25 ~ Nayla dan Tragedinya

70 10 0
                                    

Jika diberi kesempatan untuk mengulangi waktu, Khansa akan meminta agar diberi kekuatan untuk menolong Nayla. Perempuan yang bekerja di agen travel kakeknya, yang sudah Khansa anggap seperti kakak sendiri. Nayla masih muda. Bahkan belum lulus kuliah. Dia bekerja di agen travel kakek untuk menghidupi Ibunya dan juga untuk biaya kuliah.

Bagi Khansa, Nayla itu panutan. Tidak hanya cantik dan pintar, Nayla juga sangat menjaga kehormatannya sebagai perempuan. Khansa sering melihatnya sholat di tengah malam. Khansa juga sering melihatnya tetap melaksanakan sholat meski di tengah-tengah kesibukan atau saat mereka sedang berada di negara minoritas muslim.

Nayla berhijab. Nayla juga yang memotivasinya untuk terus memakai hijab. Nayla selalu memotivasinya untuk terus mewujudkan mimpi. Nayla menasehatinya banyak hal. Selama kurang lebih empat tahun tinggal dengan Kakeknya di Jakarta, Nayla-lah teman Khansa. Khansa sangat menyayangi Nayla selayaknya saudara kandung.

Pekerjaan Nayla di agen travel kakeknya biasanya hanya berkisar di rumah saja. Dia yang melayani tamu yang ingin menggunakan jasa travel Rauf. Dia jarang sekali ikut pergi traveler seperti yang sering Khansa lakukan. Hal itu dikarenakan dia harus kuliah dan bekerja sampingan untuk menghidupi Ibunya yang tinggal di Medan.

Tapi hari itu, Nayla bersikukuh ingin ikut ke Budapest dengan mereka. Perempuan itu bilang, dia belum pernah berlayar ke suatu negara. Makanya di tahun baru waktu itu, mereka melakukan perjalanan ke Budapest dengan kapal pesiar. Saat itu, mungkin bukan hanya Nayla yang senang karena ingin menikmati perjalanan panjang itu, tapi Khansa juga. Karena untuk pertama kalinya dia pergi bersama Nayla.

Khansa menghembuskan nafasnya gusar. Mendadak jantungnya berpacu lebih cepat. Selama bertahun-tahun dia memendam ini, dan rasanya tak adil jika Khansa tetap diam. Dia tahu, usianya mungkin tak lama lagi, jadi lebih baik dia ceritakan semuanya. Tangannya terayun untuk mengetuk pintu kamar Kakeknya. Tak lama hingga suara Rauf menyuruhnya masuk.

"Khalil sudah pulang, ya?" tanya pria tua itu tepat ketika Khansa menutup pintu di belakang tubuhnya.

"Iya, Kek. Baru aja Khansa antar ke depan."

"Sini duduk!" Khansa mengayun langkahnya mendekati Rauf yang tengah duduk membuka album foto di sofa yang menghadap ke balkon. Dia duduk di samping kakeknya, masih dengan raut gusar yang sama.

"Ada yang mau kamu sampein?"

"A--ada, Kek," jawabnya terbata. Seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokannya. Menceritakan semuanya sama dengan Khansa yang membuka kembali luka yang telah dia pendam lama.

Pandangan gadis itu jatuh pada album foto di pangkuan kakeknya. Tepat sekali. Khansa segera mengambilnya dan membuka lembar demi lembar. Itu album foto berisi perjalanan mereka. Pastinya ada foto Nayla disana. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Khansa kembali mengangsurkannya pada Rauf.

"Nayla? Kamu mau cerita apa tentang Nayla."

Mata Khansa terasa panas. Cairan bening yang melapisi matanya siap tumpah seketika. Hatinya seperti diremuk saat mengingat kembali kejadian kelam itu. "Kakek, Mama sama Papa, mungkin mengira Khansa ingin balik ke Medan karena Khansa nggak siap dengan kepergian Kak Nayla. Karena Khansa terpukul dan merasa sangat kehilangan. Iya, 'kan?"

Perharian Rauf kini teralih sepenuhnya. Terlebih saat melihat genangan air di pelupuk mata cucunya. "Iya, kami pikir seperti itu."

Khansa menggeleng. "Bukan sepenuhnya karena itu. Khansa takut, Kek. Kak Nayla ... dia bunuh diri karena ... karena alasan itu, Kek."

Sekuat tenaga Khansa menahan air matanya. Jika dia menangis, dia takut tak dapat menceritakan kisah pedih kematian Nayla. Yang tidak banyak diketahui orang.

Khalil dan KhansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang