Blue

30 10 0
                                    



Tak akan datang untuk kedua kali, cinta yang sama.
-Zeandira Aqilah-






♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤


Rafa berjalan dikoridor sekolah dengan gaya khasnya yang penuh kharismatik. Siswi- siswi kelas X dan XI selalu saja terkesima, dan pastinya terpana akan sikap Rafa ini. Ia melempar senyum pada siswi- siswi yang menyapanya, senyuman yang tipis dan sedikit menggoda mereka. Anehnya, yang digodapun merasa bangga.

Zea berjalan tepat dibelakang Rafa memperhatikannya dengan tatapan dingin yang sulit diartikan. Tiba- tiba Rafa menghentikan langkahnya dan Zea tanpa sengaja menabraknya dari belakang.

"Duh...! Hati- hati dong kalau jalan! Pakai mata!" Lalu Rafa pun menoleh kebelakang. Ia sedikit terlihat menyesali perkataannya.

Zea sedang tidak berminat berurusan dengan Rafa baik hari ini, besok, maupun seterusnya. Ia muak dengan keadaannya yang terlihat tak berdaya sekarang. Ia merasa malu pada dirinya sendiri.

Tanpa menatap kearah Rafa, Zea melanjutkan langkahnya ke kelas.

"Zee, kamu marah?" Rafa bertanya dengan hati- hati.

Langkah Zea terhenti tanpa dikomando oleh pikirannya, ia menoleh sedikit untuk melihat Rafa, menatapnya dengan tatapan kosong, lalu Zea langsung pergi tanpa menjawab pertanyaan Rafa sepatah katapun.

"Zea!" Rafa setengah berteriak.

Secara bersamaan, Rafa merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya sengan tegas. Lalu ia mendengar suara yang tak asing ditelinganya.

"Kamu udah buat dia kecewa Raf, kamu gak akan dapat kesempatan kedua." Faruq menjelaskan.

Rafa menghembuskan nafas berat, selama tiga tahun dicintai oleh Zeandira, ini adalah kali pertama Zea melempar tatapan dingin kepada Rafa.

"Terus, aku harus apa?"

"Eh kampret! Apanya yang harus apa? Ya ikhlasin lah! Katanya ga suka sama Zea. Bener- bener keterlaluan lu Raf!" Faruq merasa kesal.

"Zea... anak yang seperti apa?" Tiba- tiba Rafa bertanya tentang kepribadian Zea.

"Buat apa nanya Zea?"

"Pengen tau. Kamu mau ngasih tau aku kan, Ruq?" Rafa penuh harap.

"Zea anaknya ceria, ramah, cerewet, perhatian, peka. Tapi bagi yang gak kenal Zea, pasti mikir Zea itu sombong, sok cari perhatian, terus kegatelan sama cowok." Faruq berusaha menjelaskan seadanya.

"Mau bantu aku untuk bicara sama Zea ngga?"

"OGAH!" Faruq semakin tidak suka pada sikap Rafa yang dimulut bilang tidak suka pada Zea, tapi sikapnya penasaran.

Faruq adalah salah satu teman Zea yang dari kelas X selalu bisa memahami apapun keadaan Zea.

"Ruq, please lah bantuin aku sekali aja yaa!" Rafa kembali memohon.

"No. Aku gak akan kasih kesempatan buat kucing pencuri untuk deketin sahabat aku! Jelas ya Raf!" Faruq langsung masuk kedalam kelas meninggalkan Rafa di koridor depan kelasnya.

"Eh Ruq! Woi ih!" Rafa mengejar Faruq kedalam kelas.







♡●♡●♡





Zea duduk termenung dikursinya, memandangi papan tulis yang masih kosong. Beberapa teman sekelasnya acuh tak acuh akan kehadiran Zea dikelas. Kini terlintas dipikirannya mengapa ia dulu begitu mengagumi Rafa sampai seperti fans yang fanatik terhadap biasnya. Terlihat bodoh dengan mengemis-ngemis cinta yang tak layak disebut cinta. Menalukan. Semakin ia mengingatnya semakin ingin ia pindah sekolah. Tapi sudah terlambat untuk menyesal, dan juga tidak ada gunanya. Suka tidak suka, Zea harus bertahan disini sampai ujian kelulusan tiba.

"Pagi Zee, how are you?" Vanda masuk kedalam kelas dan langsung duduk disebelah Zea.

Zea tidak menyadari kehadiran Vanda karena asyik dengan lamunannya.

"Zee!" Suara Vanda meninggi.

"Ehh Vanda? Sejak kapan udah duduk?" Zea gelagapan setelah keluar dari lamunannya.

"Barusan aja sih. Kamu lagi ngelamunin apa?"

"Hm? Engga penting kok Van." Zea meyakinkan Vanda dengan kalihaiannya menutupi masalah.

"Terus kok bisa gak sadar aku masuk?" Vanda mengintrogasi.

"Ya.. kan lagi mikirin something." Zea tak minat bercerita tentang Rafa pada sahabatnya itu.

"Yaudah deh, kalau udah niat buat cerita, ingat aku masih mau mendengarkan ya Zee." Kata- kata yang keluar dari mulut Vanda memberikan kenyamanan tersendiri bagi Zea.

"Makasih ya Van." Zea memegang tangan Vanda

Bel pun berbunyi dengan nyaringnya murid- murid yang terlambat terpaksa berdiri diluar pagar sekolah, lalu dihukum membersihkan sekolah.
Ada yang membersihkan toilet, gudang, ruang guru, perpustakaan, dan laboratorium sekolah.

Cindy yang terlambat hanya lima menit mendengus kesal karena tidak diberikan dispensasi oleh guru piket.

"Bu, kan saya cuma telat lima menit! s
Saya mohon dispensasinya." Cindy kembali mengajukan argumennya.

"Peraturan tetap peraturan. Kamu gak bisa seenaknya. Jangankan lima menit, kamu telat semenitpun tetap saya hukum!" Tegas buk Ratna. Guru matematika yang terkenal killer oleh rakyat seantero sekolahan.

"Tapi tetep loh bu, biasanya saya telat dua puluh menit masih dikasi masuk kok." Cindy masih mengotot juga.

"Nah berarti kamu memang sering terlambat! Kalau biasanya diizinkan masuk, hari ini kamu masuk kelas habis jam istirahat!" Langkah bu Ratna pun menjauh dari Cindy dan mengontrol siswa- siswi yang terlambat pagi itu.

"Wah parah bu Ratna! Masa iya sih enggak ada dispensasi." Cindy yang tidak terima bahwa ia dihukum oleh bu Ratna mengomel hingga ia selesai menyapu daun yang berguguran di halaman depan sekolah.

"Eh Cin, telat lagi?" Tanya Vanda yang kebetulan berjalan ke ruangan Tata Usaha sekolah yang terletak di halaman depan sekolah.

"Iya nih, padahal cuma terlambat lima menit loh! Tapi sayangnya enggak dikasih dispensasi sama bu Ratna!" Cindy melengkingkan suaranya.

"Hush! Jaga bicaramu! Jalani aja. Jangan cari masalah sama guru. Gak baik!" Vanda menenangkan sahabatnya.

"Bay the way, biasa ada Zea, mana tu anak?"

"Lagi moody. Biasalah. Lagi mikirin jati diri yang hilang. Udah deh ya, aku mau ambil in focus dulu nih!" Vanda menyegerakan langkahnya memasuki ruangan Tata Usaha.

Empat jam pelajaran usai sudah. Tapi tak satupun masuk di kepala Zea. Cindy yang telah selesai menjalani hukuman pun masuk kedalam kelas.

"Ih sumpah! Aku capek banget!" Cindy mendengus kesal sambil mengelap keringat yang bercucuran di dahinya.

"Hahaha udah tau capek tapi masih juga terlambat!" Vanda sedikit mengejek Cindy.

"Ya taulah Van, kan aku isi minyak sepeda motor dulu tadi, terlambat cuma lima menit doang, dihukum empat jam pelajaran!" Cindy menaruh tasnya dimeja yang terletak dibelakang kursi Zea yang tepat berada didepannya.

"Tapi sekarang udah beres kan?" Tanya Vanda lagi.

"Udah dong!" Mata Cindy langsung beralih kearah Zea yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Zee, kamu mikirin apa?" Cindy bertanya dengan hati- hati.

"Gak ada kok,Cin. I'm okey." Tapi tak raut wajah Zea sama sekali tak mencerminkan bahwa ia baik- baik saja. Alhasil, kedua sahabatnya pun hanya bisa terdiam, menunggu Zea membuka hati dan membuka suara untuk menceritakan masalahnya.

AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang