03

5 2 0
                                    

***

Sambil memasang headset ke telinga kirinya, bora duduk di pinggiran gerbang menunggu jemputan datang.
"Papa udah dijalan ma?"
"Yash akhirnyaa. Udah pasti dibeliin kan ma?"

Helaan nafas terdengar di ujung telepon. Bora terkekeh membayangkan wajah mamanya. Sudah pasti mamanya sedang menahan emosi karena bora terus-terusan menanyakan hal yang sama. Hana memang tempramental, makanya bora suka menjahilinya.

"Iya iya ma tadi bercanda doang, mama jangan lupa istirahat ya assalamualaikum" sambungan telepon terputus, bora kembali tersenyum. Mamanya sedang tidak enak badan, jadilah ammar papanya yang menjemput. Walaupun baru saja pulang dari luar kota, papanya tetap menjemputnya. Bora senang setidaknya rasa rindunya sedikit berkurang nanti.

Jari-jari bora membuka aplikasi instagram di hape nya. Mencari dan melihat apapun yang ada di sana. Bora menghela nafas, teringat dm nya kala itu begitu memalukan minta difollback oleh dena namun hanya dibaca olehnya. Dena memang lelaki super tega yang pernah ia kenal tetapi selalu bikin gagal move on. Dasar si budak cinta.

"Bora." Kepala bora menoleh ke kiri, ia terlalu asik bernostalgia tidak menyadari kehadiran lelaki yang amat ia sayangi di dunia ini telah duduk di sampingnya.
"Papa kenapa gak bilang kalo udah nyampe si pa?"
"Heh papa udah panggilin tapi kamu malah maenan ini terus" tukasnya menunjuk handphone bora.

Tanpa menjawab, bora malah memeluknya erat. Ia sangat merindukan papanya, ammar memang sering keluar kota. Saking seringnya pernah bora berfikir papanya memiliki selingkuhan. Tentunya ini tidak benar, bora bahkan diberi wejangan habis habisan oleh mamanya karena sudah lancang  berfikiran seperti itu.

"Udah ayok, itu pesenan kamu ada di garasi. Koper camping full skincare kan?" Wajah bora berubah cengo, ini diluar dugaannya bora semakin mengeratkan pelukannya. Waktu itu ia hanya asal ceplos supaya papanya tidak jadi pergi. Tapi ternyata ammar memang sangat kaya seperti kata mamanya setiap hari.

"Sinideh aku setirin mobilnya kalo papa capek" cengir bora.
"Kamu belum genap 17 tahun udah mau gaya-gayaan. Pites juga nanti. Mending benerin dulu nilai kamu bora, biar gak malu-malu in waktu papa ngambil rapot"

Bora langsung mengatupkan bibir mendengar penuturan papanya. Niat awal hanya ingin bercanda pun berakhir, moodnya rusak. Ammar yang melihat perubahan wajah anaknya pun langsung ikut diam. Perbincangan yang selalu membawa-bawa nilai sekolah memang selalu berakhir hening seperti ini. Bora akan emosi jika papanya terus membicarakan hal yang menurut mamanya tidak terlalu penting itu. Salahkan sang mama yang selalu mendoktrin bora untuk selalu puas dan bersyukur dengan nilai-nilainya yang tidak bisa dibilang bagus.

Acara akting tidur bora pun harus ia akhiri sekarang juga. Mobil papanya sudah sampai di rumah besar bercat abu abu putih pertanda mereka sudah sampai di rumah.

"Itu oleh-olehnya gak mau di bawa masuk dulu?"

"gak." balas bora dengan penekanan.

"Mahal loh itu isinya, bagus-bagus kata mbak nya. Model baru semua." goda papanya ketika bora membuka pintu mobil dengan tergesa.

Ammar hanya tersenyum melihat tingkah putri semata wayangnya itu. Bora tetap melangkahkan kakinya tanpa menoleh sedikitpun. Hana yang membuka pintu pun tidak kaget sedikitpun melihat wajah bora yang merah seperti menahan amarah. Ia sudah terlalu hapal dengan sifat mereka berdua yang seperti tom and jerry versi manusia jika sudah bertemu. Tetapi selalu menempel seperti perangko jika sudah berbaikan.

***

Destiny, MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang