3

45 15 7
                                    

Guys, gak ada salahnya loh untuk tekan vote. Jangan jadi siders, ya? Maaf kalau aku agak agresif atau menuntut untuk di beri vote atau komen, tapi itu karena aku masih amatiran. Jadi, vote dan komen kalian sangat berharga sekali, teman teman. 부탁해요 여러분.

Semuanya sudah pulang. Bahkan Feli dan Azra tadi sempat hadir. Mereka berdua itu teman kelas gue. Gak terlalu dekat sih, tapi kita bertiga pernah sekelompok. Mereka berdua itu datang bersamaan dengan Dara dan Afif.

Gak ada yang canggung semenjak kita pernah gak kumpul bareng sekitar 4 bulan memasuki 5 bulan. Semuanya, karena untuk merayakan jadian Levin dan Nadya. Couple kedua di dalam persahabatan kita.

Kini tinggal gue sama Regi. Regi mah dari dulu memang seperti itu. Suka numpang main PS di rumah gue. PS itu pemberian nenek. Katanya, biar gak bosan di rumah. Soalnya gue sama nenek tinggal terpisah. Ada untungnya juga dibanding harus tinggal begitu saja di ruang tengah. Gue jago, tapi gue lebih suka menghabiskan waktu untuk membaca dan membuat cerita dibandingkan untuk hal hal seperti itu.

“Jangan ditahan-tahan, Leyaku.” Gue menoleh kaget.

“Apaan?” jawab gue sewot

“Perasaan, lo.” pengen banget bantal kursi di tangan gue ini mendarat di kepala Regi.

“Apasih, Gi? Aneh, lo. Pulang sana! Bunda entar nyariin.” Bunda yang gue sebut itu tante Vina, mamanya Regi. Gue kebiasaan panggil tante Vina "Bunda" karena dulu gue suka ikut ikutan apapun yang Regi lakukan.

Iya, gue sama Regi sudah sama-sama dari umur gue sembilan tahun. Jadi, sebagian kisah hidup gue, rata-rata Regi tahu.

“Kalau suka bilang aja, sih. Kasian hati, lo. Entar kena penyakit jiwa, tau rasa lo.” gue melotot.

“Sembarangan lo! Kalau bicara itu di perhatikan!” Gue mendengus jengkel. Enak aja doain gue sakit jiwa-_-

“Tau,deh. Anak bahasa mah bebas.”

Gue emang anak bahasa. Diantara gue dan sahabat gue yang lain, hanya gue yang ambil jurusan bahasaㅡAzra dan Feli gak dihitung, ya. Semua pada bilang bahasa itu susah. Padahal, kalau gue pikir, IPS itu susah soalnya menghafal, apalagi IPA yang menghafal sambil menghitung. Hadeuhhh. Gue emang sebodoh itu, guys. Pantas aja Levin gak suka.

“Leya, lihat gue.” Lah? Anyink! Gue deg degan kalau Regi tingkahnya begitu. Aduh, kali ini Regi pasti sadar.

Gue perhatikan wajah seriusnya, namun tidak berselang lama, tiba-tiba Regi ketawa. Gue mengernyit bingung dengan mata memicing. Apa nih maksudnya?

“Lain kali, jujur sama diri lo sendiri, ya? Setidaknya orang lain bisa tau keadaan lo. Seenggaknya, gue yang tau keadaan lo,” Setelah mengucapkan itu Regi bangkit sesudah mengacak rambut gue.

.
.
.

Pagi ini mungkin keberuntungan tidak memihak, pasalnya gue saat ini sedang membersihkan koridor sekolah yang panjangnya bisa bikin ngumpat dalam hati. Masih untung hukuman gue membersihkan koridor angkatan 12, jadi aman aman saja. Setidaknya gue bisa menegur mereka yang berani lewat.

Kalau mau tegur adek kelas, aduh malas gue. Rata-rata pada suka drama. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit lapor, dll. Intinya penuh drama, deh. Ya, walaupun gue juga suka nonton drama, setidaknya gue tidak menerapkannya di kehidupan nyata. Soalnya, hidup gue sendiri saja sepertinya lebih rumit dari drama deh, gak ada bahagia-bahagianya.

“Heh! Gue lagi pel lantai! Lewat pinggir, REGI!!!” Iya, itu Regi. Satu-satunya cowok yang berani jail ke gue. Semua cowok rata-rata pada gak berani. Bukan karena gue sering marah ke mereka, tapi lebih tepatnya muka gue ini memang sudah di desain indah dengan mimik wajah pemarah.

Waktu pertama masuk sekolah saja, kakak kelas pada takut berurusan sama gue. Eh, Reginya malah beranggapan kalau mereka pada suka sama gue karena gak ada yang ganggu gue selain dia. Sinting, emang.

“Pagi-pagi udah olahraga aja, neng.” Mulai deh, jailnya.

“Eh, Kina!” Cuman itu satu-satunya ide yang terlintas agar Regi cepat-cepat pergi. And see? Gue berhasil. Regi menoleh.

“Mana? Gak ada, tuh? Bohong lo, ya?!” Gue menggeleng menyangkal.

“Enggak, kok. Emang tadi ada, orangnya.” Bela gue.

“Udah berani, ya, lo ngerjain gue.” Gue udah pengen lari aja, tapi sesuatu menahan gue untuk tetap berpijak.

“Bisa, gak sih kalian berdua itu gak bertengkar? Ini masih pagi. Yang ada, entar orang orang sakit kepala liat kalian bertengkar kayak anak kecil begitu. Sini lo!”

Gue menatap dengan pandangan kosong.

“Aduhh, telinga gue gak usah dijewer juga, Vin. Sakit nih, AWWWㅡ”

Iya, yang bantu gue menyingkirkan si bule itu, Levin. Lagi-lagi dia datang buat bantu gue.

Gue sadar, dia gak akan pernah ingat gue siapa.

°°°

Visual Regi

Visual Regi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
How To Tell YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang