04

7 2 0
                                    

***

Mata dena menyipit saat siluet dua orang siswa mendekat ke arah pintu kelas 11 Ipa 6. Mereka terlihat akrab, mungkin sudah bertukar nomor handphone. Sejenak dena memejamkan mata. Untuk apa memikirkan urusan orang, pikirnya. Tawa mereka kian jelas terdengar, membuat dena merasa terganggu.
"Norak." gumannya pelan.

"Kenapa?"tanyanya singkat saat mereka ada dihadapannya.

"Nggak kenapa, gue pengen keliling aja bosen. Berhubung di kelas lagi free juga. Bora sini duduk" tero menarik dena berdiri dan mempersilahkan bora duduk di kursinya.

"Waktu itu dena sempet cerita, katanya kalian dulu pernah satu sd ya?" bora sedikit terlonjak benarkah dena mengatakan ini semua, bahkan bibir bora sudah pegal menahan senyum hanya karna ucapan tero.
"Em iya dulu sempet si satu kelas waktu sd, smp juga sekelas--" gila ini gila, mulut bora lupa direm bagaimana nanti kalau dena marah. Ia menggigit bibirnya ia takut jika dena tambah menjauhinya.

"Eh tapi tadi lo bilang waktu sd doang kan ya, iya maksudnya sd nya yang sekelas--" ralat bora gelagapan.

Tero menautkan alisnya bingung, kenapa bora jadi lucu begini membuat tero sedikit gemas. Sedangkan dena jengah menatap kedua manusia didepannya. Apalagi tero yang sejak tadi senyam senyum tidak jelas. Ingin muntah rasanya.

Drt drt drt

Handphone tero bergetar, membuat dena bersyukur tidak jadi muntah di kelasnya sendiri. Sedangkan bora langsung meminta ijin kembali ke kelasnya karena belum mengerjakan pr katanya.. Alasan yang cukup klasik.

"Kok bisa sih bik, terus gimana keadaan mama?"

"Alhamdulillah, yaudah aku langsung ke sana ya bik. Jagain mama"

"Mama kecelakaan kata bik surti, tapi lukanya nggak parah. Sekarang gue mau ke rumah sakit." tutur tero tenang, walaupun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajah tampannya.

"Oke gue ikut." Putus dena
"Enggak den, gue minta tolong boleh?"
Anggukan kepala tanda sanggup dari dena mampu  membuat tero lega. Saudara plus temannya ini memang selalu menolongnya saat ia ada masalah.   Walaupun terlampau cuek dan mageran dena tetap the best di mata nya.

****

"Ayok bareng" ucap dena cuek

"M-maksudnya?" oh ayolah bora, berhentilah untuk sok gagal paham.
"Tero sekarang di rumah sakit, mamanya kecelakaan. Dia minta tolong ke gue nganter lo balik." tambahnya datar sedatar-datarnya.
"Terus gimana keadaan mama tero? Baik-baik aja kan den?" cecarnya membuat dena seakan menahan amarah.

"Gue nggak tau. Coba liat, bahkan gue masih disini" suara dena kali ini berubah sinis membuat bora mendengus. Dasar angkuh, batinnya.

Setelah itu bora berdiri dan melangkahkan kakinya. Bukan ke arah mobil dena kali ini. Ia malah melenggang melewati trotoar sembari melindungi wajahnya dengan tangan dari panasnya matahari. Langkahnya semakin jauh, sebenarnya ia sedang menahan diri untuk tidak menoleh ke tempat dimana dena berada. Sungguh ia penasaran.

Dengan membuang segala egonya, akhirnya bora berbalik dari tempatnya berdiri. Rasa penasarannya lebih penting saat ini. Namun ia harus menahan nafas, "dena sialan, bujuk dulu kek apa gimana,  Nggak ada kepekaan banget jadi cowok." gerutu bora saat tak melihat adanya mobil dena.

Sementara dena asik bersenandung di mobil untuk mengurangi sedikit rasa gelisahnya. Ia segera menampik jauh pikirannya, lagian ini bukan salahnya. Salah gadis itu sudah menolaknya tadi, melukai harga dirinya. Yang terpenting ia sudah menjalankan amanah dari tero, ia bisa tenang sekarang. Batinnya meyakinkan.

"Hei, lo tinggal di kompeks cendana itu kan?"
Bora kaget. Darimana datangnya orang ini, berani sekali menggangu acara menyesalnya menolak dena tadi.
"Halo, orang nya disini loh. Jangan mikir macem macem dulu. Kenalin gue akbar," tuturnya seraya mengulurkan tangan.

"Oh tenang, keluarga gue baru aja pindah 3 hari yang lalu. Jadi gue ini tetangga baru lo. Gue bukan penculik."
Timpalnya karena tidak adanya pergerakan kehidupan dari bora. Kedua tangannya ia angkat tinggi-tinggi untuk meyakinkannya. Ada-ada saja, lagipula untuk apa menculiknya. Yah walaupun papanya kaya raya tapi tetap saja. Rasanya seperti kurang kerjaan.

"Oke oke gue bora, karena lo tetangga baru gue. Yuk pulang gue udah capek banget jalan dari tadi nggak nyampe-nyampe. Btw lo ada kendaraan kan ya?" tanyanya sembari menelisik penampilan akbar dari atas sampai bawah.

Akbar menunjuk motor ninjanya di sekitar parkiran minimarket, kebetulan sekali. Bora sangat haus saat ini, jika tidak mengedepankan harga diri mungkin saja ia sudah tengkurep sekarang juga saking lemasnya.

"Kuy lah, gue yakin lo pasti tau rumah gue kan? nggak perlu pake acara nyasar oke!! Tapi sebelumnya tolong beliin dulu air dingin sama makanan dong plis. Udah pengen pingsan nih gue" cerocosnya tanpa jeda dan segera menggerakan tubuhnya limbung seolah akan pingsan. Akbar tersenyum geli, entah mengapa ia selalu merasa senang jika berteman dengan orang yang gamblang seperti bora. Tanpa beban menurutnya.

***

Destiny, MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang