♕Sixteen♕

105 26 13
                                    

16. Semakin Memburuk!
. . .

'Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan!'

***

Nata mengerjapkan matanya perlahan. Sesaat pandangannya sudah normal, dia berusaha untuk mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Nata sedikit berdesis meringis, tubuhnya terasa sangat berat. Nata memegang perutnya yang seperti terbakar.

Tubuhnya saat ini dipenuhi dengan lebam seperti luka pukul, namun lebih menyakitkan. Di daerah baju dibagian perutnya ada robekan yang disebabkan luka tusuk dari pisau. Itu mengapa Nata merasa perutnya terbakar karena luka tusuk yang berada di sana sangat besar.

Nata masih meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. Namun, seketika ia mengingat sesuatu yang sangat penting. Kali ini yang harus dilakukannya adalah menemukan mamanya yang seingatnya telah di bawa paksa oleh sekelompok orang yang katanya adalah polisi.

Tapi, Nata tidak percaya mereka adalah polisi asli. Karena, polisi tidak mungkin akan melakukan hal yang sangat keji sampai harus memukul bahkan menusuknya dengan pisau, pikirnya.

Nata berusaha berdiri sekedar untuk mencari ponselnya yang seingatnya berada di dalam tas sekolahnya. Tapi, karena kaki Nata yang tidak sanggup menopang tubuhnya untuk berdiri, Nata memutuskan untuk merangkak menuju kamarnya.

Setiap gerakan yang dilakukan Nata membuat darah segar mengalir dari luka tusuk diperutnya. Nata melepas bajunya dan menekan perutnya agar darah segar itu berhenti. Nata merasa seakan dirinya akan mati saat itu juga, tapi Nata dengan sekuat tenaga menahan dirinya agar tetap sadar.

Nata masih tetap merangkak menuju kamarnya, bibirnya sudah pucat dan keringat dingin. Saat Nata sudah berada di samping ranjangnya, ia langsung menarik tasnya dan mencari ponselnya diatas kesadaran nya yang mulai menipis.

Dengan tangan yang gemetar, Nata mencoba menghubungi Cici. Namun, tidak ada respon apapun setelah berulang kali ditelepon. Nata tidak putus asa, dia mencoba menelepon salah satu temannya, namun tetap tidak ada yang merespon.

"Shit!"

Napas Nata mulai memburu, keringatnya semakin deras mengucur. Pandangan sudah kabur, Nata sudah banyak mengeluarkan darah.

Nata masih berusaha untuk tetap sadar. "Fokus Nat! Lo harus sadar, harus!" Nata menyemangati dirinya sendiri.

Akhirnya, Nata mencoba menghubungi Divo. Nata mengigit bibirnya sambil berdoa semoga Divo meresponnya.

Nata pun menelepon Divo dengan penuh harapan.

Divo berbaring di balkon rumahnya sambil menatap lurus ke langit, menikmati indahnya langit biru yang hampir berubah oren karena petang akan segera tiba.

Drttt...drtt...drtt...

Divo yang merasa ponselnya bergetar, segera mengusap layar ponselnya.

"Halo."

"..."

Divo menjauhkan ponselnya sebentar, lalu mendekat kembali ke telinganya setelah melihat nama penghubung yang sedang menelponnya.

"Hei, Nat. Ada apa?" Divo langsung memanggil nama si penghubung setelah tau Nata yang menelponnya.

"D-div, tolongin gue.."

Dari seberang sana terdengar suara berat napas Nata. Divo yang merasa ada yang aneh dengan suara Nata langsung terduduk.

"Nat, lo kenapa?" Nada suara Divo berubah khawatir.

"Cepat lo kerumah gue, sebelum gue mati kehabisan darah!"

"Ha? Mati? Apasih lo? Serius gu-"

"Cepetan setan!"

"O-oke! Jangan mati Nat!"

Divo langsung berlari turun ke motornya dan langsung bergegas menuju rumah Nata.

Setelah sepuluh menit kemudian, Divo sampai di depan rumah Nata. Tanpa basa basi, Divo yang melihat pintu rumah Nata yang terbuka langsung masuk begitu saja.

"Nata!" Teriak Divo sambil terus menyusuri setiap ruangan dirumah itu. Setelah melihat semua ruang bawah tidak ada tanda-tanda adanya Nata, langsung berlari ke lantai dua.

"NATA!" Divo langsung berteriak panik saat melihat darah yang mengarah ke kamar Nata. Divo langsung bergegas masuk ke kamar Nata dan betapa terkejutnya dia saat melihat Nata yang penuh dengan darah.

"NATA LO KENAPA?!" Divo memegang baju yang berada di luka tusuk Nata dengan panik.

"Ambulan." Nata mengucapkan kata itu dengan suara seperti berbisik yang terdengar sangat lemah. Divo yang mendengar itu langsung menelpon ambulan sambil tetap menekan baju yang ada di perut Nata.

"Lo harus tetap sadar sampai ambulan datang Nat!" Divo menggoyangkan sedikit bahu Nata.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Cici tampak sedang duduk di halte bus untuk menunggu bus kota yang akan di naikinya sambil menggunakan earphone untuk sekedar mendengarkan musik.

Sesekali Cici menghitung jumlah mobil yang berlalu lalang di jalanan. Tidak banyak yang menunggu bus di halte itu, tidak seperti biasanya. Mungkin karena sudah terlalu sore dan sudah banyak orang yang pulang duluan atau bahkan belum pulang. Terlihat dari halte masih banyak murid yang melakukan kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya.

Cici kembali melirik jam di ponselnya dia lupa memakai jam tangannya.

"Kok lama banget bus nya, udah jam segini juga." Cici menghela napas, "eh, kak Nata nelpon gue?"

Cici membuka notifikasinya dari Nata dan terlihat Nata sudah menghubunginya lima kali. Cici mengernyitkan dahinya.

"Kenapa nih nelpon sampe lima kali?" Tanya Cici pada dirinya sendiri.

Tanpa rasa curiga, ia mematikan kembali ponselnya tanpa memperdulikan panggilan Nata tadi.

*****

ghenardyabby❤

AURORA♕[ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang