07

2 2 0
                                    

***

Satu persatu para pelayat mulai meninggalkan rumah mewah yang kini nampak sunyi. Walaupun sampai saat ini, tero. Selaku tuan rumah belum juga menampakkan wajahnya. Kerabat dan teman dekatnya masih setia tinggal untuk memberikan support kepadanya.

"Udah mau adzan ashar, kita pulang dulu ya na. Salam buat tero" ucap jefri, selaku ketua kelas tero yang dibalas anggukan oleh dena.

Sejak kepulangannya dari makam, tero memang langsung menuju kamarnya di lantai atas. Entah tidur atau pura-pura. Syukur, semua orang memaklumi sikap tero. Mereka jelas tahu, pasti dirinya amat terpukul ditinggal sang mama.

"Lo nggak pulang?" ucap dena pada gadis yang baru saja duduk disampingnya. Karena yang ia tahu, rombongan teman sekelas nya sudah pulang 10 menit lalu.

Gadis itu menggeleng "Gue udah ijin sama mama, Lagian gue merasa bersalah banget. Tero jadi nggak sempet ngeliat mamanya buat terakhir kali."

"Takdir nggak ada yang tau. Udah jalannya kayak gini. Nggak perlu nyalahin siapapun" ucap dena sambil menghembuskan nafas kasar.

Kini keduanya sama-sama diam dengan pikirannya masing masing. Lalu menoleh saat terdengar suara bising diatas. Sepertinya kamar tero. Setelah saling lempar pandang, bora akhirnya mendahului berlari naik tangga. Sedikit tergesa saat pintu kamar tero sulit dibuka.

"Astagfirullahaladzim tero," teriak bora saat melihat kekacauan yang dibuat tero saat ini. Sedangkan dena hanya menatap datar disamping pintu kamar.

"Istigfar ro, istigfar. Gimana kalo mama lo sekarang liat. Dia pasti bakal sedih banget" ucap bora terisak. Ia begitu iba melihat tero yang nampak kacau, sangat berbeda dari beberapa waktu lalu.

Reflek tero memeluk bora, bora yang sempat kaget kemudian membalas pelukannya. Ia tahu tero memerlukan kekuatan untuk saat ini. Selang beberapa waktu tero mulai tenang, sedikit lega karena akhirnya tero berhenti membanting barang-barang mahalnya.

Sedangkan dena tersenyum simpul, "Bukannya ini yang lo harepin na, kenapa malah lo yang aneh sekarang" gumannya setelah merasakan sedikit perasaan aneh yang menyelusup pada dada kirinya.

"Na, bisa tolong ambilin makan sama obat penurun demam?" ucap bora sambil menyentuh kening tero. Namun dena malah mendekat ke arah kursi. Duduk dan menyilangkan kaki dengan santainya.

"Lo bisa ambil sendiri, biar gue yang jaga tero" balasnya datar.

Bora mengeratkan gigi, astaga bahkan di saat seperti ini dena masih sama menyebalkan seperti biasa. Usai menyumpahi dena didalam hati tentunya, bora segera beranjak dari tempatnya tadi. Disini begitu sesak menurutnya.

Setelah beberapa menit, datang bik surti dengan membawa makan dan obat untuk tero. Sedangkan bora, entahlah mungkin sudah pulang. Dena tidak mau repot memikirkan gadis itu. Ia mulai memejamkan mata, menjemput mimpi yang akan segera datang.

*****

Lisa menatap bora malas, jujur ia tidak ingin bermalam dirumah sudaranya yang super hiperaktif ini. Namun karena kedua orang tuanya pergi keluar kota, mau tidak mau dirinya harus terjebak selama seminggu bersamanya.

"Apa bagusnya sih muka sok-sok ditekuk gitu, bisa ngehasilin duit tah?" ucap lisa sinis.

Namun tidak ada jawaban apapun, membuat lisa kesal sendiri "Oke jangan curhat lagi ke gue" katanya mengibaskan tangan.

Aneh. Itu yang sedang lisa pikirkan saat ini. Mengapa tiba-tiba saudaranya itu berubah menjadi pendiam. Biasanya jika sudah diancam seperti tadi. Bora akan segera mengeluarkan segala kartu untuk menyogok nya sampai lisa mau menarik kembali ucapannya.

"Kalo udah ngantuk, tolong matiin lampunya. Saklarnya deket casan laptop" ucap bora tak bertenaga.

"Itu kaki lo kan deket sama saklar, kenapa nggak lo aja coba" ungkap lisa santai sambil mengunyah permen karet.

Bora memejamkan mata sebentar, sebelum kemudian berucap "Sekali aja kenapa sih lo itu nggak egois. Bantu gue kenapa sekali-kali, apa itu bakal ngebuang waktu berharga lo tah. Gue bahkan cuma minta tolong"

Lisa hampir tersedak. Apakah saudaranya itu sedang pms atau apa. Mengapa sampai separah ini. Bahkan bora me-nangis? Hanya karna masalah sepele pikirnya. Lisa merasa bersalah, tanpa pikir panjang langsung mematikan lampu. Membiarkan bora tetap menangis tergugu sedangkan dirinya menutup mata dan telinganya secara paksa. Ia paling tidak bisa melihat orang lain menangis. Lisa memiliki hati yang lembut walaupun dari luar terlihat kasar tanpa kasih sayang.

"Lo mah kebiasaan ra, masalah pribadi dibawa pulang" komentarnya. Ia bahkan ikut menangis sekarang.

Sebenarnya bora tidak tahu pasti penyebab dirinya menangis. Hanya saja ucapan lisa mengingatkannya pada dena sore tadi. Bora kan baper jadinya. Lagipula apa tadi katanya, memang mau dibawa kemana kalau tidak dibawa pulang. Hehe

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Destiny, MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang