Enam

4.3K 627 91
                                    


"Sini, appa, peluk."

Seokjin mendekatkan dirinya ke sang ayah, membiarkan tubuhnya di peluk.

"Maafkan appa, appa kembali memukulmu. Kau tau karena apa?"

Seokjin yang masih di peluk nenjawab, "karena Seokjin nakal. Seokjin tidak mau mengalah ke Jisoo jadinya Jisoo jatuh karena berlari mengejar Seokjin yang membawa sepeda."

Masih memeluk Seokjin, ayahnya bertanya lagi, "sudah melihat luka Jisoo?"

Seokjin mengangguk, "sudah, lututnya berdarah banyak dan kepalanya berdarah sedikit." Seokjin menunduk merasa bersalah.

"Nak, kita tidak boleh terlalu berkeras hati. Belajarlah mengalah. Mengalah tidak buruk kok, nak. Mengalah bukan berarti kita lemah. Kalau Seokjin mengalah nanti ada saatnya Seokjin bisa mengambil kembali. Mengerti, nak?"

Seokjin kembali mengangguk. Sang ayah melonggarkan pelukannya menatap wajah Seokjin yang sudah penuh dengan luka. Sang ayah menamparnya terlalu keras hingga membuat pipi Seokjin memiliki lebam dan sudut bibirnya berdarah. "Sini appa obati." Sang ayah menggandeng tangan Seokjin. "Appa melakukan ini karena appa mencintaimu. Appa ingin kau berubah menjadi lebih baik."

Seokjin hanya mengangguk. Dia memahami ini semua. Tingkah ayahnya semata ingin membuatnya menjadi orang baik. Jadi dia memaklumi.



Pola asuh orang tua menentukan bagaimana kepribadian anak terbentuk. Salah satunya ayah Seokjin yang menerapkan kalau ada salah maka sang anak di pukul lalu setelahnya dimanja. Maka anak akan menyerap semua pola orang tua, cara memberi pengertian orang tua terhadap anaknya. Sang anak akan selalu beranggapan kalau salah harus di pukul. Itulah yang menciptakan bibit masokis dalam dirinya.

.

.

Mari kita mulai cerita ini dengan pembukaan dengan istilah klasik;

Penyesalan selalu datang di akhir.

Well, inilah yang tengah dirasakan Namjoon.

Selepas Seokjin pergi, Namjoon masih belum beranjak dari posisinya. Bagai kilas balik sebuah film, potongan tiap adegan berjalan mundur mengingatkan dia akan sosok Seokjin.

Seokjin itu cerewet. Saking cerewetnya dia bahkan kesal dan menyuruhnya diam. Kalau tau akan seperti ini dia pasti akan membiarkan Seokjin ngomong tanpa henti dan dia janji tidak akan marah asalkan Seokjin kembali.

Seokjin itu kadang lemot. Saking lemotnya Namjoon yang tipikal orang tanggap kesal dengan kelemotan dia. Kalau tau akan seperti ini dia pasti akan mengajari Seokjin agar tidak terlalu lemot dengan sabar asalkan Seokjin kembali.

Selain itu banyak hal yang Namjoon suka dari Seokjin; dia sederhana padahal Namjoon sudah menyediakan banyak fasilitas dan uang untuk Seokjin.

Seokjin itu peduli. Seokjin selalu berbuat apapun untuk Namjoon agar Namjoon nyaman dengannya. Entah itu belajar memasak sampai tangannya luka teriris pisau, merajut untuk membuat syal sampai tangannya luka tertusuk jarum dan lain sebagainya. Seokjin pernah bilang dia melakukan ini semua agar Namjoon tidak pergi darinya karena hanya Namjoon yang dia punya.

Namjoon menunduk, meremas ponsel Seokjin yang masih berada ditangannya saat mengingat alasan Seokjin melakukan itu semua deminya.

Dia ingat ayah Seokjin sudah pergi meninggalkan Seokjin selama-lamanya. Saat itu Namjoon masih menjadi kekasih Seokjin pun mengajak Seokjin ke kota untuk tinggal dengannya diapartement mereka. Saat itu tidak ada pilihan lain selain mengikuti Namjoon karena memang Seokjin tidak punya siapapun.

TempramentalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang