01. MRT

3.1K 442 49
                                    

Ting!

Pukul enam pagi, aku sudah berdiri di stasiun dekat rumahku. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada tali ranselku, bersiap-siap untuk melangkah masuk ke kereta.

Aku selalu menarget untuk naik di kereta pertama, atau setidaknya kereta kedua agar tidak terlalu penuh. Aku rela berangkat sepagi ini agar kereta tidak terlalu sesak.

Begitu menginjakkan kakiku di kereta, alih-alih berburu kursi kosong, aku justru memilih untuk berdiri di dekat pintu dengan berpegang tangan pada besi di dekat kursi. Dengan earphone yang sudah bersarang di telingaku, aku menekan tombol play pada pemutar musik, dan menikmati perjalanan pagi ini.

"Jangan bergerak, Anda kami tangkap,"

Aku memutar bola mataku dengan malas. Sudah ia berlagak sok polisi, mana ada polisi menangkap penjahatnya dengan cara memeluknya? Dari suara beratnya saja kau bisa menebaknya dengan mata tertutup.

Aku membalik tubuhku dengan malas. Aku melepas earphone-ku dan tiba-tiba secara refleks aku tertawa. Mingi tiba-tiba membuat ekspresi aneh yang jelek sekali.

"Wleee muka jelek muka jelek!" seru Mingi sambil memainkan ekspresi wajahnya.

Aku menahan diri untuk tidak lagi tertawa terlalu keras. Terakhir kali Mingi menjahiliku seperti ini, kami tertangkap oleh polisi subway dan mendapatkan sedikit 'kuliah subuh'.

"Udah... Udah... Gila ih jelek banget!" seruku.

Aku berpindah ke kursi terdekat dan memegangi perutku yang terasa kram karena tertawa. Mingi pun ikut duduk di sebelahku. Untungnya ia tidak lagi membuat ekspresi aneh atau aku akan mengambil kereta pulang, membatalkan niatku untuk sekolah karena kram perut.

Mingi menghela napasnya dan merentangkan tangannya untuk merangkulku. "Aku kaget, gak nyangka kita satu gerbong lagi," ucapnya.

Aku mengangguk pelan, "Dari berapa banyaknya gerbong, akhir-akhir ini kita jadi sering ketemu gak sih?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Mingi hanya tersenyum simpul. "Beberapa hari lagi kakakku pulang, katanya dia pengen ngajak main bertiga," ucap Mingi.

Aku mengangkat alisku, "Bertiga?"

"Iya. Aku, kamu, kakak," jawab Mingi. "Oh ya, dia juga tanya, barangkali kamu mau dibawain oleh-oleh."

"Astaga apa sih, pake oleh-oleh segala," aku sedikit terkekeh, "Buat keluarga kamu aja, nanti kalo ada sisa baru kasih aku."

"Eyy, kamu itu prioritas, kayak LX," ucap Mingi.

Aku menepuk paha Mingi pelan, "Bercanda mulu kan."

Kami kompak berdiri dari posisi kami ketika terdengar pengumuman bahwa kereta kami hampir mendekati stasiun dekat sekolah. Lagi, kami berdiri berdampingan di depan pintu sembari menunggu kereta berhenti.

Jari-jemari Mingi menyelinap di sela-sela jariku. Ia menggenggamku erat. Aku menatapnya, meskipun postur tubuh kami cukup berbeda, rasanya selalu lucu sekali jika kami berdiri berdampingan.

Ting!

Kami melangkah keluar bersama-sama. Huft, sebentar lagi, satu minggu lagi hingga ujian nasional datang, kemudian ujian masuk universitas. Kami benar-benar tidak memiliki cukup waktu untuk dihabiskan berdua saja.

Secepat itu, hingga akhirnya kami berjalan ke arah yang berbeda. Di antara dua jalan yang bertolak itu, apakah kita masih bisa saling bertaut tangan?

"Nath," panggil Mingi.

"Hm?" jawabku.

"Capek gak?" tanyanya.

"Hah? Emang kalo capek kenapa?" aku balik bertanya.

Mingi melepaskan tangannya, lalu memindah posisi ranselnya dari yang tadinya ia gendong di belakang, menjadi ke depan. Mingi merendahkan tubuhnya menjadi seperti bersimpuh. Ia menepuk punggungnya dan menatapku, "Naik," ucapnya singkat.

"Ck, jangan aneh-aneh deh," ucapku.

"Udah, sini naik tuan putri,"

Aku kembali memutar bola mataku, tetapi akhirnya aku juga mengiyakan ucapan Mingi. Aku naik ke atas punggungnya dan hups! Tanah ada jauh sekali di bawah sana ketika aku naik di punggung seorang Mingi, dengan tinggi badan yang menjulang.

"Ngeri ih," ucapku.

"Kan aku pegangin," balas Mingi.

Aku melingkarkan kedua tanganku pada leher Mingi dan mengistirahatkan kepalaku di bahunya. Aku tidak mengerti mengapa Mingi bisa-bisanya menggendongku seperti ini, padahal ia mudah sekali sakit punggung.

"Mingi!" bisikku.

"Apa?" balas Mingi, pun dengan berbisik, padahal tanpa berbisik pun kami bisa saling berbicara.

"Aku sayang kamu!" balasku.

Mingi menolehkan kepalanya, tiba-tiba jarak antara wajah kami menjadi begitu dekat. "Aku juga sayang kamu banget!" bisiknya.

Mingi kembali menatap ke depan. Dari samping, aku bisa melihat jika laki-laki itu tidak dapat menyembunyikan senyum lebarnya. Aku pun dapat merasakan detak jantung kami yang saling bersahutan.

"We found a love, in a city of angels," bisikku.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



yaallah mingi ada di mana kamu sekarang 😭 bisaan banget emang bikin aku uring-uringan begini 😭

yaallah mingi ada di mana kamu sekarang 😭 bisaan banget emang bikin aku uring-uringan begini 😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

sebuah foto dengan efek samping perasaan sedih, kangen, dan ingin meluk.

[✔] La La Lost You ➖Mingi ATEEZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang