4

32 7 0
                                    

Guys, gak ada salahnya loh untuk tekan vote. Jangan jadi siders, ya? Maaf kalau aku agak agresif atau menuntut untuk di beri vote atau komen, tapi itu karena aku masih amatiran. Jadi, vote dan komen kalian sangat berharga sekali, teman teman. 부탁해요 여러분.

“Leya, muka lo pucat. Lo, sakit?”

Gue menggeleng dengan wajah menahan sakit. Kepala gue sakit lagi. Gak sekali sih gue dalam keadaan seperti ini. Dari waktu sekolah menengah pertama saja, gue sudah sering mengalami hal ini.

Agak heran, sih. Soalnya teman gue kalau sakit kepala gak lebay kayak gue yang bisa sakit sampai seminggu. Gue gak pernah ke dokter, soalnya gue gak suka. Jangan tanya alasannya, gue juga gak tau.

“Gue kayaknya pulang aja deh,” Ucap gue sambil memegang kepala gue.

“Oke, deh. Sini gue bantu,”

Gue mengangguk waktu Diva mengajukan dirinya untuk bantu gue. Gue gak nolak, karena kepala gue memang sudah sangat sakit.

Hadehh, ngerepotin orang lagi gue.

Iya, seenggak suka itu gue kalau ada yang bantu gue. Bukannya apa sih, cuman gue sedikit trauma aja sama kejadian di sekolah menengah gue dulu. Gue di bully karena teman-teman gue dulu suka banget bantu gue segala macam. Aneh, kan? Masa karena teman gue bantu, gue kena bully. Gak adil banget, ya gak sih?

"Eh, Leya, lo kenapa?" Gue mendongak. Levin ini, entah kenapa gue gak suka lihat kehadirannya. Aneh, ya? Dan anehnya lagi, gue makin gak suka waktu lihat Regi yang lagi cengar-cengir di belakang Levin. Ngejek banget ini anak. Batin gue menjerit.

"Sakit lagi, kan, lo? Makanya gue bilang. Mending jujur daripada lo sakit, ya, kan?" Gue memutar bola mata malas. Jengah gue lama lama liat Regi.

"Jujur? Jujur apaan, Leya?" Dari sini gue bisa lihat pancaran mata Levin seakan menuntut penjelasan. Hmmm... Tapi sekedar informasi, ya, mata Levin memang seperti itu dari lahir. Mata penuh intimidasi. Jadi, harusnya gue gak kegeeran. Tapi...

Jawab apa nih gue? Aduhhh... Eh, bentar deh. Itu...

"Azra!!!" Gue teriak. Cuman itu yang gue pikir. Karena memang Azra lagi duduk santai depan sana.

"Ha? Azra?" Gue senyum kikuk menanggapi pertanyaan Levin.

"Iya, gue ㅡ" Aduh, gak tega gue lihat matanya Levin. Nuntut banget jawaban jujur, tapi gue malah kasih jawaban palsu. "Gue... Suka. Iya, guesukaAzra!" sambung gue.

Asli, gue malu. Gue bicara hal itu tanpa jeda, tanpa spasi. Bikin orang yang lagi kumpul dekat gue bingung sekaligus kaget. Azra aja yang sudah di samping Levin mengerjap kaget.

Goblok, itu kata yang Regi ucapkan tanpa suara. Gue menghela napas pasrah.

Pulang pulang Otw diomelin Regi ini mah.

"Hehe. Azra, anterin gue pulang, ya? Kepala gue sakit, nih."

"Hah?!"

"Aduduhh kepala gue sakit banget ini. Tolong in cepetan," Sambil memegang kepala gue yang memang sudah berdenyut hebat, gue bisa lihat ada gurat khawatir yang ditunjukkan oleh Levin. Dan guratan panik yang ditunjukkan Azra, serta guratan Jengah yang ditujukkan oleh Regi.

"Sini gue bantuin. Hati-hati. " Setelah posisi gue sepenuhnya berpindah pada Azra, gue akhirnya memilih untuk cepat cepat beranjak dari sana. Karena dari kejauhan, gue sudah bisa lihat eksistensi Nadya yang berjalan ke arah Levin.

Gue gak benci Nadya, tapi lebih tepatnya gue benci diri gue sendiri. Karena pernah berpikir untuk menanam rasa benci gue terhadap Nadya yang jelas-jelas gak tahu apa-apa dan Nadya yang merupakan sahabat gue.

"Gue antar ke rumah sakit, ya?" Gue menggeleng. Gak ada yang enak di rumah sakit. Sumpek, suntuk, jenuh, bosan, dll.

"Ke makam raya indah aja. Gue, pengen ketemu sama seseorang."

"Oke." Ini yang gue suka dari Azra. Gak ada yang pernah dia tanyakan ke gue meskipun gue tahu dia penasaran.

Mungkin butuh sekitar belasan menit saja untuk sampai ke makam. Karena jarak sekolah dan makam tidak terlalu jauh. Setelah membeli setangkai bunga di gerbang depan makam, gue berjalan mencari makam orang tua gue.

Iya, makam orang tua gue. Sekecewanya gue sama mereka, gue tetap datang ke sini buat cerita apa saja, layaknya anak pada umumnya ke orang tua mereka. Meski keadaannya berbeda, tapi setidaknya, inilah yang bisa gue lakukan untuk bisa merasakan kehadiran mereka di sisi gue.

Sambil menghela napas, gue menaruh setangkai bunga itu di makam orang tua gue.

"Azra, yang tadi itu, gueㅡ" Perkataan gue terhenti. Yang terjadi adalah, Azra membalikkan badan gue menghadapnya yang menatap dengan tatapan sulit untuk di artikan.

"Gue tahu. Jadi, lo gak usah jelasin apa-apa. Dan, maaf."

Maaf? Buat apa?

Pertanyaan itu tertahan di batin gue. Untuk saat ini biarkan semuanya mengalir seperti sungai. Dan untuk hari ini, biarkan Azra menggenggam tangan gue. Karena besok-besoknya sih, mungkin gue ogah. Hehe...

How To Tell YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang