6

18 6 0
                                    

Guys, gak ada salahnya, loh, untuk tekan vote. Jangan jadi siders, ya? Maaf kalau aku agak agresif atau menuntut untuk di beri vote atau komen, tapi itu karena aku masih amatiran. Jadi, vote dan komen kalian sangat berharga sekali, teman teman. 부탁해요 여러분.

Entah karena suara gurunya yang merdu, atau emang mata gue gak bisa diajak kompromi, alhasil gue sekarang lagi duduk di tengah lapangan.

Gak perlu heran, guys. Beberapa menit yang lalu, gue baru selesai jalani hukuman yang berat banget. Iya, tentu gue dihukum karena ketahuan sama Bu Ina, wali kelas gue,tidur di dalam kelas. Waktu ketahuan tidur, gue dilempar pakai buku tebal. Jangan tanya buku apa, entar kalau gue tau, bisa-bisa gue santet itu buku. Haha.

"Kenapa lagi, sih, lo?" Gue mendongak waktu sepasang sepatu Regi berhenti di depan gue yang lagi nunduk. Capek, guys. Habis lari 10 putaran ditambah berdiri sampai jam istirahat, cukup mampu untuk membuat seragam gue basah karena keringat.

"Maachih abang Egi!!" Ucap gue sembari menyengir saat Regi menyodorkan minuman dingin ke gue. Sementara Regi hanya memutar bola mata malas.

Dengan tergesa, gue meneguk minuman yang Regi beli.

Gue melirik Regi yang mengambil tempat di samping gue buat duduk. Gue, sih, bodo amat. Suka suka Regi.

"Ya'," Panggil Regi, yang gue jawab dengan sebuah dehaman.

"Leya!" Seru Regi.

"Apaan?" Dengan nada sewot, gue menjawab Regi. Kenapa lagi, nih, anak?

"Kina udah jadian," Dengan nada lesu, akhirnya gue memfokuskan perhatian gue sepenuhnya ke Regi yang menunduk dengan bahu yang menurun.

"Gimana ceritanya? Gue kira Kina juga suka sama lo," Ucap gue sambil memegang bahunya. Aneh, yang gue tahu, Kina juga suka sama Regi. Terus, kok?

"Gue juga gak tahu. Intinya, dia sekarang pacaran." Gue mengerjap waktu nada bicara Regi semakin lirih. Waduh, kayaknya Regi beneran suka, deh, sama Kina.

"Bentar-bentar, lo tahu darimana kalau dia pacaran?" Regi gak langsung jawab.

Gue memperhatikan gerak gerik Regi yang perlahan membaringkan badannya di tengah lapangan. Ini udah jam istirahat, dan gue gak yakin kalau gak ada satupun murid yang lihat kita berdua di tengah lapangan begini.

"Soalnya, hari ini gue nembak dia di kelas, waktu jam kosong. Padahal gue udah nyanyi di depan kelas, tapi gue di tolak. Bahkan yang kasih tau gue soal pacaran Kina itu, dari temen kelas gue." Jelas Regi.

Gue mengangguk mengerti. Gue tau rasanya cinta bertepuk sebelah tangan, karena itu gue ikut baring dekat Regi, sambil menutup mata berusaha menghalau terik matahari yang menusuk mata gue.

" Arhhgghhh, "

Gue terlonjak kaget waktu dengar erangan Regi. Gila! Kaget gue. Gue memegang dada gue yang jantungnya berpacu cepat dengan mata yang melotot.

"Kenapa cuman gue yang gak tau kalau Kina udah pacaran? Arrgghhh... GILA!!"

Gue kembali terlonjak kaget waktu dengar Regi teriak. Jujur, gue gak tau apa yang terjadi dengan jantung gue. Intinya, gue merasa lemah sesaat setelah gue kaget dengan jantung gue yang berpacu cepat dan napas gue yang memburu.

"Ya',"

Gue gak menoleh. Gue memejamkan mata gue, berusaha untuk mengatur detak jantung gue yang kian memburu.

Hufttt...
Gue kenapa lagi, sih?

"Leya?" Gue belum juga menoleh. Dari suara yang gue dengar di samping, gue yakin Regi bangun dari tidurnya.

"Hei, lo kenapa? Leya? Plis, bercanda lo gak lucu," ucap Regi.

Siapa yang melucu, sih? Batin gue berteriak.

Gue menggeleng, masih dengan mata terpejam rapat. Sementara Regi sekarang udah memegang bahu gue. Tanpa aba aba, Regi mengangkat gue. Yang gue tebak, Regi mau bawa gue ke UKS, tapi ternyata gue salah. Sekarang ini gue udah duduk di jok penumpang samping kemudi.

"Kita, mau kemana?" Tanya gue dengan terbatas bata. Gue kenapa sih? Kenapa batin gue bicaranya lancar, tapi mulut gue bicaranya terbata bata? Sekarang udah tukar peran, gitu? Aduh, mana ada, sih. Makin lama, gue makin ngaco juga ternyata.

"Ke Rumah sakit,"

Setelah Regi mengucapkan itu, gue udah gak tau apa yang terjadi.

°
°
°

Gue mengerjapkan mata. Gue gak perlu tanya gue dimana, karena gue tau dimana gue sekarang. Tapi, yang mau gue pertanyakan adalah Regi kemana? Kenapa malah Levin di sini?

Iya, Levin. Dari lirikan mata, gue liat Levin lagi berdiri di dekat jendela, entah lagi bikin apa. Waktu Levin mau balik badan, gue buru-buru tutup mata, entah kenapa.

"Iya, Nad. Nanti aku kabari lagi, ya? Iya, Leya masih tidur. Oke, bye. Ha? Kenapa? Haha, iya, gak akan. Aku kan setia sama kamu. Janji, deh, oke? Iya, bye-bye. Muach."

Oh, ternyata lagi teleponan sama ayang beb, toh? Haha.

Dengan gerakan kecil, gue akting kayak orang baru bangun. Padahal aslinya, gue udah bangun dari tadi. Haha.

"Eh, Leya. Lo, udah bangun?"

Seakan berusaha menetralisir cahaya masuk ke mata, gue pura pura mengerjap lalu menyipitkan mata.

"Bentar, ya? Gue panggil dokter dulu,"

Gue mengangguk, lalu setelah itu Levin keluar.

Gue menghela napas berat.

"Aisshh, nasib gue begini amat, ya?"

Gue mengacak rambut frustrasi. Obrolan Levin dan Nadya tadi sukses bikin gue merasa miris banget.

"Kenapa? Cinta lo bertepuk sebelah tangan?"

Gue melotot kaget sembari menoleh ke belakang dan mendapati Regi sedang berkacak pinggang di ambang pintu. Gue memutar bola mata malas.

"Dari mana aja, lo? Kenapa Levin bisa di sini? Keluyuran, lo, ya? Ngaku, deh!" tanya gue bertubi-tubi.

"Eitss, Slow down. Nanya itu satu-satu. Udah sakit, masih aja ngomel-ngomel. Cepat tua, tau rasa, lo!" Ucap Regi sembari terkekeh kecil waktu lihat gue mencebik.

"Aduh, imutnya calon pacar," Gue menatap garang ke arah Regi lalu menepis tangannya yang mengacak rambut gue.

"Plis, deh, Regi. Jangan karena lo baru aja mengalami cinta bertepuk sebelah tangan, dan ditolak mentah-mentah, lo jadi gila, dan mau jadiin gue pelampiasan lo," Jelas gue dengan masih menatap garang Regi yang lagi-lagi terkekeh.

"Enak banget, lo. Mati aja sana!"

Setelah mengucapkan itu, Levin pun datang, diikuti dokter di belakangnya.

"Bagaimana keadaannya?"

Gue memekik girang. Ternyata dokter yang periksa gue itu adalah tetangga baru gue yang tinggal di depan rumah. Gak akrab banget, sih, tapi ketampanannya itu, selalu sukses bikin gue senyum-senyum sendiri.

"Wah, Bang Alen!" Seru gue dengan suara yang hampir mirip anak kecil. Maklum, suara gue selalu berubah kalau lagi memekik. Haha.

How To Tell YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang