Jatuh Hati Tak Pernah Mudah

1 0 0
                                    

Ada kalanya, semesta berjalan dengan caranya untuk memenuhi harap-harap yang terbersit dalam hati kita. Termasuk apa yang terjadi beberapa hari ke belakang. Semenjak pertemuan dengan kak Bagas di kantin tempo hari, intensitas pertemuan kami jadi semakin sering. Bisa dikatakan aku pun senang, dan berjumpa dengannya adalah salah satu harap yang kerap kali terbersit saat pagi datang.

Entah berpapasan di kantin, atau di perjalanan menuju gedung lain, kampus yang luas ini jadi terasa begitu sempit. Ibarat 4L (Lo Lagi, Lo Lagi) setiap kali aku berjumpa dengannya.

Tidak, aku tidak bosan sedikitpun. Hanya merasa lucu saja, kalau ternyata dunia bisa sesempit ini.

Selain berpapasan, aku juga punya kesempatan berinteraksi lebih banyak dengannya. Intensitas rapat BEM yang semakin sering, membuka jalan lebar bagiku untuk lebih mengenalnya. Tidak jarang kuperhatikan bagaimana raut wajahnya ketika sedang kebingungan, sedang menahan marah, bahkan saat dia sedang konyol-konyolnya. Semua pengalaman itu terasa indah buatku.

Kak Bagas adalah orang yang supel dan sangat senang membantu orang lain. Terakhir kali kudengar cerita, salah seorang senior lain kehabisan bensin di jalan. Begitu mendapatkan posisi temannya itu, ia langsung bergegas menolongnya. Termasuk kemarin, saat aku kesulitan ketika hendak membuka pintu sambil membawa file, dia memilih mengambil file yang kubawa serta memintaku membukakan pintu ruang BEM.

Selain itu, kak Bagas juga kerapkali membantuku ketika aku kesulitan untuk membuat dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kegiatan divisiku.

Kalau dipikir-pikir, wajar ya kalau kak Bagas disukai banyak orang. Sifatnya yang supel dan mudah bergaul memang seperti idaman semua orang. Belum lagi senyumnya yang selalu terlihat lepas itu.

Entah kenapa, kali ini pun aku tidak kesulitan untuk berteman dengannya. Aku mulai berani bertanya beberapa hal, terkait keorganisasian kepadanya. Dan kak Bagas pun menjelaskan satu per satu dengan sabar. Aku jadi tidak canggung lagi setiap harus berbincang dengannya. Rasanya, semua seperti mengalir begitu saja.

Suatu kali, aku harus datang ke sebuah desa untuk menyerahkan proposal pengmas (pengabdian masyarakat). Rencananya, kami akan mengadakan sebuah kegiatan semacam bimbingan belajar untuk anak-anak desa itu yang masih duduk di bangku SD. Nahas bagiku, tidak ada seorangpun yang bisa mengantarku. Bahkan Nabila pun, memiliki agenda tersendiri yang membuatku mau tidak mau pergi sendiri.

Tepat setelah aku memutuskan untuk pergi sendiri, kak Bagas datang menawarkan bantuan untuk mengantarku. Aku menerimanya. Mengingat aku masih belum terlalu lancar kalau harus menjelaskan kegiatan ini. Bisa-bisa, kami sudah ditolak duluan.

Kami pergi menggunakan motor. Aku dibonceng kak Bagas menggunakan helm pinjaman dari ruang BEM. Pokoknya, barang apapun yang ada di ruangan itu, kalau tidak ada yang pakai, ya pakai saja. Dengan syarat melapor ke grup chat.

Jarak desa yang cukup jauh, membuat punggungku sakit. Ditambah jalanan desanya pun masih tanah berbatu yang sedikit becek. Kak Bagas berkali-kali memperingatkan aku untuk berhati-hati agar kakiku tidak terpeleset dan jatuh ke dalam kubangan.

Sekitar sepuluh menit berjalan di jalanan berbatu dan becek tersebut, kami sampai di desa yang kami maksud. Sebuah desa dekat kaki gunung yang masih begitu asri. Udaranya begitu sejuk, beda jauh dengan udara kampus kami yang mulai tercemar, saking banyaknya mahasiswa yang membawa kendaraan bermotor.

Kami langsung menuju ruangan kepala desa karena sudah ditunggu. Seorang bapak-bapak berusia sekitar empat puluh tahunan dengan kumis ala pak raden dan perut buncit, lengkap dengan seragam aparatur negara menyambut kami. Kami langsung dipersilahkan duduk di sebuah sofa tamu yang ada di tengah ruangannya. Kepala Desa itu bernama Pak Jajang. Beliau menanyakan keperluan kami dengan lugas dan santai.

Yang berlalu di matamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang