Aku menonton pertandingan selanjutnya dengan perasaan gamang. Padahal, ini bukan pertama kalinya aku kalah. Tapi, ada sesuatu yang sangat mengganjal di hatiku hari ini. Aku belum berani membuka ponselku. Ayah dan bunda sudah mengirimiku pesan. Aku cuma sempat membacanya sekilas dari sorotan pemberitahuan aplikasi.
Aku dan beberapa orang seniorku duduk di bangku yang sama. Raut wajahnya terlihat kecewa, namun ia bercerita tentang pertandingan ini, seperti bukan apa-apa. Seolah kekalahan itu sudah diprediksi olehnya dan tak perlu dipikirkan secara mendalam.
"Azura, kamu tahu enggak, apa yang menarik dari pertandingan ini?" Dia duduk sambil menatap lurus ke pertandingan di lapangan.
"Emm, apa ya? Karena kita belajar sesuatu dari apa yang terjadi di sini, hari ini," jawabku sekenanya.
"Iya, kamu benar. Semua yang bertanding hari ini, sudah berusaha semaksimal mungkin dan kita bisa belajar dari mereka. Ada beberapa yang menang, pun ada beberapa yang kalah. Kalah pasti menyakitkan. Tapi bisa hadir di kompetisi ini pun sudah kemajuan yang nggak bisa kita sepelekan. Kita belajar menghormati lawan kita, menghormati pertandingan dan segala aturannya. Dan pada akhirnya, yang menang dan kalah dua-duanya juara. Karena itu hal terbaik untuk mereka."
Aku terbengong-bengong mendengar penjelasannya. Sejujurnya, aku enggak ngerti. Untuk paham pun mungkin terlalu jauh. Tapi demi menyenangkan hatinya, aku cukup mengiyakan segala kata-katanya.
"Dan satu lagi, setidaknya kita tahu kalaupun kita kalah dan terjatuh, ada orang-orang baik di sekeliling kita untuk mengangkat kita kembali memijak bumi dengan kedua kaki." Dia tersenyum sambil menatapku.
Aku mengangguk.
Sesaat kemudian, aku membuka ponselku dan memutuskan untuk menelpon bunda. Aku tahu, aku butuh bunda sekarang.
"Halo, sudah pulang, Nak?" tanya bunda. Entah mengapa, rasanya bunda seperti sudah punya firasat kalau aku bukan membawa kabar baik.
"Belum bunda, masih ada beberapa pertandingan lagi. Bun ...." Suaraku tercekat. "Aku nggak menang, Bu. Aku kalah. Padahal aku udah berusaha semaksimal mungkin." Aku merajuk manja sebisaku. Aku cuma mau meluapkan segala perasaanku sekarang.
Tangisku langsung meledak begitu saja. Aku pengin dipeluk ibu, aku pengin ditenangin, terus makan bakso di warung bakso langganan bunda.
"Aku kalah Bun." Dadaku jadi terasa perih sekali, air mataku benar-benar jatuh bebas. Aku duduk di luar gedung sambil bersandar pada salah satu tiangnya dan menangis. Bodo amat orang-orang menatapku dengan pandangan aneh.
Aku masih sesegukan ketika bunda mulai bersuara.
"Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik, dan insyaallah hasilnya yang terbaik." Bunda menenangkanku.
"Tapi Bun, tetap saja aku kalah," rengekku.
"Coba deh, kamu pasti memperhatikan kan kenapa lawan kamu lebih unggul?" tanya bunda. Memoriku memutar ulang gerakan setiap gerakan yang kulakukan tadi.
"Lihat, Bun. Tadi beberapa kali Azura perhatikan, lawan Azura memanfaatkan serangan Azura untuk menyerang balik. Dia nggak cuma menangkis, tapi juga berkelit. Pun ketika Azura memberikan serangan, dia seperti yang sudah memprediksi gerakan Azura bakalan ke mana," jelasku.
"Terus, kamu perhatikan enggak selama awal permainan, dia gimana?" Bunda mengajakku berdiskusi. Kali ini pikiranku teralihkan.
"Ah iya, Bun. Pas awal dia agresif, tapi agresifnya menyerang sambil bertahan. Duh gimana ya jelasinnya, pokoknya pas awal itu dia memang sering menyerang, tapi serangannya kayak mengambang gitu loh bun, dia fokus mendesak aku ke garis batas," jelasku.
Sedetik kemudian aku menyadari, gerakanku masih begitu kaku. Wajar kalau aku kalah.
"Bunda enggak paham, tapi pasti kamu belajar sesuatu, kan?" tanya bunda.
"Iya, Bun." Senyumku mulai mengembang.
"Ada kalanya, kita kalah bukan karena kita tak cukup baik, tapi karena kita harus belajar sesuatu dari yang lebih baik. Pun sebagai pengingat supaya kita nggak tinggi hati. Selalu ada orang-orang yang lebih dari kita. Makanya setinggi apapun derajat kita ditingkatkan, tetap rendahkan hatimu di bumi."
Aku tersenyum mendengar nasihat Bunda dan malah menceritakan beberapa hal sambil tertawa hingga perutku sakit. Aku malah lupa masalahku tadi.
Begitu perasaanku sudah lebih lega, aku kembali ke bangku penonton. Nabila dan Arka sudah tidak ada di tempat mereka tadi. Ketika aku berusaha menghubungi mereka, ponselku langsung mati total. Aku lupa mengisi baterainya.
Aku menunggu hingga pertandingan selesai sebelum kembali ke apartemen. Begitu aku sampai apartemen, tubuhku rasanya sudah begitu lejar. Kasur menjadi tempat pertama yang kudatangi selepas mengunci pintu.
Aku melemparkan diri ke kasur dalam posisi tengkurap tanpa memikirkan apakah sudah cuci muka atau belum. Biarkan aku istirahat dulu barang satu jam, nanti aku langsung cuci muka dan ganti baju.
Sadar-sadar, hari sudah pagi.
Aku masih menggunakan pakaian kemarin dengan lengkap. Dan parahnya, muncul satu jerawat di dahiku karena aku lupa cuci muka semalam. Ralat. Malas cuci muka. Badanku terasa begitu berat kemarin.
Setelah benar-benar tersadar, aku segera mandi dan beberes. Ada banyak sekali hal yang berantakan, selain hatiku. Ada beberapa baju yang belum sempat kutata di lemari kemarin.
Setelah selesai mandi, aku menyalakan diffuser menggunakan aroma lavender. Rasanya tenang sekali. Kalau tidak ingat kamar yang berantakan, rasanya aku ingin tidur lagi dengan badan yang terasa ringan seperti ini.
Entah sebuah kesialan atau bukan, belum selesai aku beberes, bel pintu berbunyi. Aku pun lupa mengisi baterai ponsel, jadi tidak tahu siapa yang datang.
Begitu membuka pintu, aku terkejut melihat dua orang sahabatku membawa dua kantong plastic besar berisi makanan ringan hingga kola dengan wajah sumringah. Aku ingin sedikit menggoda mereka.
"Aku kalah, kalian malah mau bikin pesta," cibirku.
"Eh, enggak. Bukan gitu maksudnya." Raut wajah Nabila berubah. Ia langsung merasa bersalah.
"Kamu menang atau kalah, kita tetap mau buat pesta. Bukan untuk merayakan hasilnya, tapi untuk keberanian kamu." Arka ikutan nimbrung. Aku langsung tertawa terbahak begitu mendengar kata-katanya.
Gagal deh rencanaku buat mereka merasa bersalah.
Aku langsung mengajak mereka masuk.
"Maafin ya kalau berantakan. Ya, hatiku juga masih berantakan soalnya," candaku.
Nabila langsung memelukku dan menangis. Dipeluk dan ditangisi begitu, bikin aku pengin nangis juga.
Padahal, aku baik-baik saja sebelumnya.
Arka langsung duduk bengong sambil memandangi kelakuan kami yang seperti anak-anak. Saking gemasnya dengan kelakuan Nabila, aku menangis sambil mengelap air mata dan ingusku ke bajunya.
Dengan cara itu, Nabila langsung mendorong tubuhku dan berhenti memeluk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang berlalu di matamu
General FictionAzura mengalami labelling parah sejak ia masih di sekolah dasar. Kala itu, ia menghajar seorang anak laki-laki yang mempermalukannya di sekolah. Sejak saat itu, labelling "gadis liar" melekat pada dirinya bahkan hingga SMA. Sayangnya, orang-orang ha...