Euforia Baru

1 0 0
                                    

Kegiatan gelar wicara yang berlangsung kemarin, meninggalkan banyak hal positif pada para mahasiswa yang mengikutinya. Berbagai postingan tentang acara kemarin, memenuhi kolom postingan yang menandai akun BEM kampus. Ada beberapa postingan yang kusuka, terutama tentang kesadaran dan kepekaan mereka untuk lebih memperhatikan sekitar.

Setelah berkutat dengan euforia kegiatan kemarin, hingar bingar kegiatan lain yang tak kalah pentingnya untukku mulai terasa. Pertandingan kejuaraan karate tingkat universitas akan diselenggarakan di kotaku. Setelah kerepotan membagi waktu untuk latihan dan rapat, kali ini aku bisa fokus untuk mengikuti latihan yang frekuensinya semakin sering.

Dalam seminggu, jadwal latihan yang sebelumnya hanya satu hari, naik menjadi tiga hari. Aku dan beberapa orang temanku di UKM karate terpilih untuk mengikuti kejuaraan tersebut.

Aku dipilih untuk mengikuti pertandingan kumite perorangan putri untuk kelas 53 kg. Aku menghela napas begitu namaku disebut untuk mewakili kampus menjadi peserta kejuaraan. Setelah namaku dipilih, aku sempat protes ke pembina UKM karate.

"Pak, saya belum yakin buat ikut kumite. Apa enggak apa-apa?" Aku mendatangi pembina UKM kami sambil menatapnya khawatir.

"Lho, kalian sudah latihan sparring juga, kan? Bukannya sebelumnya kamu sudah pernah ikut pertandingan ya? Alasan kenapa kamu dipilih juga karena setidaknya kamu punya perkembangan yang baik selama latihan. Pun kalau melihat pemahaman soal pertandingan, kamu sudah cukup mumpuni." Pak Rangga, pembina UKM, duduk sambil menyimpan dokumen daftar nama di tasnya. Aku masih memohon untuk digantikan dengan orang lain.

"Enggak apa-apa, Azura. Saya yakin kamu pasti bisa, kok. Dicoba saja dulu." Pak Rangga mempersiapkan tasnya dan langsung berdiri menjauh.

Aku mendengar panggilan dari ketua UKM untuk bersiap latihan.

Mau tau kenapa aku mati-matian meminta digantikan oleh orang lain? Kumite adalah pertandingan kontak langsung. Dengan kata lain, kumite adalah pertandingan baku hantam antara dua orang peserta. Durasi pertandingan adalah dua menit dengan menggunakan sistem poin. Akan ada babak perpanjangan apabila kedua petarung memiliki poin sama.

Dalam pertandingan, ada tiga poin skor yang akan didapatkan oleh peserta. Sambon bernilai tiga poin, wazari bernilai dua poin, dan ippon bernilai satu poin. Masing-masing poin diberikan pada gerakan-gerakan khusus pada target poin skor. Targetnya sendiri ada di kepala, wajah, leher, perut, dada, punggung dan sisi samping bagian tubuh.

Dan bisa dibayangkan, aku, baku hantam dengan orang lain. Dan kali ini benar-benar harus kulakukan tanpa menahan diri. Meskipun aku menggunakan seperangkat pakaian pelindung selain karategi (pakaian karate).

Hanya saja, aku kurang percaya diri.

Sebelumnya, aku memang pernah mengikuti pertandingan lain, tapi untuk kumite, ini pertama kalinya.

Aku menceritakan kegusaranku pada Arka dan Nabila. Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, mereka mendukungku untuk mengikuti pertandingan itu. Kalau boleh kukatakan, dukungan dari mereka benar-benar menjadi angin segar yang menenangkanku.

Bahkan saking semangatnya mereka mendukungku, dalam beberapa latihan terakhir, Arka dan Nabila menungguku saat latihan. Dan yang paling mengharukan, mereka selalu membawakanku makan malam.

Selain intensitas latihan yang bertambah, aku pun diharuskan menjaga asupan gizi yang masuk ke tubuhku. Tidak boleh jajan sembarangan yang berkemungkinan merusak berat badanku. Pun tidak boleh makan makanan yang sekiranya bisa membuatku sakit atau kondisi kesehatanku memburuk.

"Kamu harus jaga kesehatan dan staminamu di hari kejuaraan nanti." Nasihat dari pak Rangga yang diputar otomatis oleh otakku setiap akan jajan cimol dan cilok depan kampus.

Benar-benar sejalan dengan dokter yang merawatku di rumah sakit, batinku.

Setelah dipilih untuk mengikuti pertandingan itu, aku jadi lebih bersemangat saat latihan. Ditambah aku punya teman-teman yang begitu mendukungku. Aku yakin bisa melampaui diriku yang sebelumnya, aku pasti bisa.

Sebelum hari pertandingan, aku memutuskan untuk menghubungi kedua orangtuaku. Mereka harus tahu kalau anaknya, lagi-lagi akan mengikuti pertandingan karate. Bedanya, pertandingan yang kuikuti kali ini adalah pertandingan kumite.

Aku mendengar suara ayah yang terkaget begitu aku menelpon ibu dan mengatakan akan mengikuti pertandingan kumite.

"Apa? Azura ikut pertandingan kumite?" Ayah bertanya dengan suara keras di seberang sana.

Aku khawatir, takut ayah marah dan memintaku membatalkan keikutsertaanku.

"Eh Azura, ini ayah mau bicara," sela ibu sesaat setelah ayah menyeru seperti tadi.

Aku menelan ludah.

"Halo, Ayah." Aku memelankan suaraku.

Bisa kubayangkan wajah ayah yang memerah dengan mata melotot dengan napas yang menderu. Aku berusaha menepis bayangan itu, mengingat aku sudah melakukan kewajiban sebagai anak dengan benar—meminta izin sebelum melakukan sesuatu.

Ayah masih terdiam di seberang sana. Aku pun bingung ingin bicara apa. Pembicaraan terakhir kami adalah tentang kehebohan ayah setelah menonton The Last Jedi. Ayah yang penggemar Star Wars garis keras sejak ia masih remaja, masih memuji-muji peran Mark Hamill sebagai Luke Skywalker.

"Ayah, aku boleh kan ikut pertandingan itu?" Aku membuka suara. Diam terus enggak akan ada penyelesaian.

"Kamu yakin mau ikut pertandingan itu? Kamu bukannya belum pernah ikut kumite?" Suara Ayah melembut. Berbeda sekali dengan seruannya tadi. Apa ayah memang selalu selembut ini.

"Emm, aku dipilih, Yah. Katanya, perkembanganku selama latihan sparring dengan beberapa orang, berkembang sangat baik. Aku cukup hati-hati untuk tidak melakukan pelanggaran, Yah. Tapi itu katanya, sih." Aku berbicara sambil memilin-milin rambut di ujing jariku. Takut kalau-kalau aku salah bicara.

"Tapi, yang nanti kamu hadapi, belum tentu orangnya sesportif kamu loh. Kalau dia emosi, kamu... bisa saja cedera." Suara ayah tercekat.

Aku menelan ludah.

Seperti yang kuketahui, memang tidak selamanya orang yang menjadi lawan kita mampu menguasai dirinya sendiri. Apalagi jika terlalu banyak tekanan yang ia dapatkan. Meskipun hal tersebut akan menjadi pelanggaran, bukan berarti benar-benar tidak ada yang akan melakukannya, kan?

McGregor saja tidak bisa menahan emosinya, padahal dia atlit kelas dunia.

Aku terdiam beberapa lama, mencari kata-kata yang aku sendiri bingung mencarinya di mana dan untuk apa.

"Kalau kamu yakin, enggak apa-apa, kamu jangan takut."

Aku terhenyak dari lamunanku, ayah mengizinkanku?

"Jadi, enggak apa-apa, Yah?" Mataku berbinar-binar, meski ayah tak bisa melihat, dia pasti tahu kalau aku akan menangis.

"Nggak apa-apa, siapa juga yang mau ngelarang? Kan tadi Ayah cuma shock, kok kamu bisa dipilih buat ikut kumite, haha. Kamu udah mau nangis, ya? Takut Ayah nggak kasih izin, ya?" Aku mendengar gelak tawa Ayah yang begitu kencang. Saking kencangnya, aku sampai harus menjauhkan ponsel dari telingaku.

"Ayah nggak melarang, Azura. Tapi ingat, kuliahmu tetap harus kamu utamakan. Ayah tahu kalau kamu suka sekali ikut karate, makanya kalau kamu yakin, lakukanlah. Jangan berpikiran negatif." Suara ayah terdengar renyah kali ini. Kalau sudah begini, aku cuma bisa mengiyakan.

Aku menutup pembicaraan dengan ayah dengan obrolan tentang film lama yang ia tonton kembali. Saking asyiknya aku ngobrol dengan ayah, aku malah lupa kalau tadi aku berbincang dengan ibu. Namun, begitu aku meminta ayah memberikan teleponnya pada ibu, katanya ibu sudah tidur.

Aku akan menelponnya lagi esok.

Setelah telepon itu, hari-hari berjalan begitu cepat, waktu yang berlalu benar-benar seperti sekejap saja. Tahu-tahu, pertandingan sudah di depan mata.

Aku pun tak punya pilihan selain bersiap.

Yang berlalu di matamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang