7 ~ Kampung Budaya

132 12 0
                                    

Selama 17 tahun hidupnya, hanya lima tahun awal Khalil merasakan arti sebuah keluarga. Saat Ayah dan Bunda masih di sisinya. Tentunya juga sebelum Bunda memutuskan pergi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Khalil merasa hidupnya tidak pernah baik-baik saja.

Hidup dibawah asuhan orang lain tentu bukan hal menyenangkan bagi Khalil. Sekalipun orang itu benar-benar tulus menyayanginya, tapi pintu hati Khalil sudah tertutup. Dia membenci siapapun yang mencoba menggantikan posisi Bunda. Apalagi menghadirkan seseorang yang baru sebagai adiknya.

Itu alasan paling kuat mengapa hari ini Khalil bahkan tak menyapa Indah yang mengolesi roti di meja makan. Khalil berlalu, mengabaikan tatapan lurus Indah. Jika bukan karena keran kamar mandi di kamarnya rusak, Khalil tidak akan mau turun ke dapur untuk mandi seperti pagi ini.

Setelah mandi, Khalil melihat Indah masih berkutat di dapur. Dengan Kayla yang kini duduk manis menikmati sarapannya. Khalil menghela nafas kuat, mengusir perasaan kasihan pada Kayla. Dia harusnya tidak menyukai gadis kecil itu.

"Mau kemana Khal?" Indah bertanya.

"Pergi," sahut Khalil cuek. Sedang tak ingin berbasa-basi sebagai hal yang paling langka dia lakukan di rumah ini.

"Mama mau ...," jeda panjang dalam kalimat Indah. "Ke rumah sakit. Kamu nggak mau ikut?"

Dalam hati Khalil mendengus. Seharipun tak pernah absen Khalil mengunjungi Ayahnya. "Tiap hari aku kesana," ujar Khalil akhirnya.

"Kita belum pernah pergi sama-sama."

Khalil yang tadinya hanya menatap ke kolam ikan lewat jendela besar di sisi kanannya kini menoleh sepenuhnya pada Indah. "Apa harus kita pergi sama-sama?"

Indah sudah biasa dengan ini. Dengan semua kata-kata pedas anak tirinya yang kerap menyayat hatinya. Namun Indah tetap memaksakan seulas senyum. "Ya udah, nggak papa. Biar Mama sama Kayla saja yang kesana." Wanita itu mengelap sisi piring, menutupi kepedihannnya. "Ngomong-ngomong, kamu mau pergi kemana?"

"Ke Kampung Budaya."

Setelahnya Khalil langsung bergegas meninggalkan dapur. Meninggalkan Indah yang menjatuhkan air mata di piring yang dipegangnya. Khalil tahu, sangat tahu malah. Tidak seharusnya dia bersikap sejahat itu. Tapi bagaimana lagi jika yang dilihatnya setiap melihat Indah adalah bayangan bocah laki-laki yang meringkuk melewati malam-malam mengerikan itu sendirian.

Sendirian.

Dan Khalil merasa tidak adil jika dirinya merasakan pedih itu seorang diri. Tidak ada orang yang baik-baik saja setelah ditinggalkan. Tidak ada.

Dadanya kembali sesak. Khalil bahkan memukul-mukulnya saat sudah tiba di kamarnya. Entah bagaimana caranya menghilangkan rasa sakit yang hampir membunuhnya selama belasan tahun itu. Khalik tidak bisa. Lagi-lagi sudut matanya basah, Khalil mengepalkan tangannya kuat.

Deringan di ponselnya, menjeda rasa sakit Khalil. Laki-laki itu baru saja ingin membanting ponselnya jika tidak melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Cewek Rumah Sakit. Khalil menghembuskan nafas kasar, lantas menggeser ikon hijau di ponselnya. Dia lupa ada janji dengan Khansa.

"Assalamu'alaikum."

Baru mendengar suaranya saja, Khalil merasa damai. Seolah beberapa menit yang lalu dia tidak sedang bertengkar hebat dengan dirinya. "Wa'alaikumussalam," jawab Khalil kaku. Sepertinya ini pertama kalinya dia mengucap salam melalui telepon.

"Untung kemaren aku minta no hp kamu. Coba kalau enggak, pasti aku nggak tahu kamu lagi dimana sekarang. Aku udah nungguin loh," cerocos Khansa di seberang sana.

Khalil tersenyum kecil, hampir tak kentara. "Sebentar lagi aku nyampe."

''Sebentar lagi itu kapan ya? Jangan-jangan kamu ngerjain aku ya, Khalil? Ih, aku udah siap-siap juga."

Khalil dan KhansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang