Sepuluh

7.7K 633 236
                                    



Waktu akan terus berjalan mengiringi kehidupan. Waktu tidak akan berhenti untuk menunggumu yang tengah istirahat dengan kerasnya kehidupan. Namun kahidupan akan terhenti kala waktu juga berhenti. Karena itu Seokjin tau saat waktu terus berjalan dan dia terus mengasihani kehidupannya maka dia akan rugi. Perlahan, Seokjin mulai bangkit.

Seokjin dibawa ibunya ke Paris dan di sanalah dia menjalani pengobatan oleh salah satu dokter jiwa terbaik di sana. Yoongi juga sesekali menjadi teman bercerita yang baik dan ikut membantu kesembuhan Seokjin. Ya, mereka menjadi teman akrab apalagi Yoongi kembali ke Paris.

Sekarang Jisoo akan mengantar Seokjin untuk bertemu dengan Yoongi. Kakaknya ini bilang hari ini dia hendak menghabiskan waktu berdua dengan temannya. Jisoo jelas tau siapa teman yang dimaksud Seokjin di sini karena memang hanya Yoongi saja teman Seokjin.

"Kau ada masalah?" Tanya Jisoo.

Seokjin duduk di sebelah Jisoo yang tengah menyetir menggeleng. "Tidak."

Mata Jisoo menyipit curiga. "Ada masalah dengan Namjoon oppa?"

Seokjin menghela nafas. "Sudah aku bilang, aku tidak ada masalah. Aku bertemu dengan Yoongi karena memang ingin bertemu bukan karena aku ada masalah. Kau ini kenapa tidak percaya sekali, sih?"

Jisoo mengedikan bahu tanpa mengalihkan fokusnya ke jalan. "Kau selalu diam saat ada masalah dan aku selalu tau belakangan saat kau ada masalah. Aku jadi kesal. Ah," dia melirik Seokjin. "Apa kau enggan cerita kepadaku karena Namjoon pernah aku ambil? Kau masih marah?"

Mata Seokjin membesar, "tentu saja tidak!" Seokjin memiringkan badannya, "dengar ya, adikku. Masalah itu aku juga salah. Dan sudahlah itu kejadian satu tahun yang lalu dan kau masih membahasnya? Basi sekali."

Jisoo tertawa kakaknya masih sensitif dengan pembahasan ini. "Padahal aku mendukung oppa bersama Yoongi oppa. Kalian cocok." Mobil itu berhenti di lampu merah.

"Dan Namjoon bersamamu?"

Jisoo mengangguk. "Yap, pintar sekali!"

"Silahkan ambil." Seokjin langsung memalingkan wajahnya ke jendela di sampingnya.

Jisoo terbahak.

"Diam, Jisoo! Liat rambu lalu lintasnya mau hijau."

"Oh, astaga oppa, kau lucu." Jisoo menyeka sudut air matanya yang hendak menetes karena terlalu terbahak, mengatur nafasnya sebelum berucap. "Tenang aku tidak akan mengambil Namjoon oppa." Jisoo mengibaskan tangannya. "Namjoon oppa tidak suka padaku. Dia sukanya padamu."

Seokjin diam-diam tersenyum; tentu saja dia tau itu. Rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Mobil mini cooper itu pun melaju.

"Kau tau oppa, Namjoon oppa benar-benar mencintaimu. Dia berusaha keras agar pernikahan kemarin tidak berlangsung. Dia memohon ke ibu dan tentu saja disetujui ibu dan memohon padaku dan tentu juga aku setuju. Tapi kendalanya ada pada ibunya. Ibunya selalu menolak dengan alasan keluarga besar Namjoon pasti menolak. Kau pasti marah dengan ibunya Namjoon oppa, bukan?"

Seokjin menggeleng sebagai jawaban membuat kerutan bingung di dahi Jisoo. "Tidak."

"Pembohong yang buruk."

Seokjin tersenyum kecil. "Oke, aku menggaku marah tapi sedikit? Ya, sedikit karena aku tau orang seperti ibu Namjoon sama sepertiku. Orang sepertiku ini tidak mau mengambil resiko, enggan mengambil keputusan. Dan terlalu takut diserang. Aku mengerti perasaan ibunya karena aku sama dengannya."

Jisoo terdiam. Dia menyadari ucapan Seokjin ada benarnya. Kakaknya ini terkesan suka mengalah dan benci saat diharuskan mengambil keputusan.

"Dan aku juga terima kasih padamu dan eomma." Ujar Seokjin.

TempramentalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang