"Pada suatu hari ...." Arka terdiam lama sebelum melanjutkan ceritanya.
"Aku ...," sambungnya sambil menyeringai.
Nabila melemparkan bantal kursi ke arah Arka dilanjutkan dengan gelak tawanya.
"Kenapa, sih? Kalian kepo banget sama kehidupan aku? Udah sih kalian aja yang saling curhat, aku jadi pendengar kalian aja. Kayak cowok apaan aja aku, kalau curhat ke kalian," cibir Arka. Ia mengembalikan bantal ke Nabila.
"Yee, emang apa masalahnya kalau cowok curhat? Memangnya kejantanan laki-laki berkurang kalau dia curhat ke temennya?" sindir Nabila. Arka cuma tersenyum tanpa menanggapi sindirannya.
"Jadi gimana, jangan mengalihkan pembicaraan terus deh," seruku mengembalikan obrolan ke jalur yang seharusnya.
"Aku bingung mau cerita apa, kalian tanya aja deh, aku jawab. Biar kayak wawancara gitu," usul Arka dengan senyum mengembang.
Aku dan Nabila saling berpandangan. Kami mengembuskan napas bersamaan, sambil kemudian saling sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tak beberapa lama, Nabila bersuara dengan pertanyaan pertamanya.
"Cewek yang diomongin sama Azura tadi, siapa?" tanya Nabila, membuka obrolan.
Arka diam sejenak, ia memutar bola matanya dan tersenyum, "Dulu sih gebetan."
"Sekarang?" tanyaku spontan.
"Masih gebetan," jawab Arka, singkat.
"Terus kakak kelas yang sering bareng sama kamu itu siapa? Playboy banget deh," potong Nabila.
Aku menepuk kepalaku dan melempar bantal kursi ke wajah Nabila. "Itu kakak kelas yang aku maksud, Nab. Kak Tiara itu ya gebetan dia," kelasku yang dibalas dengan 'o' panjang dari Nabila.
"Kenapa kamu enggak jadian aja sih? Betah banget nyimpen perasaan lama-lama. Atau kamu pengikut gerakan anti pacaran sebelum menikah?" sahut Nabila lagi. Aku hampir terkekeh dibuatnya. Kalaupun ada orang yang akan ikut gerakan itu diantara kami bertiga, maka pasti cuma aku yang bakalan ikut.
"Woi woi. Sabar, Nab. Belum waktunya. Dulu pas mau nembak waktu SMA, aku mikir kalau kak Tiara pasti bakalan repot sama UN dan tes masuk perguruan tinggi. Secara, dia kan siswi teladan, jadi ya kutahan-tahan sampai sekarang." Arka tersenyum getir.
"Mungkin menurut kalian aku konyol, tapi kuliah ke sini, salah satunya ya biar bisa satu kampus sama kak Tiara," sambungnya lagi.
Aku dan Nabila berpandangan untuk yang kesekian kalinya. Kali ini, tangan kami bertautan dan mengatakan 'so sweet' bersama-sama. Arka bergidik ngeri melihat kelakuan kami.
"Terus kenapa sekarang belum jadian juga? Lama bener sih buat bikin kamu nembak dia. Apa perlu kita bantuin buat pdkt sama kak Tiara?" Nabila berseru tidak sabar.
"Woooohhhh, enggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian yang ada nanti aku malah dijauhin sama dia. Nanti kalau kak Tiara ngira kalian mau labrak dia karena dekat sama aku gimana?" sindir Arka.
Nabila menatapku sambil menahan tawanya.
Saat obrolan kami berlanjut menjadi lebih serius, seseorang mengetuk pintu apartemenku. Pesanan martabak telah datang. Katanya, supaya obrolan lancar, martabak enggak boleh enggak ada.
Aku membuka pintu dan mendapati aroma coklat dan keju yang berpadu dalam panekuk besar nan gurih yang kubeli begitu menggoda. Setelah membayar uang kepada petugas pengiriman, aku menutup pintu dan mendengar Nabila berseru.
"Wah, martabak. Baunya enak banget, Ra." Nabila menggerakkan tangannya seperti mengibaskan sesuatu ke arahnya.
Aku langsung menyimpan martabak di meja tamu yang langsung disergap oleh mereka berdua.
"Ceritamu belum kelar, belum boleh makan," tegur Nabila sambil menggigit martabak pertamanya.
"Yee, kalau aku laper, mana bisa cerita? Lagian kalau syarat boleh makan harus udah cerita, itu Azura enggak cerita," sindir Arka.
"Kan aku tuan rumah. Lagian aku yang beli martabaknya juga. Durhaka kalian kalau ngelarang tuan rumah buat makan, haha." Aku menjulurkan lidahku ke arah Arka untuk membuatnya kesal. Arka cuma melengos tak memedulikanku.
Begitu martabak sisa setengah, aku baru terpikir dengan pertanyaanku.
"Eh, masih berlanjut kan yang tadi?" tanyaku memecah lamunan kami yang kekenyangan.
"Sok, sok, mau nanya apa lagi?" Arka duduk sambil membusungkan perutnya yang rata.
"Kenapa kak Tiara? Apa yang buat kamu suka sama kak Tiara? Kenapa kamu sampai segitunya bela-belain kuliah di sini cuma buat ketemu dia lagi?" tanyaku yang dibalas dengan keheningan.
Aku sampai takut salah bicara.
"Emm ... Enggak tahu," jawab Arka sekenanya.
"Bukannya cinta itu katanya enggak perlu alasan ya? Ya tapi sebenarnya, memang ada beberapa hal dari kak Tiara yang menurut aku, itu daya tariknya dia," sambungnya.
"Apa?" tanya Nabila sambil memakan martabak ketiganya.
"Dia itu tipe-tipe perempuan yang optimis dan mandiri gitu. Dan itulah yang jadi daya tariknya. Tahu sendiri kan gimana kak Tiara di antara teman-temannya. Kayak bintang paling terang. Paling semangat," kenang Arka.
"Dan paling cantik," gumamku yang sebenarnya untuk penekanan diriku sendiri.
"Iya itu juga," sambung Arka. Aku enggak nyangka ternyata dia dengar juga.
Terus kalau dia udah enggak optimis dan enggak mandiri, kamu enggak cinta lagi dong?" tanya Nabila.
"Mungkin itu memang alasanku pertama kali jatuh cinta sama kak Tiara. Tapi bukan berarti kalau sikap itu hilang, aku jadi enggak cinta juga. Kalau udah cinta, kita punya banyak hal yang bisa kita kompromikan, kan?" tanya Arka.
Aku manggut-manggut dengan penjelasannya. Kita memang enggak pernah bisa menjamin akan terus jatuh cinta dengan cara yang sama, kan? Tapi bukankah akan tetap jatuh cinta atau enggak, semuanya tergantung kita?
"Kecuali kalau enggak jodoh," sambung Arka getir. "Aku sering merasa, gimana kalau kesulitan-kesulitan yang aku lewati buat bisa sama kak Tiara, adalah pertanda kalau aku sama dia bukan jodoh?" Dia menghela napas berat.
"Ya kalau udah urusannya sama jodoh atau bukan sih, aku juga enggak tahu. Aku cuma bisa mengusahakan yang terbaik. Kalau pada akhirnya enggak jodoh ya kita bisa apa." Nabila ikut terdiam setelah bicara.
Suasana jadi agak canggung setelah pernyataan terakhir dari Nabila. Aku pengin nyairin suasana, tapi aku bingung harus ngomong apa.
Selalu begini.
Saat orang lain butuh aku, aku benar-benar enggak bisa apa-apa. Enggak bisa diandalkan. Aku harus memutar otak berapa kali dulu baru menemukan ide yang lumayan bagus. Sudah kuputuskan, aku akan bercerita.
"Emm ... Guys, gantian aku yang cerita, boleh?" tanyaku malu-malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang berlalu di matamu
Ficción GeneralAzura mengalami labelling parah sejak ia masih di sekolah dasar. Kala itu, ia menghajar seorang anak laki-laki yang mempermalukannya di sekolah. Sejak saat itu, labelling "gadis liar" melekat pada dirinya bahkan hingga SMA. Sayangnya, orang-orang ha...