Lenganku dicengkeram erat oleh Arka. Matanya menuntut jawaban atas pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti. Apa maunya? Apa susahnya pura-pura nggak kenal, sih?
"Kenapa kamu menghindar?" Arka melontarkan pertanyaan itu.
Aku menghindari tatapan matanya. Ia malah mengeratkan cengkeramannya dan menarikku lebih dekat.
"Eh, a-aku nggak menghindar," jelasku ragu. Air mata mulai memenuhi sudut mataku.
"Terus, kemarin itu apa? Jelas-jelas kamu sudah lihat aku, terus kamu lari. Apa namanya kalau bukan menghindar?" Pandangannya semakin mengintimidasiku.
Dadaku sesak, "Arka, tolong, badanku lemas. Kepalaku pusing rasanya. Tolong lepaskan tanganmu." Raut wajah Arka berubah. Ia terlihat khawatir.
"Kita duduk dulu aja, Azura. Maafin aku, ya." Arka mengajakku untuk duduk di salah satu bangku. Aku memperbaiki pernapasanku. Arka menyodorkan air mineralnya yang masih penuh.
Ide bagus, aku memang butuh minum. Aku mengambil air itu dari tangannya dan langsung menegak minuman itu hingga habis separuhnya. Tenggorokanku lega sekali rasanya.
"Jadi, kenapa kamu menghindari aku?" Arka melanjutkan pertanyaannya.
"Eh? Emm. Aku nggak berniat menghindar. Cuma ... aku ragu bilangnya." Aku tergugu, bingung harus menjawab apa.
"Kenapa, sih? Kita kan satu kampus, apa salahnya kita temenan? Ditambah kita kan udah kenal lama." Arka menuntut penjelasan.
"Oke, aku takut kamu kayak Tristan," aku menghela napas. "Aku ke Bandung, buat menjauh dari kalian. Aku capek kemana pun aku pergi, selalu ada aja orang-orang kayak kalian yang seneng banget ngejatuhin aku. Kamu nggak tahu, kan? Gimana rasanya mau ngapa-ngapain, tapi nggak bisa karena orang-orang tetap menilai kamu jelek cuma karena menghajar anak pejabat. Padahal mereka nggak tahu apa yang terjadi sama aku."
Aku mencerocos panjang lebar. Masa bodoh deh sama pendapatnya Arka. Aku capek lari terus. Kalau pun dia mau menyebarkan urusan itu, ya silakan saja. Aku nggak peduli.
"Eh? Gara-gara itu?" Arka mengernyitkan dahinya.
Sebentar, ini gimana maksudnya sih? Kok aku jadi bingung? Aku ikut mengernyitkan dahi. Aku nggak ngerti harus komentar gimana.
"I-iya." Jawabku kikuk sambil menyeka air mataku.
"Astaga, maafin aku Azura. A-aku nggak tahu kalau kamu segitu takutnya sama aku." Arka menghela napas. "Kalau yang kamu takutkan itu soal masalah kamu dulu, kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak pernah peduli sama semua itu. Apa kamu pernah lihat aku ikut-ikutan mengolok-olok kamu? Nggak, kan? Selama kita ketemu pun, aku berusaha senyum ke kamu, supaya kamu nggak mengganggap aku sama seperti mereka."
Aku mengingat-ingat lagi masa ketika dulu, Tristan membeberkan masalahku dengan anak pejabat itu ke teman-temannya. Semuanya menertawakanku kecuali Arka. Ia hanya diam di barisan paling belakang, dengan ekspresi wajah yang begitu datar. Beberapa kali kami berpapasan pun, ia malah tersenyum. Dulu kuanggap itu adalah ejekan buatku.
"Maafin aku, ya? Aku juga nggak suka sama cara Tristan dulu ke kamu. Ya aku tahu, yang dia bicarakan itu temannya, tapi mempermalukan anak perempuan seperti itu juga bukan sesuatu yang bisa dibenarkan. Aku janji nggak akan bilang siapa-siapa soal itu."
Aku tersenyum. Ternyata, selama ini aku salah paham. Orang yang kukira mengolokku, ternyata malah ingin berteman denganku.
Arka menyodorkan tangannya, hendak menyalamiku. Aku menyambut tangannya dan kami bersalaman.
Aku pulang lebih malam dari biasanya. Saat baru sampai di apartemen, aku berpapasan dengan kak Anandita. Mereka keluar dari sebuah mobil bersamaan, dan langsung berjalan kearah lift. Aku memilih menunggu, agar mereka naik terlebih dahulu. Aku nggak mau ada suasana kikuk lagi.
Sampai kamar, aku langsung mempersiapkan komputer untuk melaksanakan video conference dengan teman-temanku. Ada beberapa teka-teki yang harus kami selesaikan untuk kegiatan hari terakhir.
Aldo menyampaikan yel-yel yang telah ia buat sebelumnya untuk yel-yel kelompok kami. Ia iri dengan kelompok lain yang sudah lebih dulu membuat yel-yel kelompok. Kami tertawa begitu melihat gayanya yang bergitu heboh dan cenderung norak. Kami malah ragu kalau kami tampil, nggak seseru kalau Aldo tampil sendirian.
Pembahasan malam itu cukup alot. Kami beberapa kali bersitegang ketika menjawab beberapa pertanyaan teka-teki tersebut. Secara argumen, masing-masing ada benarnya. Namun aku tahu, jawaban yang multi tafsir ini memang sengaja diberikan untuk mengetes kesolidan kami.
Kami menyudahi diskusi kami sebelum terlalu larut. Kami butuh istirahat cukup sebelum agenda esok hari. Nabila mengajakku berangkat bersama paginya. Aku setuju. Aku memang perlu teman untuk membangunkanku apabila aku kelelahan dan tidur terlalu lama.
Acara hari terakhir dimulai setelah salat subuh berjamaah. Kegiatan hari ini lebih banyak dihabiskan dengan kegiatan kreatifitas kelompok. Aku bersyukur karena telah menyelesaikan tugas-tugas kami kemarin. Termasuk soal yel-yel. Jelang siang, kami harus mempresentasikan hasil kreatifitas kelompok kami.
Sore hari, dilakukan acara penghargaan untuk mahasiswa-mahasiswa berprestasi. Kami sudah berjuang maksimal, tiba saatnya untuk memasrahkan hasil. Acara dimulai dengan nominasi kelompok dengan yel-yel terbaik.
Kelompok kami berhasil masuk nominasi.
Pembawa acara terdiam saat hendak menyebutkan pemenangnya. Mereka menarik napas dalam-dalam menyebutkan angka tiga. Aku sudah yakin kalau kelompokku yang menang. Ada Aldo si cowok norak. Dalam satu hentakan, mereka membuang napas sambil menyebutkan angka tiga puluh.
Aku dan teman-temanku sedikit kecewa.
Pemenang naik ke atas panggung. Ketika kuperhatikan, aku mendapati Arka di sana. Aku sudah yakin kalau kelompoknya adalah saingan terberat kami. Benar saja, nyatanya mereka menang. Ada seseorang yang lebih gila dari pada Aldo di kelompok mereka.
Aku menghibur teman-temanku dengan mengajak mereka tertawa. Menceritakan lelucon tentang kata'sayang' dalam bahasa Sunda. Sontak mereka malah tertawa lebih keras dari suara yang ada di panggung.
Tidak ada lagi yang menegur kalau kami berisik. Sudah waktunya kami bebas. Toh acara inti malam ini adalah acara penutupan ospek.
Setelah acara benar-benar selesai malam itu, Arka menghampiriku lagi. Kali ini, ia menyapa Nabila terlebih dahulu sambil meminta nomor hpnya. Sesekali aku melihatnya melirik ke arahku. Aku cuma tersenyum kikuk ketika tatapan kami bertemu. Beberapa orang dari kelompok lain, ikut meminta nomor hpku. Sambil tersenyum, aku memastikan bahwa kontak mereka sudah kusimpan.
Puas mengobrol dengan Nabila, Arka menghampiriku sekaligus meminta nomor hpku.
Saat ia selesai menyimpan nomorku, seseorang datang menghampirinya.
Aku mengenalnya. Dia kakak panitia yang kutabrak sampai jatuh kemarin. Sontak aku tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan. Pada saat yang sama, aku melihat nametag panitianya dan mengetahui namanya adalah Tiara.
Beberapa kenangan muncul. Tiara, bukan nama yang sembarangan. Aku pernah mengetahuinya. Aku pernah tahu dia siapa.
Melihat Arka yang begitu akrab dengan Tiara, aku tersentak. Aku baru sadar kalau Tiara adalah kakak kelasku dulu yang pernah digosipkan pacarana dengan Arka.
Apa mereka benar-benar pacaran?
Kak Tiara langsung pergi begitu memberikan selamat pada Arka. Arka kembali menghampiriku dan mengatakan sesuatu yang menghangatkan, "Aku senang, kamu bisa punya banyak teman."
***
Alhamdulillah yah,
Hari ini habis ketemuan LB, masih sempat buat update cerita.
Selamat membaca.
#TheSpiritOfWriting04
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang berlalu di matamu
Ficção GeralAzura mengalami labelling parah sejak ia masih di sekolah dasar. Kala itu, ia menghajar seorang anak laki-laki yang mempermalukannya di sekolah. Sejak saat itu, labelling "gadis liar" melekat pada dirinya bahkan hingga SMA. Sayangnya, orang-orang ha...