Menggapai
Oleh : Monnyet Merah
"I think perfection is ugly. Somewhere in the things human make, I want to see scars, failure, disorder, distortion."
-Yohji Yamamoto
***
Panggil aku Vincent, atau semua yang mengenalku akrab dengan Vin. Menjadi sebuah kebiasaan di negeri yg kutinggali ini kurang suka mengecap pelafalan yang mereka anggap asing di lidah.
Pekerjaan? Ahhh jika bisa kubilang ini sebuah perkejaan maka akan kuanggap demikian.
Aku adalah seorang pelajar ya mungkin tak jauh dari kalian, seorang perantau pencari diri.
Aneh, sering aku bertanya pada sosial, kuliah adalah kunci menuju sesuatu dan disini aku bersama manusia lain turut mencari apa itu maksud.
Terkadang aku berfikir kawan, ahhh boleh kah dirimu kupanggil kawan? Bukan maksud sok akrab, hanya untuk sekedar menyamankan diriku.
Lagipula aku selalu benci reaksi wajah ketika diriku bertemu orang baru, selalu seperti mengutuk halus dalam gerak tubuh dan ekspresi, seperti memasang fase perlindungan, apa semua orang selalu demikian?
Kawan, kadang aku berfikir... apa maksud untuk menjadi pelajar? Tentu untuk belajar, meraih angka demi angka untuk tolak ukur intelek, lalu untuk apa kita belajar? Tentu untuk mendapatkan pekerjaan, lalu? Menjadi masyarakat.
Haruskah untuk menjadi pintar? Jika pada akhirnya nanti kita dikalahkan oleh penerima hadiah dari tuhan bernama kejeniusan dan bakat alamiah?
Menjadi masyakarat, masih selalu ingat aku dengan kata-kata motivator asli maupun motivator dipaksa profesi bahwa kita adalah pengganti penggerak bangsa, bahwa kita adalah harapan dari orang tua dari guru kita bahkan mungkin dari satpam dekat kompleks bahwa kita adalah harapan agar tidak menjadi seperti mereka lagi, harus lebih baik,
harus lebih baik, harus lebih baik, harus- Harus...
Jujur saja, aku muak mendengar orang berkata bahwa diriku ini spesial bahwa diriku telah diberkati tuhan dengan sebuah keahlian yg lebih unggul dari orang lain MAKA tiba - tiba sekelilingmu mendikte hidupmu...
"wah Vincent hebat! Bisa main piano!"
"waahh masih kecil sudah seperti itu benar - benar seorang jenius!"
"jika sudah besar nanti pasti akan jadi pianis hebat ya? Waahh bahkan mungkin mendunia!"
Ujar dingin mereka-mereka
Setidaknya hal itulah yg kurasakan dulu hingga 13 tahun kehidupan dunia. Kuhabiskan masa itu menjadi boneka orang tuaku sendiri, les piano, pelatihan khusus, kelas khusus bersama anak - anak "khusus", alat - alat asing berserakkan untuk 'memotivasi".
Pada masa itu... aku lelah... aku ingin bermain seperti anak pada umurku, bebas dari kejaran tempo dan ritme, bebas dari hafalan juga sabetan rotan, bocah sekecil itu tak perlu tentunya mengerti tentang cadenza, hanya perlu ia tau bagaimana cara menarik layangan agar mampu terbawa angin.
Namun, pada masa itu aku masih seorang bocah yang naif, masih ingin aku menghias wajah orang tuaku dengan senyum terbangganya ahhh belum aku se skeptis sekarang.
Dulu, aku adalah seorang jenius dalam bidang musik, jenius dalam membaca warna dalam nada, jenius adalah panggilanku, bahkan ada masa dimana aku pun berfikir
"kenapa orang - orang tidak bisa melalukan hal semudah ini?"
Ahhh mungkin itulah sombong, namun sepertinya pada masa itu aku hanyalah perhiasan, semakin takut untuk mengutarakan bahwa aku ingin mengentikan bakat ini, takut jika menghentikan bakat orang tuaku tidak akan lagi menganggapku sebagai anak mereka.
Bagi mereka, aku hanyalah seorang pianis genius yg diberikan tuhan sebagai hadiah.
Kenapa aku berfikir demikian? Kawan.., penat kah dirimu jika rumah hanya terisi dengan pembicaraan : bagaimana pianomu?, bagaimana tanganmu?, ikut kompetisi lagi ya?, ada kenalan ayah yang ingin ayah kenalkan, sudah sana latian piano saja!, jangan main hal tak berguna!, yang penting bakatmu itu harus diasah!, ayah dan ibu dulu juga kenal karena musik lo!
Tak bisa dipercaya? tak apa, kau tak perlu percaya karena pada dasarnya semua hanyalah seruan-seruan yang kumudahkan cerna agar jauh dari kebohongan.
Namun, ternyata tuhan punya rencana lain untuku... pada suatu hari di masa itu, diri kecilku bersama orang tuaku dalam perjalanan dari hotel ternama di kota kami menuju pertemuan di hotel lain, sebuah acara rutin dimana aku harus menyalami berbagai orang - orang baru dari hotel ke hotel lain.
Di perjalanan itu sebuah keajaiban terjadi! Tiba - tiba sebuah mobil asing dari arah berlawanan menghantam mobil kami dengan sepenuh kecepatanya, sangat kerasnya hingga merenggut nyawa kedua orang tuaku. Namun yang terjadi biarlah terjadi bukan?
Kecelakaan mengerikan itu terjadi dalam kilat, seketika aku seorang yatim piatu.
Tanpa arah aku bangkit menjauh dari mobil kami yg tak lagi se-mengkilap harga diri pemiliknya, mobil penabrak? Ada sekitar 200 meter terpelanting dan sepertinya si penabrak juga naas kehilangan kemanusiaanya.
Entah apa yg salah pada diriku saat itu, dalam kondisi itu tidak berusaha diriku menangis berteriak meminta tolong, tubuhku tak merasakan kesakitan dan seluruh bagiannya bisa kugerakan, ajaib! jadi insting manusiaku adalah untuk keluar dari jepitan dan berdiri.
Namun lain cerita kedua orang tuaku, darah mengalir dengan deras dari tubuh mereka, aku masih bisa melihat mata ibu tertusuk pensil alis yang ia gunakan untuk menebalkan sesuatu yang sudah ada, ayah? Entah, ingatanku pun masih kabur aku pasti syok karena hal selanjutnya dalam ingat adalah aku sudah berada di kamar rumah sakit.
Beberapa lama setelah kejadian itu hak asuhku diberikan pada pamanku, dan hingga sekarang memasuki umur kuliah aku memutuskan untuk merantau dan hidup sendiri.
Secara singkat, kehidupanku jauh lebih baik dengan paman, beliau tidak menikah dan dalam satu perbincangan kami beliau berkata bahwa tidak ada keinginan untuk menikah.
Paman juga tak pernah memaksaku melanjutkan pianoku lagi, sebuah solusi menang dan bebas.
Namun lagi, aku tidak menemukan kepuasan... hal mengganjal dalam diriku tak pernah hilang, seperti ada lubang dalam hatiku yg tak bisa di tutupi oleh apapun.
Kujalani hari - hari rantauku tanpa mengajak hati, hanya menjalani yang kupaksa biasa, bagiku hidup adalah untuk menjadi bagian dan aku sedang berusaha menjadi bagian dari hal itu, aku telah bertekad untuk membuang kejeniusanku dalam piano, tak ingin lagi aku menyentuh neraka dingin itu, sudah cukup bagiku siksaan bakat dan dianggap berbakat.
Sebuah awalan, motivasi untu kisah dari apa yang tertulis,
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai
Short StoryVincent berkaca pada dirinya, pada interaksi manusianya, pada para maha dan tragis yang bisa terlupakan. Sebuah kisah dimana ketidakpastian akan membuat asa kian putus tak tau arah. Sebuah kisah dimana hasil adalah apa yang harus dipilih untuk bis...