11. Sore Itu

1.5K 260 11
                                    

"Sha," panggil Bunda.

Aku menatap tampilanku sekali lagi di depan cermin dengan wajah sendu. Sore ini, Mingi mengajakku keluar, untuk menikmati waktu bebas kami, katanya. Barangkali ia sudah ada di ruang tamu, berbincang dengan Ayahku.

Bunda menepuk-nepuk bahuku pelan, "Ayo, Mingi udah di depan," Bunda tersenyum, "Ingat kata Ayah sama Bunda kemaren, kan? Kamu gak boleh egois, harus dukung cita-cita Mingi, seperti Mingi yang selalu dukung kamu. Kalo kamu tetep ngediemin Mingi, kamu gak akan dapet jawaban dari semuanya."

Aku menghela napas. Aku yakin, Mingi akan menjelaskan semuanya hari ini. Tetapi, apakah aku siap mendengarkan semuanya?

"Kasian loh Mingi kalo banyak ditanya-tanyain sama Ayah. Sana, samperin Mingi," ucap Bunda final.

Dengan langkah yang sedikit berat, akhirnya aku berjalan meninggalkan kamarku menuju ruang tamu. Mingi duduk sendirian di sana sedangkan Ayah entah ada di mana. Tanpa berbicara, kami saling mengirim tatapan mata agar segera berangkat.

Hari ini Mingi tidak membawa motornya. Alih-alih berkendara berdua, Mingi justru membawaku pergi menggunakan MRT yang justru aku agak sebal karenanya. Masalahnya, sudah terlalu banyak cerita kami di MRT --bukan berarti aku tidak akan menaiki MRT selamanya setelah ini-- dan Mingi seperti menambah goresan baru di sebelah luka yang belum kering.

"Kita mau ke mana?" tanyaku. Setelah sedari tadi kami hanya duduk diam, aku membuka suaraku.

"Taman, atau ada tempat lain yang pengen kamu datengin?"

Aku menggeleng. Yah, ikuti saja ke mana Mingi membawaku melangkah. Kemana pun asal aku bisa merasakan manisnya menjadi miliknya, walaupun hanya di waktu yang sangat sempit ini.

Mingi membawaku ke taman bunga warna-warni yang letaknya agak jauh di pinggiran kota, tetapi sangat asri dan sejuk. Sesampainya di sana, kami mencari bangku kosong dan menikmati waktu di sana, alih-alih berkeliling. Mingi pasti tahu jika aku menunggu penjelasannya.

"Nath," panggil Mingi.

"Ya?" jawabku.

Mingi sedikit menggigit bibirnya dan menatapku, "Tentang yang kemaren, aku minta maaf."

Hatiku kembali bergetar mengingat kejadian tempo hari, ketika aku hampir kehilangan kekuatanku dan menangis sejadi-jadinya di depan ruang komputer. Dalam diam, aku berusaha menguatkan diriku. Ayo, Natasha, kau harus menyelesaikan semuanya.

Aku mengangguk pelan, "Kamu pasti punya alasan, kan? Yah, mungkin aku harus berusaha buat maklum."

Mingi menggenggam erat tanganku. "Maaf, aku juga baru tau beberapa minggu ini, tepat sebelum kakakku pulang. Ayahku bilang aku berangkat sekitar dua bulan lagi, tetapi ternyata dipercepat. Maaf, Nath, aku gak bisa menuhin janji aku buat nemenin kamu sampe UTBK," ucap Mingi.

"Berarti, yang aku bilang tempo hari itu bener, kan? Seandainya aku gak sadar dengan semua ini, kamu bakal pergi begitu aja ke Amerika, ninggalin aku?" ucapku cepat.

Nafasku kembali memburu. Lagi, bulir-bulir air mataku kembali menerobos keluar. Dinding pertahananku runtuh saat itu juga.

"Nath... Jangan nangis, kamu tau kan, aku gak suka liat kamu nangis? Hatiku sakit kalo liat kamu nangis..." ucap Mingi dengan suara bergetar.

Mingi menghapus air mataku dengan buku jarinya yang bergetar. Dengan cepat, Mingi menarikku dalam pelukannya dan aku kembali menangis, lebih deras dari sebelumnya.

Aku berjanji untuk tidak menangis. Aku berjanji untuk merelakanmu pergi mengejar mimpimu. Aku berjanji akan banyak hal... Tetapi aku melanggarnya.

"Aku minta maaf karena aku gak jujur, gak bilang lebih awal. Aku juga gak mau semuanya terjadi secepat ini, Nath. Aku... Aku gak siap untuk berpisah lebih cepat," ucap Mingi dengan suara lirih.

Mingi mengeratkan pelukkannya dan tangannya membelai lembut rambutku. Aku pun memeluk Mingi erat, aku enggan melepasnya, tetapi aku harus.

"Mingi, if I let you go, will you come back another time?"

Aku menatapnya. Mata Mingi juga menyuratkan sejuta kesedihan yang tulus, rasa kehilangan, keengganan untuk berpisah secepat ini. Matanya yang mulai berair, beradu dengan mata basahku.

"I just wanted you to know, that there'll be a piece of you in me, forever. Don't mind me, I promise that I will come back each time I leave, because together with you, I feel complete," ucap Mingi.

Ketika matahari mulai tenggelam, kami memutuskan untuk pulang. Aku menggenggam erat tangan Mingi dan kami kembali menikmati perjalanan dalam diam, seperti saat berangkat tadi.

Entah memang waktu yang berjalan sangat cepat, atau aku yang enggan untuk pulang. Tanpa disadari, kami hampir sampai di stasiunku. Aku berdiri dari dudukku, tetapi Mingi juga ikut berdiri, menyamakan kedudukannya denganku.

Mingi menatapku sendu, "Kamu beneran gak mau ikut aku?"

Ting!

Bersamaan dengan itu, pintu kereta terbuka. Aku berusaha memberi Mingi senyuman, meskipun sebenarnya hatiku enggan. "Enggak," jawabku, kemudian melangkah keluar dari kereta.

Aku menghentikan langkahku dan menatap ke arah kereta yang belum tertutup. Di sana, Mingi masih berdiri di posisinya, menatapku dalam diam.

Ketika pintu kereta tertutup dan mulai melaju kencang, aku kembali kehilangan kontrol atas diriku.

Mingi, jika aku berjanji untuk menjaga hatiku, apakah kau akan melakukan hal yang sama? Aku akan selalu di sini, menunggumu pulang, menunggu pelukan hangat itu kembali.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✔] La La Lost You ➖Mingi ATEEZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang