5

3 0 0
                                    

Sinta menunggu di bandara dengan perasaan cemas. Pesawat setengah jam lagi akan lepas landas tapi presdir dan rombongan belum datang. Matanya berkali-kali mengitari ruang tunggu bandara, namun belum muncul tanda-tanda Presdir dan rombongan menampakkan batang hidungnya. Gelisah membuatnya duduk berdiri dan berjalan mondar-mandir.

"Sudah lama menunggu?" sapa seseorang dari belakang. 

Dia menoleh terkejut dan mendapati Irwan dengan style dan ketampanannya yang memukau. Kaos navy dengan model turtle neck, bawahnya dibalut dengan celana jeans hitam, mantel bepergian warna hitam yang biasa dia lihat di film-film Hollywood, menambah apik penampilan pria itu. Seperti dikejutkan oleh sengatan listrik, Sinta mendapat kesadarannya kembali. 

"Kenapa lama sekali? Pesawat setengah jam lagi berangkat." celingak celinguk mencari Presdir dan rombongan yang lain."

Kalau begitu tunggu apa lagi? Let's go." Irwan menggandeng Sinta.

"Tapi Presdir dan yang lain belum datang."

"Papaku dan yang lain akan menyusul. Beliau siang ini mau menjenguk sahabatnya yang sedang sakit. Lagipula mamaku yang cerewet juga mau ikut. Selain itu rombongan arsitek juga ada rapat mendadak pagi ini untuk membahas desain bangunan yang sedang mereka kerjakan. Jadi mereka akan terbang sore ini," papar Irwan dengan sangat jelas.

Sinta menghentikan langkahnya. Sontak Irwan pun berhenti dan langsung menoleh ke belakang.

"Ada apa? Kenapa berhenti?"

"Koperku," jawab Sinta pelan.

"Ya ampun, kenapa nggak kamu bawa sekalian?" Irwan menepuk dahinya. 

"Habisnya kamu langsung narik aku, Bagaimana aku mau bawa koperku?"

"Cepetan ambil."

Di pesawat Sinta duduk di dekat jendela. Sedangkan Irwan di sebelahnya. Ini pertama kalinya dia naik pesawat. Harus tetap tenang. Bila terlihat gugup bisa ditertawakan oleh pria yang ada di sampingnya. 

"Sinta."

"Ya?" mengalihkan pandangannya dari jendela.

"Sudah pernah ke Jepang?"

"Belum, ini yang pertama kali."

"Oh." Irwan mengangguk-angguk. "By the way, kamu pernah kerja di mana sebelumnya?" 

"Di perusahaan tambang."

"Bagian?"

"Keuangan."

"Kenapa keluar?" tanya Irwan penasaran. "Itu posisi yang bagus lho."

Sinta menghela napas sedih. "PHK." Ucapnya pelan.

"Oh," Irwan mengangguk mengerti. "Maaf."

Sinta hanya mengangguk kecil. Pesawat lepas landas tepat pukul sepuluh pagi. Bibir Sinta menarik senyuman mengagumi pemandangan indah di bawah sana dari balik jendela pesawat. Telinganya menangkap senandung lagu yang sangat dia hafal. Spontan kepalanya menoleh ke samping kiri, memandang pria di sebelahnya yang sibuk membaca buku bisnis sambil mendengarkan musik. Bibir pria itu menyanyikan lagu jepang yang sangat dikenalnya. 

"Suaramu bagus." Puji Sinta.

Irwan menghentikan gerakan matanya membaca buku. Arah pandangnya berubah pada wanita di sebelahnya. Tersenyum kecil.

"Konayuki, dari dorama One Litre of Tears."

"Kamu suka lagu itu?"

"Iya." Irwan melepas headsetnya. "Apalagi dramanya bikin hati sedih. Berdasarkan kisah nyata." 

"Aku juga suka. Aku selalu dengerin sebelum tidur." Sinta mengulum senyumnya.

Berbekal lagu tersebut mereka akhirnya bisa saling mengakrabkan diri. Saling bertukar cerita tentang lagu, film, dan segala hal yang bisa mereka jadikan bahan cerita. Suasana yang awalnya kaku berubah menjadi cair. Sinta mulai merasa nyaman. Dia tidak lagi sungkan. Ternyata benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

"Bahasa Jepangmu fasih banget. Sudah kayak orang Jepang beneran. Enak banget aku dengarnya."

"Sebenarnya waktu kecil aku tinggal di Jepang. Tepatnya di Tokyo. Aku pernah sekolah di sana saat aku masih SD, tapi saat akan masuk SMP memutuskan pindah ke Indonesia."

"Kenapa pindah?"

"Papa sudah selesai kontrak kerja di Jepang. Tapi waktu aku kelas 2 SMP, papa dan mama balik lagi ke Jepang dan aku mutusin nggak ikut. Aku tinggal sama tanteku, adiknya papa." matanya menatap Sinta dengan seksama. "Kamu sendiri kenapa mau repotrepot belajar bahasa Jepang?"

"Waktu aku kecil, aku suka banget sama kartun-kartun Jepang. Dan aku senang aja lihat huruf-huruf Jepang. Apalagi Kanji. Jadi waktu SMA aku mulai belajar hiragana dan katakana. Setelah lulus SMA aku memutuskan kursus bahasa Jepang. Alhamdulillah karena aku suka jadi cepat nangkap otakku. Padahal kata temanku yang lain, bahasa Jepang tuh susah."

"Iya, banyak yang bilang begitu, tapi semua itu nggak bakal terasa sulit kalau dasarnya kita sudah suka."

"Iya benar, dan aku selalu ingat kalau belajar bahasa asing jangan pernah punya keinginan cepat bisa dan selesai, malahan nggak bakal bisa dan rasanya tambah berat materinya. Nggak masuk-masuk ke otak." Irwan mengangguk-angguk tanda setuju.

Sampai di Jepang, mereka segera menuju villa keluarga Presdir. Sinta memperhatikan keadaan sekitar villa. Begitu bersih, rapi, dan indah. Matanya mengarah pada kebun mawar putih di sudut taman. Dia sangat suka sekali mawar putih. Tanpa pikir panjang lagi berlari menghampiri kebun itu. Diciumnya aroma wangi mawar putih. Terbayang wajah almarhum ayahnya yang sering memberinya mawar putih semasa dia kecil. Dipejamkannya mata dan tanpa ia sadari air mata bergulir di pipi. Dia rindu sekali pada almarhum ayahnya. Masih terngiang dengan jelas mawar putih terakhir pemberian ayahnya, ketika dia kelas 3 SMP.

Dia merasa ada yang menempelkan sesuatu di pipinya. Membuka mata dan gerakan tangan Irwan terhenti. Keduanya saling pandang. Irwan hendak menggerakkan kembali tangannya namun Sinta menghentikannya dengan menyentuh tangan Irwan.

"Maaf." 

Beautiful ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang