02

17 4 0
                                    

***

Suara bising mulai terasa memekakan, ini hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas yang menyenangkan bagi sebagian orang. Tapi sepertinya, saking semangatnya para murid temu kangen sampai melupakan kehadiran satu orang penting di kelas ini.

"Kalian mengerti bahasa manusia tidak sebenarnya?" pertanyaan aneh. Seruan-seruan berisi keluhan semakin jelas terdengar di kelas 11 Ips 3 membuat sang guru cantik berkacamata itu berkacak pinggang.

"Dasar kelas sinting, bisa cepet mati saya disini!" teriak bu jerly seraya melenggang anggun menuju pintu keluar. Guru yang telah menobatkan dirinya sebagai guru killer di SMA N 2 Jakarta ini memang terbiasa berkata kasar, sehingga beliau selalu mewanti untuk dimaklumi dan jangan ditiru. Ada ada saja guru jaman sekarang haha.

"Ehmm." seketika semua warga kelas yang sedang cengengesan itu langsung diam saat seorang siswa berdiri di dekat pintu dengan wajah angkuhnya.  Hebat bahkan sebuah deheman dapat mengendalikan keadaan menjadi kondusif dibanding suara bu jerly sang guru killer.

Mata seluruh siswa mengikuti pergerakan siswa angkuh itu. Tangannya mengambil spidol diatas meja dan dengan gerakan cepat Tero Muhamad
"Itu nama gue," tunjuknya sembari tersenyum kaku dan berjalan ke arah bangku kosong di ujung.

"Oke perkenalan yang cukup menarik disini" ucap heksa, siswa yang sama songongnya. Ia mulai menjabat tangan tero, mungkin akan segera direkrut menjadi gengnya.

Bora mulai tersadar dari lamunannya saat sastra, sahabatnya mulai tertawa tidak jelas sambil bercerita betapa halus telapak tangan tero. Tidak perlu ditanya, sudah pasti dia telah menjabat tangan tero karena sahabatnya ini termasuk cewek gatel menurutnya.

"Katanya nggak suka sama orang songong, giliran sekarang lo sendiri yang songong."

"Oke oke sastra ini gue udah berdiri, lagian kan dia yang anak baru kenapa kita yang kesana sih aneh banget tau nggak."

Langkah bora terhenti, dena muncul dari arah pintu belakang bersama teman sekelasnya yang entahlah bora lupa namanya sedang  menuju barisan tempat duduknya. Wuah bahkan ini untuk pertama kalinya dena masuk kelas 11 Ips 3. Apakah semalam dena mendapat hidayah untuk segera pdkt dengannya? Bora menahan diri untuk tidak loncat saat ini juga. Senyumannya luntur kala dena malah melewatinya dan segera mendudukan diri di meja si anak baru.

"Yaampun kenapa gue baru ngeh si ya allah ya robi itukan bocah kemaren." guman bora sambil memukul kepalanya.

"Kenapa ra kenapa? Perasaan gue dari tadi disini kok. Nggak melihat sedikitpun pergerakan lo yang memalukan." ucap sastra terkekeh tanpa dosa.

"Aww bora, bisa gak si lo kalo nyubit jangan di paha!" ups sial. Bora dan sastra yang kali ini menjadi sorotan pun hanya bisa nyengir seolah itu cara mereka untuk aman.
"ehm, lo--" ujar tero seraya menggaruk pelipis yang sebenarnya tidak gatal.
"Bora, dia bora maya. Cantik kan?" cerocos sastra sambil buru-buru menautkan tangan bora dan tero. Dasar modus, bora tahu sebenarnya itu adalah trik supaya sastra bisa memegang tangan tero untuk kedua kalinya.

Dari ekor matanya bora bisa melihat tero yang sedikit kikuk saat matanya bertubrukan dengannya. Entah perasaannya saja atau memang tangan tero kali ini terasa dingin. Bora menggelengkan kepalanya ah mungkin tero kurang enak badan.

Sementara sadena tetap cuek bebek, bora malah dongkol sendiri dan segera keluar menuju kantin. Walaupun jam istirahat masih 3 jam lagi, ia tidak perduli. Air dingin, bora sangat membutuhkannya. Bila perlu satu kardus akan ia beli sekaligus untuk menyiram wajah sok coolnya dena biar tambah cool.

"Bora kok malah ninggalin sih, tungguin gue." sastra berlari kencang bak superman, namun kembali berbalik arah.
"Tero, ayok kantin. Sekalian kenalan lagi sama bora."
"Ehh," tero terlihat berfikir tapi tak ayal mengangguk dan ikut berjalan di sebelah sastra.

"Ro, bukannya lo udah ada janji sama kita?" sinis dena tanpa melirik makhluk disebelah tero yang sudah geram dengannya.

"Astaga iya, sorry ya tra gue udah ada janji sama dena dan tama" sesal tero.

"Oh nggak papa kok ro, duluan ya" Anggukan tero terlihat seperti ada rasa tidak enak. Padahal sastra tidak marah sama sekali padanya. Tapi saat ia bersisian dengan dena, ia jadi ingin menonjok wajah angkuhnya itu. Bagaimana bisa sahabatnya itu bisa sangat menyukai sadena dengan wajah menyebalkannya itu. Bahkan dena tidak merasa berdosa sedikitpun walau tadi sudah menggagalkan rencana ngantin barengnya bersama tero. Astagfirullahadzim, sastra sabar.

***

Destiny, MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang