06

0 2 0
                                    

****

Ruangan polos berwarna putih itu terasa sunyi. Mama tero nampak pucat. Bohong jika bik surti, selaku asisten rumah tangga dirumahnya mengatakan sang mama baik-baik saja. Walaupun mamanya berusaha tetap tersenyum. Namun tero bisa melihat dengan jelas ketika mamanya menahan sakit dibagian kepalanya.

"Mama istirahat aja kalo masih sakit, sini biar aku simpen dulu" katanya mengambil alih kertas dan pensil dari mamanya.
"Enggak tero, mama itu bosen. Udah sana mending kamu makan dulu daritadi kan blm makan apa-apa" tuturnya seraya tetap menggambar seorang anak kecil yang telah lama meninggalkan mereka. Itu adiknya, sonya.

Tero memeluk mamanya, ia melirik goresan tangan lentik itu. Tangan mamanya memang selalu ajaib. Apapun yang ia goresan selalu nampak sempurna. Ia selalu bersyukur karena dapat mewarisi bakat alami itu.

"Tero belum laper ma, lagian tero seneng kok bisa nemenim mama gini"

Mama tero tersenyum, ia tahu apa yang dikatakan anaknya semata hanya untuk membuatnya tenang.

"Ajakin perempuan yang bikin anak mama kesemsem kesini dong. Penasaran deh gimana cantiknya" ucap ratna, mamanya.

Tero yang tahu maksud dari perkataan mamanya malah tambah memeluknya erat dari samping. "Bahkan bora cuman tau kalo aku ini temennya dena ma, kayaknya dia nggak inget kalo pernah dm an sama aku." ungkapnya sedih

"Loh kakak juga kenal sama siapa namanya nak?"

"Bora ma," koreksinya.

"Mereka sempet sekelas waktu sd sama smp" tuturnya menjelaskan.

"Wah kebetulan banget nak, kakak deket kan sama bora? Nanti kamu minta kecengin aja sama dia" kata mamanya menyemangati.

Tero nampak berfikir, ia melihat dena tidak begitu menyukai bora. Namun ia tetap mengangguk berusaha membuat mamanya senang.

"Iya nanti tero usahain ya ma" balasnya menenangkan.

"Nah itu kakak dateng" senyum ratna nampak mengembang kala pintu menampilkan wajah tampan dena.

Dena tersenyum hangat "Maaf bun, baru bisa jenguk. Kemaren sempet sibuk banyak tugas" ucapnya sambil menyalami ratna.

"Iya nggak papa kak, bunda juga udah sehat kok" tutur ratna.

Ratna merupakan adik dari ayahnya. Sejak usia 5 tahun, ia sudah dianggap ratna seperti anaknya sendiri karena sang bunda telah meninggal dunia sedangkan dona, kakak perempuannya bersama sang ayah di bandung.

"Nah sekarang udah ada kakak yang nemenin, sana kamu ke rumah bora. Ajakin ke sini kenalin ke mama" sontak dena menoleh pada tero yang dibalas cengiran olehnya.

"Nitip mama ya kak," ucapnya sambil mengedipkan mata, tidak lupa ia mengubah panggilannya pada dena untuk melancarkan aksinya.

Dena mengangkat bahu acuh. Kemudian melanjutkan obrolan ringannya bersama sang bunda.

***

"Loh tero, ngapain malem-malem kesini?" tanya bora sambil melirik kearah jam dinding diruang tamu.

Tadi saat bora sedang menyanyi tidak jelas. Tiba-tiba mamanya mengatakan bahwa ada temannya di bawah. Namun ia tidak menyangka jika si anak baru yang sudah 2 hari ini tidak masuk sekolah yang menjadi tamunya.

Tero berdiri. Ia tersenyum melihat bora yang memakai kaos hitam polos dan celana pendek senada sedang menatapnya bingung. Bahkan bora selalu nampak menawan dimanapun berada batinnya.

"Maaf ya waktu itu gue nggak sempet nganter lo pulang." ungkapnya menyesal.

Bora mengangguk, ia malas mengingat hari itu.

"Kalo sekarang gue ngajakin lo buat dateng kerumah sakit. Apa lo mau?" ucapnya hati-hati.

Ah benar. Mama tero kecelakaan 2 hari lalu. Bagaimana bisa ia malah melupakannya. Bora jadi merasa tidak enak. Ia langsung mengangguk dan segera naik ke kamar mengganti pakaiannya.

Hanya 5 menit dan bora sudah muncul dengan gaya kasual nya. "Ayok ro, gue udah ijin sama mama" ajaknya yang dibalas senyuman oleh tero.

Tero merupakan tipikal orang yang asik. Bahkan saat ini, tero sibuk membahas hal apapun yang dirasa menarik. Tidak ada kecanggungan sekalipun hanya mereka berdua di dalam mobil. Berbeda dengan dena, manusia kaku yang hanya melirik pun mampu membuat seorang bora salah tingkah walau di keramaian sekalipun.

Bora menggelengkan kepalanya, ia tidak boleh membanding-bandingkan orang lain. Sekalipun mereka bersaudara. Fakta mengejutkan yang ia dengar baru-baru ini.

"Udah sampe tuan putri, mau disini aja apa gimana?" ucap tero terkekeh,

Bora langsung tertawa, sebenarnya tidak ada yang lucu. Hanya saja ia merasa aneh sendiri dengan kebiasan melamunnya.

Lalu mereka turun dari mobil sport tero. Melanjutkan obrolan mereka, sesekali tertawa mendengar ocehan unfaedah tero. Hingga sampai di koridor, tubuh bora menegang ketika melihat punggung seseorang yang membelakangi mereka.

Ia begitu mengenali punggung itu, dena. Omong-omong sedang apa orang itu. Kenapa terlihat menyedihkan ketika menumpukan kepalanya pada kursi tunggu. Dena menoleh saat matanya melihat tero. Ia buru-buru menghampirinya.

"Ro" ucapnya pelan seraya memandang tero dengan tatapan yang sulit dimengerti.

Tero terlihat gelisah. Pikiran aneh mulai memasuki kepalanya.

"Kok lo disini na, mama udah tidur? Katanya pengen ketemu bora." ucap tero seperti menahan sesuatu didadanya. Ia paham situasi ini, situasi yang amat ia benci. Situasi yang sama saat ia harus kehilangan ayah dan adiknya sekaligus.

Sedangkan bora yang disebut namanya langsung menoleh ke arah keduanya. Menatap bergantian. Ia masih bingung.

Tes

Satu tetes airmata jatuh, akhirnya bora paham apa yang terjadi saat ini. Ia membekap mulutnya, menangis tertahan walaupun belum sempat mengenal bahkan bertemu mama tero.

"Mama" teriak tero seraya berlari keruangan sang mama. Dena langsung menyusul tero, diikuti bora dibelakangnya.

Tero memeluk jasad mamanya yang telah kaku itu sambil menggoyangkannya. Seolah itu dapat membuatnya kembali membuka mata.

Dena mendekat pada tero "Maafin gue ro, tadi bunda nyuruh gue manggil dokter. Tapi pas balik, bunda udah nggak ada" ucap dena sambil menepuk bahu tero.

Tero mengeleng,

"Enggak na, gue yang salah. Seharusnya gue yang disini nungguin mama. Mama kesakitan na. Gue malah pergi," ucapnya terisak.

Kini giliran bora yang mendekat, ia memeluk tero dan dena dari belakang. Hanya itu yang bisa bora lakukan saat ini. Ia tahu dena sama hancur nya dengan tero. Hanya saja dena terlalu pandai menyembunyikannya. Dena hanya bisa memejamkan mata, merasakan sesak yang sebenarnya telah ia tahan sejak tadi.

*****

Hay-hay, kepanjangan ya?
Maaf aku masih amatiran hehe.

Destiny, MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang