3

1 0 0
                                    

Lazy Monday

Ungkapan yang sering muncul bila hari senin tiba dan memulai kembali aktivitas bekerja. Namun dua suku kata itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Dengan langkah yang mantap, Sinta memasuki salah satu gedung perkantoran di kawasan Sudirman.

Hari ini ia memulai training perdananya di PT Persero Sukses
Karya Indonesia Bersatu Group. Dia mengisi posisi penerjemah Bahasa Jepang. Walau tidak sesuai dengan latar pendidikannya, Akuntansi, namun dia sangat bersyukur karena mendapat pekerjaan kembali. Dia memang menguasai Bahasa Jepang dan pernah mengajar untuk level dasar di salah satu lembaga kursus bahasa Jepang selama satu tahun sebelum lulus kuliah.

“Jadi bila Presdir akan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, khususnya ke Jepang, kamu juga harus ikut. Kamu tidak keberatan?” tanya Ibu Irma, wanita berhijab biru langit, yang walau sudah berusia 40-an tetap cantik.

“Sama sekali tidak. Saya justru merasa senang karena dapat membantu pekerjaan Presdir dan mendapat pengalaman baru.”

“Good.” Ibu Irma melihat jam tangannya. “By the way, sudah saatnya makan siang. Nanti kita ketemu jam dua di ruangan ini lagi
untuk membahas hal-hal yang lain.” merapikan berkas-berkas yang
berserakan di meja. “Kalau kamu mau ke kantin, ada di belakang gedung ini. Kalau misal sudah bawa bekal, bisa ke ruang istirahat saja, di ujung lorong sesudah pintu masuk. Soalnya di perusahaan ini ada aturan tidak boleh makan di ruangan kerja,” tambahnya sebelum keluar dari ruangan.

“Terima kasih informasinya, Bu Irma.”

Sinta menuju ke ruang istirahat yang ditunjukkan oleh Ibu Irma. Dia sudah membawa bekal dari rumah untuk menghemat pengeluaran, karena harga makanan di daerah perkantoran pasti lebih mahal. Ketika akan mengeluarkan bekal dari tasnya, pintu ruangan terbuka dan beberapa karyawan senior masuk. Sinta mendongakkan kepalanya dan memberikan sapaan dengan senyuman. Beberapa karyawan senior membalas senyumnya tapi ada juga yang tidak peduli dan langsung memilih duduk.

“Anak baru?” tanya salah satu karyawati senior berambut lurus
sebahu.

“Iya,” jawab Sinta pelan.

“Bagian apa?” tanya yang lain.

“Saya penerjemah khusus Bahasa Jepang.”

“Oh, seneng, tuh, bisa ikut Presdir jalan-jalan ke luar negeri,” timpal salah seorang yang lain.

Kali ini Sinta lebih memilih tersenyum kecil karena tidak tahu
harus menjawab apa.

“Eh, kalian tahu nggak, sih?” Seorang karyawan cewek berbadan agak tambun masuk tiba-tiba ke dalam ruang istirahat. Tiba-tiba ruangan itu menjadi riuh karena bahasan yang
dibawa oleh perempuan tambun itu. Beberapa tergelak, lainnya saling menimpali gosip hangat yang beredar tentang bos mereka.

Percakapan mereka terhenti ketika seorang pria masuk ke ruang istirahat membawa kotak makan dan air minum mineral.

“Oh, Pak Bos, selamat siang.” Budi segera bangkit dari duduknya.

“Selamat siang juga. Sudah makan, Bud?”

“Belum, Bos. Lagi nunggu pesenan dari OB.”

“Tumben Pak makan di sini?” Perempuan tambun itu
memberanikan diri bertanya.

“Iya, lagi malas keluar. Akhir-akhir ini cuaca panas banget. Jadi
bawa bekal dari rumah.” Senyuman si bos membuat Ira – perempuan
tambun itu – tambah salah tingkah hingga menjatuhkan botol minum
Yani.

“Untung ditutup nih botol, kalau nggak bisa tumpah ke mana-
mana.” Seruan Yani mengundang lirikan tajam semua rekan kerjanya.
Yani yang sadar akan kelakuannya segera meminta maaf pada si bos yang dibalas dengan senyuman tidak masalah.

Sinta yang sedari tadi mendengar keributan itu tidak berani mendongakkan kepalanya terlalu tinggi untuk melihat siapa sebenarnya yang dipanggil BOS oleh senior-seniornya.

“Maaf, Mbak, kursi yang ini kosong nggak? Kalau kosong bisa
diambil tasnya?” Suara si bos terdengar jelas di sebelahnya.

Sinta yang terkejut langsung mendongakkan kepalanya. Mereka saling pandang. Serasa waktu berhenti walau hanya beberapa detik. Namun beberapa detik itu sangat berharga baginya karena dapat menatap dengan jelas wajah tampan itu.

“Lho, Mbak di sini?”

Ucapan si bos mengagetkan semua karyawannya. Mulut Sinta
sedikit membuka, tak percaya akan bertemu kembali dengan pria
yang menumpang makan di mejanya di rumah makan Padang.

“Mbak kerja di sini?” tanyanya.

“Iya. Saya karyawan baru.”

“Oh, karyawan baru. Bagian apa?” si bos mulai membuka kotak makannya.

“Penerjemah khusus bahasa Jepang,” jawabnya cepat. Jantungnya masih dag dig dug tidak jelas.

“Bakal sering ikut papa saya pergi-pergi, tuh,” ujar si bos. “Oiya siapa namanya?”

“Saya Sinta.”

“Irwan.” Lelaki itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Sinta. “Mbak tangannya dingin banget, nervous, ya, ketemu sama orang ganteng,” ujarnya narsis. Sinta hanya terdiam lalu melepaskan tangannya cepat-cepat dari tangan Irwan.

“Wah, Bapak narsis, nih,” celetuk Budi.

“Yah, nggak apa-apalah narsis buat diri sendiri, Bud.”.

“Bisa aja, nih, Bapak.” Ira ikut-ikutan ambil suara. “Tapi emang bener ganteng sih,” cengirnya. Irwan tersenyum simpul yang yakin membuat Ira semakin meleleh bagai mentega diletakkan di penggorengan panas.

Walau merasa sedikit tidak nyaman dengan kehadiran Irwan, namun dia berusaha tetap bersikap wajar. Setelah Irwan selesai makan siang dan meninggalkan ruang istirahat, seniornya segera menginterogasi.

“Saya ketemu di rumah makan padang. Waktu itu semua meja penuh dan Pak Irwan ikut gabung makan di meja saya karena masih ada kursi yang bisa ditempati,” jawabnya jujur.

“Menurut kamu gimana si bos?” tanya Yani.

“Saya nggak bisa menilai. Saya baru sehari di sini dan saya juga baru tahu kalau dia bos di sini.” Berusaha tetap tenang walaupun merasa tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi dilontarkan. Dia merasa seperti artis yang sedang diburu wartawan karena kasus skandal yang menghebohkan.

“Si bos itu orangnya welcome sama bawahan. Supel, nyenengin, nggak pelit, yang penting kamu rajin kerjanya. Tapi kamu penerjemah ya, jadi lebih sering interaksi sama Presdir bukan sama bos,” jelas Ira. “Soalnya Pak Irwan itu Direktur Keuangan.”

“Oiya, satu lagi, kamu harus hati-hati kalau ketemu pacarnya si bos. Jangan sampai kamu tebar pesona sama Pak Irwan, bisa dilahap kamu.” Yani menambahkan.

“Duh, jangan bikin gosip lagi.” Budi mengingatkan. “Dia masih
anak baru, nanti malah tambah pusing dengan hal-hal begituan.”

Semua karyawan yang ada di ruang istirahat satu persatu keluar dari ruangan. Tinggal Sinta sendiri duduk dalam diam. Pikirannya dipenuhi semua kata-kata seniornya tentang Irwan.

“Aku di sini kerja untuk dapatin penghasilan bukan mau tebar
pesona sama Pak Irwan,” gerutunya sebal.

Beautiful ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang