Pengikat tak kasat mata

59 9 4
                                    

Happy reading yaaaa readers-ku😘



♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤


         Suasana didalam ruangan pelatihan pun mulai ramai karena banyak siswa- siswi dari sekolah lain yang sudah hadir. Mereka berbincang- bincang sejenak sembari menunggu pemateri dari Balai Bahasa  hadir di tempat.

Zeandira, Fachrel, Putri, Arif, dan Raja mengobrol santai. Sesekali Putri, Arif, dan Raja tertawa karena reaksi Zea yang super imut ketika kesal karena kalah berdebat dengan Fachrel. Fachrel pun tidak pernah mau mengalah sedikitpun meski Zea adalah perempuan.

"Udah badannya besar, mulutnya besar pula," cibir Zea kesal sembari memonyongkan bibirnya kedepan.

"Gak apa- apa dong, kan yang penting tinggi." Jawabnya mengejek Zea yang tingginya setengah badannya. Matanya menelisik Zea dari bawah hingga ke atas, lalu pandangan matanya tepat mengenai manik kecoklatan Zea dengan senyum yang meremehkan. Dan sikap yang seperti itu sukses besar dalam memancing emosi seorang Zeandira.

"Issh, buat badmood aja!" Zea menarik kursinya dan menjauhi Fachrel yang tertawa jahil karena berhasil membuat Zea kesal setengah mati.

Pemateri pun memasuki ruangan dan mengisi acara perkenalan 'Apa itu Sastra?'. Para peserta memperhatikannya dengan seksama, lalu pemateri pun membagi 50 peserta menjadi 10 kelompok. Satu kelompok terdapat 5 orang siswa.

Zea, Fachrel, Putri, berada satu kelompok bersama dua orang dari sekolah lainnya.

"Wah aku ketiban sial lagi nih!" Zea merasa jengkel karena satu kelompok sama Fachrel.

"Wahahaha itu sih derita lo!" Fachrel menanggapinya dengan mengejek Zea sehingga membuat kekesalan Zea tersulut- sulut.

Zea pun menendang kaki Fachrel sekuat yang ia bisa. Sekali, ekspresi Fachrel tersenyum tipis. Dua kali, Fachrel sedikit terkekeh. Tiga kali, tawa Fachrel pun meledak.

"Woi! Apa sih sok kuat! Bukan anggota Tae Kwon Do kan?!" Kali ini Zea asal bicara

"Ih Zea, Fachrel ini memang anggota Tae Kwon Do loh, satu tingkat lagi udah sabuk hitam." Jelas Putri.

"Hah? Wajah kayak dia? Sungguh tak meyakinkan." Sergah Zea tak percaya.

"Jangan menilai orang dari cassingnya aja." Fachrel angkat suara.

"Kok aku makin kesel ya Rel?!" Wajah Zea memerah seketika.

"Kok tanya sama aku ya? Hubungannya apa?" Balas Fachrel. Ia semakin suka membuat Zea kesal tanpa spasi.

Perhatian seluruh peserta pun teralihkan kepada pemateri yang menyampaikan banyak sekali ilmu. Para peserta yang telah dibagi menjadi lima kelompok diarahkan untuk bekerja sama mencari tahu siapakah tokoh sastrawan Indonesia yang telah menciptakan berbagai karya dan telah diakui oleh dunia.

Putri dan Zea pun mulai sibuk memikirkan siapa tokoh sastrawan tersebut. Hampir setengah jam mereka berpikir tapi tetap saja hasilnya nihil.

"Dasar lola'." Kata- kata Fachrel kembali membuat Zea kesal.

"Jangan menghakimi doang bisanya! Bantu mikir juga dong ahh!"

"Udah dong Zee, segitu doang keselnya setengah mati sama Fachrel." Sergah Putri sambil menahan tawa.

"Jadi sastrawan pertama adalah Andrea Hirata, yang telah menulis novel berjudul Laskar Pelangi yang sampai diterjemahkan kedalam berbagai bahasa asing. Kedua, Pramoedya Ananta Toer yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya yang diakui dunia. Ketiga, Chairil Anwar yang terkenal karena puisinya yang berjudul Aku. Keempat, Taufiq Ismail yang di setiap puisinya banyak kata- kata yang menyentuh hati. Dan kelima, Ahmad Tohari yang menulis novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruh." Jelas Fachrel panjang lebar dan menyunggingkan senyuman sombong kearah Zea.

Zea menyipitkan kedua matanya, memperhatikan Fachrel dengan seksama.

"Yang barusan kamu bilang itu murni pikiran kamu atau googling?" Tanya Zea mengintrogasi.

"Murni lah huuu." Fachrel berdalih.

"Itu ditangan apa? HP kan?! Ahh kamu curang!" Zea memancing reaksi Fachrel untuk berkata jujur. Bukannya jujur, Fachrel malah memutar balik fakta yang ada sehingga membuat dirinya terlihat pintar.

"Ini memang HP. Teknologi kan udah canggih tuh, pembelajaran juga udah semakin mudah, apa salahnya untuk googling soal pelajaran?" Fachrel menggidikkan bahunya acuh.

"Tetep aja bukan dari kepintaran kamu!" Zea terus berkelit.

"Jadi kan aku tadi membaca, lalu mengulanginya sesuai yang aku baca tanpa melihat HP lagi. Berarti itu dari keahlian aku dalam mengingat dong! Coba kamu pikir deh, Zea?" Fachrel menjelaskan dengan tenang tapi Zea tetap merasa kesal.

"Mulut besar!" Dua kata yang membuat Fachrel menggulum senyumnya. Fachrel merasa puas karena berhasil membuat Zea mati kutu dan kesal sejadi- jadinya.




♡●♡●♡





Tiga hari pun sudah berlalu, dan hari ini adalah hari perpisahan bagi peserta Bengkel Sastra dan tiga pemateri yang luar biasa. Selama tiga hari pula Fachrel membuat Zea mengeluarkan ekspresi imut yang membuat orang- orang disekitarnya tertawa.


Awalnya ketika bu Asri menyuruh Zea untuk ikut pelatihan Sastra ini Zea merasa sial sesial sialnya, tapi pada kenyataannya, ia bertemu dengan banyak teman dari sekolah lain, berbagi ilmu dan menimba wawasan, serta menjalin kerja sama dan saling bertukar informasi seputar sekolah.

Tiga hari yang menyenangkan dan sekaligus menjengkelkan dalam pikiran Zea. Mengapa ia harus bertemu orang menyebalkan seperti Fachrel? Tapi satu sisi, pertemuannya dengan Fachrel membuatnya sedikit lebih dewasa, karena sikap Fachrel tanpa sadar memukul sisi egois Zea yang hanya ingin didengarkan tanpa mau tahu orang- orang disekitarnya nyaman atau tidak.

Dalam hati Zea sangat senang karena hal yang dipikirnya sangat membuatnya sial malah dalam kenyataannya membuatnya belajar untuk bersikap sedikit lebih dewasa.

Pemateri pun mempersilahkan para peserta untuk memainkan musik dan bernyanyi di hari perpisahan ini.

"Awas. Jangan sampai kangen ya sama aku." Fachrel melirik Zea yang sedang fokus memperhatikan peserta lainnya.

Zea pun tersentak dan menjawab dengan sombongnya. "Sorry yaa, itu adalah satu hal yang mustahil."

"Let's see." Nada bicara Fachrel dilontarkan seakan ia sudah yakin bahwa besok Zea akan merindukannya.

"Najis bang!" Zea menjulurkan lidahnya dan menarik kelopak mata bawahnya khusus untuk mengejek Fachrel.

Penampilan para peserta pun sudah usai. Dan waktu telah menunjukkan pukul 17.15 WIB, sedangkan diluar awan telah bersiap mengeluarkan airnya ke permukaan bumi. Para pemateri mempersilahkan para peserta keluar ruangan satu persatu untuk membagikan uang saku dan sertifikat.

Di perjalanan keluar area sekolah, Fachrel kembali mengingatkan Zea apa yang sudah dikatakannya. Dan Zea memukul pundak Fachrel, dan mengharapkan ia merasa kesakitan, tapi ironisnya pukulan itu sama sekali tak berasa dipundak Fachrel.

"Sakit ngga? Sakit ngga hah?!"

"Hahaha pukulan yang begitu, mukul nyamuk juga nyamuknnya engak akan mati!" Fachrel terkekeh sepanjang jalan. Meninggalkan Zea yang lagi- lagi kesal dibelakangnya.

Sejurus, hujanpun turun dengan derasnya, membasahi insan yang berada langsung dibawah atap langit, bagi sebagian orang, turunnya hujan membuat berbagai memori ingatan dimasa lalu kembali kedalam batin tanpa bernegosiasi. Tapi Zeandira Aqilah, berharap hujan sore ini membawa memori selama tiga hari saat pelatihan Bengkel Sastra dan saat- saat berdebat dengan Fachrel ikut terserap tanah.



♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤

Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya sobat sekalian... 🤗

AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang