Setelah pulang sekolah, Khalil langsung mandi. Sebentar lagi masuk waktu ashar dan dia punya keinginan untuk sholat di masjid yang letaknya tak jauh dari rumah. Indah yang baru tiba di rumah ketika itu, sampai melongo tak percaya melihat anak tirinya dengan baju koko warna putih dan sarung. Ditambah lagi peci rajut berwarna putih yang melekat di tambahnya. Setahunya ini bukan hari Jumat. Kalaupun Jumat, Khalil tidak pernah tampil seperti itu kalau sholat Jumat.
Wajah heran Indah hanya dibalasnya dengan senyum tipis. Ketika wanita itu bertanya dia ingin kemana, dengan enteng Khalil menjawab ingin ke masjid.
Tidak hanya itu, Kayla yang berlari-lari dari dapur karena mendengar suara Indah, juga sama terkejutnya.
"Abang kayak malaikat," ujar Kayla berseri.
Dibanding ingin tertawa mendengar kepolosan adiknya, Khalil memutuskan tersenyum simpul dan mengacak puncak kepalanya. Lalu pamit pada Indah dengan alasan waktu ashar sebentar lagi.
Sekitar pukul empat lewat lima belas, Khalil sudah kembali. Dia langsung disambut riang oleh Kayla yang memamerkan ponsel Khalil di tangannya. Gadis kecil itu pasti telah mengambilnya diam-diam dari kamar.
"Kayla mau nonton Frozen. Boleh, ya?" Gadis itu meminta dengan tatapan bulatnya, yang Khalil yakin siapa saja tidak akan tahan untuk menolak.
"Sini! Biar Abang cariin filmnya."
Kayla bersorak girang. Dengan semangat bocah lima tahun itu menggiring Khalil ke sofa ruang tengah, lalu duduk di pangkuannya. Ponsel Khalil sendiri sudah dikembalikannya.
Data seluler baru dia aktifkan sedetik yang lalu, ketika sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponselnya. Niat ingin mengabaikan pesan itu, urung, ketika melihat nama pengirimnya. Maria.
"Sebentar ya, Khal," ujarnya menurunkan Kayla dari pangkuan.
Aku tahu Khansa dimana. Dia sakit.
Rumah sakit Medica Farma.
Khalil bagai disambar petir di siang bolong saat membacanya. Sakit apa yang menyebabkan gadis itu hilang berminggu-minggu? Jari-jarinya bahkan bergetar karena diserang panik, yang entah kenapa bisa melandanya, ketika ingin membalas pesan itu.
Satu kata belum selesai dia ketik, pesan berikutnya masuk. Maria memberitahu nomor kamar tempat Khansa dirawat.
"Ini hape Abang, kamu mainin aja sepuasnya. Suruh Mama cariin film Frozen, ya."
Belum sempat Kayla mencegahnya, Khalil sudah terbirit lari ke kamarnya. Dengan asal, dia mengambil celana jeans dalam lemari dan mengenakannya, menggantikan sarung yang tadi dipakainya. Setelah itu, Khalil mengambil kunci motor di nakas dan menyambar jaket berwarna hitam di kasur.
Langkahnya cepat menuruni tangga. Dia bahkan percaya diri kalau dia tidak akan jatuh, atau minimal terpeleset di tangga. Begitu kakinya sudah di ruang tengah, Indah juga baru datang dari dapur dengan sepiring buah mangga yang sudah dipotong-potong.
"Mau kemana, Bang? Kok buru-buru?" tanya wanita itu.
"Ke rumah sakit, Ma." Khalil menjawab cepat. Mengambil tangan kanan Indah untuk dia junjung ke kening. Dia bahkan tak sadar dengan panggilan baru yang Indah berikan padanya.
"Siapa yang sakit? Kok kamu keliatan buru-buru gitu? Sampe pecinya belum dilepas."
"Ah, iya lupa." Khalil melepas peci putih yang tadi dipakainya. Dia meletakkannya sembarangan ke sofa. "Aku pergi ya, Ma."
"Bang!" Langkah Khalil terhenti di depan pintu. "Siapa yang sakit, sih?"
Untuk beberapa detik, Khalil hanya menatap Indah dalam diam. Nafasnya menderu. "Khansa, Ma. Khansa sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Khalil dan Khansa
JugendliteraturStart : 29 September 2019 Republish : 29 September 2021 Muhammad Khalil Yusuf telah kehilangan harapan hidupnya setelah kepergian Bunda. Ditambah lagi setelah Ayahnya memutuskan menikah lagi dengan wanita yang tak pernah bisa Khalil terima kehadiran...