Konon, ada dua jenis mahasiswa yang sering diistilahkan dengan jenis hewan. Satunya kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) yang menggambarkan mahasiswa apatis, yang tidak punya kegiatan lain di kampus, selain kuliah. Dan satunya kura-kura (kuliah-rapat-kuliah rapat), tipikal mahasiswa aktivis yang memiliki begitu banyak kegiatan.
Dalam satu hari, mahasiswa kura-kura bisa saja menghadiri dua atau lebih jenis rapat atau 'kumpul' organisasi yang berbeda.
Aku? Sejauh ini, aku cuma mengikuti satu rapat—setidaknya—dalam satu hari. Semenjak bergabung dengan BEM, rasanya apartemen benar-benar tidak lebih dari tempat istirahat. Belum lagi ketika hari minggu, aku masih harus mengikuti latihan karate.
Belakangan, aku merasa kalau kesehatanku sedikit menurun. Kepalaku mudah sekali terasa pusing dan badanku seringkali terasa begitu lemas. Intensitas kegiatanku memang sedang tinggi-tingginya, mengingat aku juga akan mewakili kampus dalam olimpiade mahasiswa di cabor karate.
"Azura, kamu nggak apa-apa? Pucet banget gitu," sapa Nabila saat selesai kelas, sambil berjalan menuju gedung sebelah.
"Nggak apa-apa kok, aku cuma agak pusing sedikit kok." Aku tersenyum. Aku menyipitkan mata seraya meletakkan tangan diantara dua alis untuk memayungiku, dari kejauhan aku melihat Arka menghampiri kami.
Aku melihat ia mendekat, sampai sedetik kemudian, semuanya terasa gelap.
Aku terbangun beberapa jam kemudian. Di ruangan putih dengan tirai warna toska. Mataku berat dan tanganku terasa sedikit sakit. Aku mengerjap pelan beberapa kali, hingga menyadari kalau ruangan itu adalah ruangan rumah sakit.
Nabila dan Arka menghampiriku. Aku mencoba untuk tersenyum. Nabila begitu sigap mengambilkan minum untukku dan Arka menaikkan tinggi kasurku. Tanpa diminta, Nabila langsung menjelaskan kronologi kejadian, mengapa aku bisa berada di rumah sakit ini.
"Kamu tadi pingsan pas Arka nyamperin kita. Untung Arka sigap banget langsung nangkap kamu tadi," jelas Nabila sambil menyodorkan minuman padaku.
Bukannya berterima kasih, aku malah khawatir kalau nyusahin dia.
"Ka, aku berat, ya?" tanyaku pelan. Nabila yang harusnya memegangi gelas dengan benar, dia malah menumpahkannya ke bajuku.
"Hei!" seruku kesal. Bajuku jadi basah. Aku bingung gimana melepasnya. Mana yang kupakai kaus. Aku membayangkan harus repot dengan infus untuk ganti baju.
Nabila langsung repot membersihkan air yang tumpah di bajuku. Percuma, aku harus ganti baju.
Tanpa kuminta, Arka sudah memutuskan untuk menunggu di luar ruangan. Nabila pun langsung sigap membantuku untuk berganti pakaian.
"Maaf Azura, aku nggak sengaja. Ya gimana ya, kamu bukannya terima kasih, malah nanyain kamu berat atau nggak. Kan aku reflek tertawa jadinya." Nabila merengut sambil pelan-pelan membantuku mengganti baju.
Butuh lima menit untuk mengganti baju. Tanganku yang diinfus terasa sakit. Ketika kusadari, jarum infusnya sudah bengkok dan aliran infus berhenti. Darah mulai naik keatas infusku. Aku panik. Nabila langsung memanggil perawat melalui tombol bantuan di sisi tempat tidurku.
Seorang perawat datang membuka pintu dan menanyakan apa yang terjadi. Nabila menjelaskan apa yang terjadi dengan begitu tenang. Sementara aku masih ketakutan melihat darahku yang semakin naik. Perawat itu pergi dan kembali beberapa saat kemudian.
Arka juga ikut masuk ketika perawat itu datang kembali dengan seperangkat jarum infus baru.
Mau tidak mau, jarum infusku harus dipindah. Kalian pasti tahu bagaimana rasanya harus mengulang prosesi pemasangan jarum infus itu.
Perawat memintaku menarik napas dalam-dalam saat ia memasukkan jarum infus ke tanganku. Mataku terpejam dan dahiku mengernyit begitu jarumnya masuk ke dalam nadiku. Beberapa detik kemudian, perawat itu mengatakan sudah.
Secepat itu?
Aku memang belum pernah diinfus sama sekali. Membayangkan sebuah selang mengalirkan cairan ke dalam tubuh itu mengerikan. Dan sekarang, aku tahu rasanya. Kata perawat tadi, aku perlu infus ini karena aku dehidrasi parah.
Keesokan harinya, dokter yang visit pagi menegurku karena makanku cuma sedikit. Aku benar-benar nggak nafsu makan. Apalagi makan makanan rumah sakit yang rasanya jelas-jelas hambar. Dokter tahu kalau makanku lagi benar-benar sesuka hati dan nggak teratur sama sekali.
"Tubuh itu nggak boleh diforsir. Kalau waktunya makan, ya makan. Waktunya istirahat, ya istirahat." Dokter tampan bermata coklat itu mengomeliku sambil melepaskan stetoskop dari telinganya.
"Kalau makanmu benar, besok kamu boleh pulang. Kamu bukan cuma dehidrasi Azura, kamu juga kena gejala maag akut. Kemarin-kemarin kamu sering nggak enak perut, kan? Kata temanmu nafsu makan kamu juga kurang. Kamu sering banget telat makan." Dokter lebih-lebih lagi dalam menceramahiku. Terlebih ketika Nabila membenarkan setiap kata yang dokter muda itu ucapkan.
Aku mencoba makan sebanyak yang aku mampu. Sehambar apapun rasanya makanan rumah sakit, aku harus habiskan. Setidaknya, biar besok aku bisa segera pulang dan makan makanan yang punya cita rasa lebih enak.
Aku berhasil. Aku diizinkan pulang dengan syarat menjaga pola makanku. Kalau sudah begini, Nabila sudah jadi teman paling berisik urusan makan.
Beberapa hari berselang setelah keluar dari rumah sakit, Nabila langsung menyeretku ke kantin begitu kuliah selesai. Ia benar-benar nggak membiarkan aku telat makan sedikitpun. Bahkan pernah ketika rapat divisi malam hari, saat jam tujuh malam aku belum makan, Nabila masuk ruangan rapat dan langsung bilang dengan kencang kalau sudah waktunya aku makan.
Bisa kalian bayangkan bagaimana malunya?
Arka pun sama protektifnya dengan Nabila. Yang biasanya kami hanya bertemu sekali secara kebetulan saat jam makan siang, belakangan ini, Arka sering ikut makan siang bersamaku dan Nabila.
Setelah aku pulih, ternyata kegiatanku semakin banyak. Harus rapat kabinet, rapat divisi, belum lagi harus survey tempat untuk kegiatan pengmas (Pengabdian Masyarakat). Frekuensinya pun cukup sering. Setidaknya dalam satu bulan, aku bisa tiga kali melakukan survey.
Tapi, aku senang. Sama sekali nggak pernah terpikirkan olehku, kalau aku bakalan punya banyak teman seperti sekarang ini. Pun nggak pernah terpikirkan, aku akan bisa seterbuka ini sama orang lain.
Selain itu, aku juga nggak nyangka kalau bisa kenal sama seorang senior yang katanya favorit di sini. Iya, laki-laki dengan kisaran tinggi 180cm dan lesung pipi itu benar-benar cowok idola di kampus. Belum lagi kalau dia senyum, bawaannya, orang jadi pengin ikut senyum.
Aku memang belum begitu kenal dengannya. Cuma beberapa kali pas rapat kabinet, aku lihat dia. Aku tahu, sih namanya. Cuma, aku belum berani untuk menyapanya duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang berlalu di matamu
General FictionAzura mengalami labelling parah sejak ia masih di sekolah dasar. Kala itu, ia menghajar seorang anak laki-laki yang mempermalukannya di sekolah. Sejak saat itu, labelling "gadis liar" melekat pada dirinya bahkan hingga SMA. Sayangnya, orang-orang ha...