dinikmati.” Gue senyum kecil waktu Levin ketawa buat menanggapi perkataan gue.

Ini cuman cinta monyet.

Sambil memandang punggungnya yang menjauh, gue menyambung kalimat yang sebelumnya terhenti.

Buat kalian yang baca kisah gue, maaf banget karena baru awal cerita aja, gue udah menyuguhkan kisah yang miris seperti ini.

Karena memang ini yang gue alami sebagai Leya.

°°°

Hai guys, ini bukan cerita pertama ku sebenarnya, karena ceritaku yang lain berada di akun satunya lagi.

Tapi, karena ini cerita baru di akun ini, mohon bantuannya guys. Kalau ada penulisan kata yang salah, mohon beritahu, ya.

Jangan lupa buat vote dan komen. Karena dukungan kalian adalah sumber penyemangat buat penulis baru kayak aku.

Btw, Ini Levin ya guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Btw, Ini Levin ya guys. Hehe~

How To Tell YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang